Gadis Batu

1868 Words
Seperti yang Mentari takutkan. Langit mulai 'menjauhinya' mereka punya kesibukkan sendiri. Langit yang biasanya selalu keberatan jika Mentari pergi sekolah sendiri sekarang tidak lagi terdengar. Langit juga sudah aktif kuliah. Karena ini tahun pertamanya masuk universitas, Langit jadi lumayan sibuk. Langit sendiri memang tidak langsung kuliah setelah lulus SMA. Dia dan bundanya membutuhkan waktu sekurangnya satu tahun untuk merampungkan biaya masuk universitas bergensi itu. Jadi, sebagai orang yang melihat sendiri usaha Ina siang dan malam demi Langit. Mentari mencoba bersikap dewasa. Mungkin perasaan kesepian ini akan enyah dengan sendirinya seiring mulai terbiasanya Mentari tanpa Langit. "Hei, kamu sendirian lagi?" Tari celingukkan mencari asal suara. Setelah dia telusuri, suara itu berasal dari kaca mobil yang terbuka setengah. "Iyah, Pak!" Tari mengangguk santun pada Damian. Sepertinya lelaki itu juga ke sekolah bersama seseorang. Tari bisa melihat sosok di sebelah Damian, meski tidak jelas. "Saya duluan,ya, Tari." Pria itu juga tidak menawarkan tumpangan untuk Tari. Tari tidak mempermasalahkan itu, wajar sebagai seorang guru, dirinya harus terlihat netral dan tidak berpihak ke siapa pun. Lima belas menit Tari sampai. Dia cukup lega kali ini tidak telat. Tapi siapa sangka Damian menunggunya di pos satpam. "Itu Tari, Pak!" Dia ijin ke pak Satpam lalu mendekati Tari. "Lho, mobil Bapak mana?" "Itu bukan mobil saya, itu mobil teman saya," ujarnya. Tari percaya saja, lagipula tidak ada alasan untuk dia menyangkal ucapan. "Tar, kalau saya boleh tau, gimana perasaan kamu setelah ditinggal ayah kamu untuk selamanya?" Tari merasa cukup suprise ditanya tiba-tiba. Tapi karena kejadian itu sudah berlalu lebih dari sebulan, Tari hanya bisa mendesah. "Bapak pernah kehilangan?" Tari malah mengajukan pertanyaan balik. Pria berkacamata dengan kemeja biru kotak-kotak itu menyipitkan mata. "Pernah. Tapi waktu itu saya masih kecil. Nenek saya meninggal ketika saya berumur tiga tahun." "Kalau begitu, sulit untuk saya menjelaskan ke Bapak!" Lantas Tari pergi dengan mendorong sepedanya. Dibandingkan merengek dan menjelaskan perasaannya. Dia lebih suka seseorang menunjukkan rasa empati dan hormat tanpa harus membahas kejadian buruk itu secara berulang. Dia ingin dihargai untuk rasa sakit. Jangan melulu meminta Tari mengorek luka lama dengan alih-alih mencoba menyelami perasaan sedih Mentari lalu setelahnya, pergi dengan ucapan. "Ya udah, sabar aja!" Semua itu gak ngbantu Tari. Malah dia akan merasa semakin kesepian. Sikapnya yang seperti itu membuat Mentari seolah sulit terjamah. Karena meski ada beberapa anak yang ingin mendekatinya dan mengajaknya berbaur, dia tidak bisa begitu saja membuka diri. Cuma beberapa orang yang Tari percayai mewarnai perjalanan hidupnya termasuk Dona. Dona sendiri, bukan hal mudah mendekati si gunung es. Tapi karena dasarnya Dona itu periang, dia hampir tidak pernah memasukkan ke dalam hati sikap jutek Mentari. Meski sudah 'diusir' secara halus maupun terang-terangan, Dona selalu kembali ke sisi Tari. Sikapnya yang pantang menyerah sungguh mengetuk hati Tari. Berfikir, jika anak seusianya