*******************
Sejak malam di mana Ziyan menemukan fakta pahit perselingkuhan suaminya. Sejak saat itu, hubungan mereka membeku, diselimuti keheningan yang menyesakkan dan kehancuran yang tak terhindarkan.
Ziyan kini menjelma menjadi sosok yang tak tersentuh, acuh, dan seolah tak lagi memiliki emosi. Tindakan Arga, seburuk apa pun itu,Ziyan tak perduli.
Pagi ini ,baru saja kembali dari perjalanan bisnis luar kota, Ziyan harus menghadapi pemandangan Arga yang dengan santainya membiarkan selingkuhannya, Risa, tinggal di rumah mereka—rumah yang seharusnya menjadi miliknya sendiri.
Syukurlah, dinding tak kasat mata telah dibangun di antara mereka, ditandai dengan keputusan untuk pisah kamar sejak lama. Pikiran bahwa ranjangnya digunakan untuk pengkhianatan memang menyakitkan, tetapi setidaknya, luka itu tidak sedalam jika mereka masih tidur bersama.
Di ruang makan, Risa tampak cekatan menyiapkan sarapan. Arga duduk di sana, membaca koran, sesekali melontarkan tawa kecil saat Risa bercerita. Mereka benar-benar terlihat seperti pasangan suami istri yang baru memulai hari.
Langkah kaki yang tenang dan berirama mulai menuruni tangga.
Ziyan hadir. Ia mengenakan blus sutra yang elegan dipadukan dengan celana panjang bahan yang jatuh sempurna, tas tangan branded tersampir di lengannya. Setiap gerakannya memancarkan keanggunan seorang ratu, namun di baliknya tersimpan aura ketegasan yang dingin.
Wajahnya datar—bukan tanpa ekspresi, melainkan terpasang dengan ketenangan yang mengintimidasi. Kecantikannya tak sedikit pun pudar; justru aura kuat itulah yang membuat siapa pun kesulitan mendekat. Pandangan mata di balik iris cokelatnya tak terbaca, seolah menyimpan lautan rahasia dan sakit hati yang tak akan pernah terucapkan.
Langkah Ziyan terhenti sebentar di ambang ruang makan. Ia menyapu pandang ke arah meja, di mana pria bersurai gelap dan wanita berambut sebahu itu tengah asyik bersenda gurau di tengah piring-piring sarapan. Ziyan mengamati—tanpa perubahan sedikit pun di wajahnya.
Ia kembali melangkah. Kehadirannya yang mendadak membuat suasana ceria itu runtuh.
Risa, yang menyadari kedatangan Ziyan, refleks berdiri dari duduknya. Senyumnya dipaksakan, berusaha menutupi rasa gugup yang menjalar.
"Pagi, Mbak Ziyan," sapa Risa, suaranya sedikit bergetar.
"Hm, pagi," jawab Ziyan datar, lirikannya sekilas beralih pada Arga, yang kini menanggapi dengan senyum tipis yang terasa basa-basi.
"Cepatlah duduk. Beruntung Risa mau repot-repot membuatkan sarapan." ujar Arga, suaranya terdengar normal—terlalu normal untuk seseorang yang sedang mengajak selingkuhannya tinggal bersama istrinya.
"Bi Lastri ketahuan mencuri perhiasanmu oleh Risa dua hari lalu. Sudah aku pecat, dan aku belum sempat mencari penggantinya."
Risa mengangguk cepat, "Benar, Mbak. Aku lihat sendiri dia mengambilnya dari kamar Mbak. Ada bukti CCTV-nya, kok. Iya, kan, Mas?"
"Iya," Arga menimpali, "Tapi kamu tenang saja. Semua barangmu aman, tidak ada yang hilang sedikit pun."
"Hm. Terima kasih," ucap Ziyan, singkat. Tanpa menunggu ajakan lebih jauh, ia menarik kursi, mendudukkan dirinya di sebelah Arga, tepat di hadapan Risa.
Ziyan meletakkan tasnya dengan bunyi dug yang cukup keras. Ia mulai menyajikan sarapannya: hanya selembar roti tawar dengan sedikit olesan selai cokelat. Ia sepenuhnya mengabaikan tatapan Arga dan Risa yang kini terdiam, merasa canggung oleh ketenangan Ziyan.
"Aku tidak tahu kalau kamu akan datang sepagi ini, Risa," Ziyan berbicara. Matanya tetap fokus pada piring, tapi suaranya tajam dan menusuk.
Risa otomatis menjadi salah tingkah.
"A-ah... i-itu... s-sebenarnya..." Risa tergagap.
"Semalam kami baru pulang dari Bandung, sudah terlalu larut. Jadi aku menyuruh Risa menginap," Arga segera memotong, menyelamatkan kekasihnya.
Ziyan tidak merespons.Baginya, itu adalah hal biasa. Justru sikap Ziyan yang terlampau santai itu yang membuat Arga dan Risa kembali diselimuti ketidaknyamanan.
"A-aku harap Mbak nggak marah karena aku menginap di sini," ujar Risa dengan nada penuh harap dan sedikit rasa takut.
Ziyan mengangkat wajahnya. Mata cokelatnya menatap lurus ke mata Risa.
"Semua orang di rumah ini juga sudah tahu siapa kamu. Jadi, tidak perlu sungkan," tambah Ziyan, lalu kembali fokus pada makanannya.
Risa tersenyum kikuk, wajahnya memerah karena malu bercampur gusar. Sementara Arga, ia hanya tersenyum tipis untuk menenangkan Risa.
"Sudahlah.Ayok sarapan." ujar Arga.
Ketiga orang itu melanjutkan sarapan dalam keheningan yang memekakkan.
Tak!
Suara garpu dan pisau yang diletakkan Ziyan membuat Arga dan Risa terperanjat.
"Aku sudah selesai," kata Ziyan, mengambil tas tangannya dan berdiri.
"Kamu berangkat lebih awal?" tanya Arga, terdengar seperti basa-basi.
"Meeting," jawab Ziyan. Singkat, padat, jelas. Jawaban yang membungkam Arga.
"Aku duluan," Ziyan menoleh, tatapannya menyapu Arga dan Risa.
"Nikmati makanan kalian."
"Hati-hati di jalan, Mbak Ziyan," ujar Risa. Ziyan tidak membalas sapaan itu, hanya mengangguk tipis sebagai jawaban, lalu berbalik pergi.
Risa menghela napas panjang, menatap punggung Ziyan yang kini menghilang di balik dinding.
"Mbak Ziyan sangat cantik, ya. Dia... juga sangat baik," ucap Risa, menoleh pada Arga dengan senyum pahit. Ada perasaan iri dan ketakutan yang menggerogoti hatinya. Belakangan ini, sikap Arga padanya juga terasa berubah, tidak sehangat dulu. Seolah perasaannya mulai berkurang.
Arga terdiam sejenak, lalu meraih tangan Risa di atas meja.
"Kamu juga cantik," balas Arga, mengelus punggung tangan Risa.
Jawaban itu sontak membuat Risa tersipu, kegundahan di hatinya sedikit terobati.
"Ayo, kita lanjut makan."
Risa mengangguk, tersenyum, dan kembali menyantap sarapannya. Arga melakukan hal yang sama, namun pandangannya sempat melirik ke arah Ziyan pergi.
Jujur, Arga harus mengakui bahwa Ziyan adalah wanita yang luar biasa cantik. Bahkan, kini ia terlihat jauh lebih memikat dibandingkan saat awal mereka bertemu dan menikah.
Ziyan juga sangat baik. Jika tidak, wanita itu mungkin sudah melaporkan perselingkuhan mereka kepada orang tua mereka. Tetapi Ziyan tidak melakukannya.
Ya, Arga dan Risa adalah pihak yang tidak tahu diri di sini.
Hanya saja, senyum dan kehangatan yang dulu menjadi ciri khas Ziyan kini telah hilang, direnggut oleh Arga sendiri.
Dia memang si b******k yang beruntung.
Saat Ziyan melangkah keluar dari rumah, sebuah mobil hitam mewah sudah menunggunya di depan.Di samping mobil berdiri seorang pria dengan setelan formal yang rapi, sosok yang selalu ada dan bisa diandalkan Ziyan.
Dia adalah Adrian Dinata, asisten sekaligus sekretaris pribadi Ziyan. Selama hampir tiga tahun, Adrian selalu menjaga Ziyan, dan wanita itu telah menganggapnya seperti kakak sendiri.
"Selamat pagi, Nona," sapa Adrian hangat, seraya membukakan pintu mobil untuk Ziyan dan sedikit membungkuk.
Ziyan membalasnya dengan senyum tipis.
"Pagi, Adrian," balasnya.
Ziyan masuk ke