seharusnya mempunyai banyak teman, Mentari mulai mencoba membaurkan diri--meski sangat tersiksa--dan muncul Mala. Kini dua orang itu yang Tari sebut temannya. * Damian kembali mengajar di kelas Mentari. Dia kedapatan selalu saja curi pandang ke arah Tari. Entah apa yang ingin dia katakan, sepertinya ucapan Tari tadi membuat ganjalan di hatinya. Mungkin dia berfikir, bagaimana caranya minta maaf karena pertanyaan yang sensitif, atau apa pendapat Tari tentangnya setelah dia lancang menanyakan hal tersebut. Sadar dirinya terus ditatap. Mentari hanya tersenyum tipis dibalas senyum sumbringah dari Damian. Dia cukup lega karena nyatanya gadis itu tidak membencinya. "Anak-anak, kerjakan soal halaman 205!" Damian berjalan mendekati bangku Mentari. Dia berpura-pura menjatuhkan pulpennya di sana. "Nanti siang, ayok kita ke kantin bareng!" Mentari langsung menghentikan tarian penanya. Dia menyeritkan alis mencoba mencerna ucapan pak gurunya itu. Sayangnya bukan cuma Mentari yang mendengar. Mala--teman sebangkunya juga. Dia menyikut Tari. "Tar, Lo diajakin ke kantin bareng. Eeh, Ciee... yang ditaksir guru sendiri!" Ucapan Mala membuat Tari semakin bingung. Apa benar, ajakan itu karena Damian menaruh rasa padanya. Tapi, apa hebatnya dia. Mentari merasa memiliki tampilan yang biasa saja. Bahkan Langit tidak pernah menganggapnya sebagai perempuan. 'Sial! Gara-gara Langit nih gue jadi gak pede sama diri sendiri!' Ada bahagianya tapi Mentari juga tidak nyaman 'disukai' lelaki lain. Karena dia tau sampai kapan pun hatinya tidak akan pernah terbuka selain untuk Langit Prasetya. Mentari tetap memenuhi undangan Damian. Dia mencari pria itu, ternyata Damian di belakangnya. "Tar, kita makan di warung depan aja,yuk!" Mungkin Damian juga sedikit tidak nyaman berbaur dengan siswa lainnya. Mereka sampai di warung bakso. Damian bilang, Tari bisa pesan apapun yang dia ingin. Namun, Tari hanya memesan es campur.. "Kamu gak mau makan?" tanya Damian sambil menunggu baksonya. "Gak, Pak. Kenyang!" Sepanjang makan. Tari terus gelisah dia ingin menanyakan maksud gurunya itu. Tapi rasanya terlalu aneh jika dia yang membahas duluan. "Oh,ya, Tar. Sebenarnya saya ajak kamu ke sini sekalian mau minta maaf atas pertanyaan saya tadi pagi. Gak semestinya saya mengorek luka kamu." Mentari mengangguk. "Gak papa, Pak. Sebenarnya, saya juga gak bisa mengungkapi apa yang saya rasakan. Sedih, tapi ya..." Damian memandangi Tari dalam. Dia tau masalah Tari. "Apa karena kamu gak punya teman curhat yang bisa kamu percaya, makanya kamu terbiasa memendam perasaan kamu?!" Sebenarnya Tari tidak merasa seperti itu. Hadirnya Langit sudah segalanya untuk Tari. Sayangnya Tari juga tidak ingin menceritakan kedekatannya dengan Langit. "Kalo begitu, saya siap, kok jadi teman curhat kamu!" Ucapan Damian semakin menambah GEER Tari. Seolah ledekan Mala terpatri erat apalagi dia menatap Tari dengan tulus. Apa mungkin Damian menyukainya. Dan, jadi gini rasanya punya 'penggemar' pantas Langit selalu senangnya dalam hati punya banyak fans... Mentari cuma ingin membalas sikap Langit selama ini. Membuktikan semua ucapannya kalau Mentari gak bakalan laku soalnya galak, dan entah kalimat sindrian apa lagi yang membuat Tari jadi merasa dirinya 'tidak layak' untuk siapa pun. Dia mengangguk. Memberi jalan untuk 'pejantan' lain hinggap dihidupnya. *** "Lang, Lo dicariin tuh!" Teman kerjanya, Viki memberitahu Langit. Langit menunjukkan jempol sebagai tanda terima kasih. Waktu melihat yang mencarinya ternyata Bulan, dia jadi tersenyum. "Kamu ke sini lagi?!" "Iyah. Kan, aku bilang. Bunga-bunga di sini diambil dari forist aku. Dan biasanya dua hari sekali aku yang ngbawain pesenan." Dia sedikit berbohong untuk itu. Bulan cuma mau melihat Langit. "Oh, oke. Tapi aku kerja dulu,ya!" Bulan mengangguki dan tidak berniat menganggu Langit. Baginya, melihat Langit bekerja diiringi peluh dan urat tangannya yang semakin tegas menambah kesan seksi di diri Langit. Dan ingat, pria itu akan jadi miliknya sebentar lagi. "Aku ke ruangan Risma dulu,ya!" Bulan ijin. Langit hanya tersenyum karena sebelumnya dia tau, keduanya berteman. Saat sampai di ruangan Risma, Bulan langsung duduk di depan temannya. "Eh, kok Lo kesini lagi. Ada yang kurang?" Temannya itu melotot spontan. Bulan terkekeh geli. "Gak, gue lagi mau main aja di sini." "Lo mau main apa mau liat Langit?" godanya. Bulan tidak menampik itu. "Eh, tapi dia emang keren banget,ya. Cowok banget gitu." Lanjut Risma. Bulan berdehem dan memastikan kalau Risma dilarang naksir. "Ha ha ha... ya kalik, Lo kan tau gue udah punya pacar. Nah, sekarang giliran Lo deh!" Bulan sendiri usianya di bawah Langit satu tahun. Jadi bisa dikatakan dia bukan teman sebaya Mentari, hanya karena mereka sama-sama anak perempuan, Bulan juga suka bermain dengan Tari. Meski alasan dia sebenarnya untuk mendekati Langit. Saat ini Bulan sudah kuliah. Orang kaya sepertinya pasti langsung kuliah setelah lulus sekolah. Dan kebetulan dia dan Langit satu universtas dengan jurusan yang sama. "Udah, ahk. Gue mau liat Langit. Eh, entar kalo gue sering godain anak buah Lo yang hot itu Lo gak ngambek kan, terus jangan pernah,ya sesekali ngasih hukuman buat Langit. Atau Lo dapet kartu merah dari gue!" Risma tergelak, sambil menaiki tangannya dia bilang. "Ampun deh, di mana lagi gue dapet vendor seloyal Lo. Ya udah, khusus Langit. Suka-suka Lo, bungkus!" Sesuai dengan niatan. Bulan mendekati Langit yang sedang sibuk membersihkan meja tamu. "Sini aku bantu!" Dia merebut kanebo di tangan Langit. Langit tersentak, "Gak usah, ini kerjaan aku, kok!" "Iya. Tapi aku mau bantu," balas Bulan dengan senyum tersunggil. Merasa tidak enak, akhirnya Langit membiarkan saja. Sedang dia menata bunga baru ke pot. "Kamu hebat juga,ya menata bunganya.." Langit terkekeh waktu dipuji. Perasaan dia hanya memasukkan ke tempatnya tanpa usaha lebih. "Masa?" Bulan meninju lengan Langit pelan. "Jadi kamu gak percaya sama penilaian pemilik florist kayak aku?" Tapi saat melihat bunga mawar merah, Langit teringat Mentari. Terakhir dia memegang bunga jenis itu sambil menangis. Yah, tepatnya saat hari pemakaman ayahnya. Perasaan Langit kembali sedih. 'Tari udah pulang les belom,ya?' Hari rabu biasanya jadwal les Tari. "Eh, kok. Bengong?!" Padahal sedang diajak ngobrol tapi Langit terlihat tidak fokus. Sebenarnya apa yang dia fikirkan. Bulan mau tau itu. "Ayok ngaku mikirin apa?" Dengan gaya sedikit centil dia menuding Langit. "Ehm, kamu kenal sama Mentari kan?" Degh! Kenapa Langit harus membahas dia disaat mereka bersama. Namun, sialnya Bulan tidak akan mungkin menunjukkan ketidak sukaannya pada Mentari. "Yah pasti dong. Arsila Mentari, yang kalo kalah main selalu nangis!" Langit tergelak. Dulu Mentari memang hobi menangis, mungkin sampai sekarang. "Dia nangis bukan karena kalah. Tapi karena ada yang curang mainnya, dan Tari gak suka itu!" Wajah Bulan menjadi pias. Apa selama ini Mentari juga membicarakan aktifitas permainan mereka pada Langit. Lalu, apa pendapat Langit tentangnya. Jangan-jangan Langit masih berfikir dia orang yang curang. "Oh, ooo.. ha ha ha! Terus kalian masih deket?" Waktu kecil, Langit bisa dikatakan punya dua adik. Sayangnya Bulan pindah demi mengikuti orangtuanya. Alhasil Bulan kehilangan kesempatan mempertahankan Langit. Tapi sekarang dia ingin merebut Langit. Langit mengangguk yakin. Dia juga cerita jika hubungan dia dan Mentari masih sama seperti dulu. Ahk, mungkin bisa dibilang jauh lebih akrab dan jauh lebih hangat. "Kapan-kapan kita reunian, yuk!" Ide itu tercetus dari bibir Langit. Terpaksa Bulan mengiyakan. Oke, puluhan taun dia sudah kalah saing. Tapi, ke depannya akan Bulan pastikan Langit lebih 'menyayanginya' ketimbang rasa sayangnya pada Mentari. Lagipula, Mentari itu kan tidak menyukai Langit. *** Tari bingung haruskah dia bercerita kini punya tempat curhat lain, selain Langit. Cuma gimana kalau reaksi Langit B aja. Dia kan gitu, suka gak ketebak. "Ck, ntar gue capek cerita sampe mulut gue berbusa dia cuma. 'Oh, terus, Tar.' Rasanya mau gue cekik!" "Assalamuaikum," Langit sekarang membiasakan diri ijin waktu masuk rumah Tari. Tari segera ke depan dan membuka kan dia pintu. Dia melirik tampilan Langit. "Lo baru pulang kerja?!" Langit cemberut sembari mengangguk. Dia gak menyangka hari pertama kerja saja sudah sangat melelahkan ditambah harus menghadapi mata sinis rekan kerjanya. Meski Langit tidak tau kenapa itu terjadi. Tapi untuk dia yang terbiasa hidup santai kayak di pantai. Dan tiba-tiba saja sangat sibuk, dengan rutinitas padat melebihi padatnya kereta waktu jam pulang kerja. Tentu sangat syok. Langit baru merasakan kegilaan para pekerja yang pastinya sangat berbeda rasanya kala dia hanya berstatus seorang pelajar. Huh! Pantas jika ada orang bilang cari uang itu sulit, meski lebih sulit melupakan Reihan. "Terus ngapain kemari. Lo salah rumah woy!" Mentari kira, sangking kelelahannya Langit sampai salah liat nomor rumah. Eh, tapi tampilan depannya kan juga beda. Jangan-jangan Langit udah rabun, nih. Langit sudah masuk ke rumah Tari. Dia menoleh sedikit, "Lo gak sadar, daritadi kan kita belum ketemu!" Bagi Langit kayak suatu kewajiban dia harus bertemu Mentari selambat-lambatnya 1x24 jam jika ingin hidupnya ceria. Entah itu sugesti dari mana, yang jelas, selelah apa pun. Dia ingin memastikan keadaan Tari. Pipi Tari jadi merona. Kenapa, sih. Langit itu sembarangan ngomongnya. Kalau gak mau tanggung jawab sama perasaan Tari jangan terus-terusan buat Tari berdebar dong.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD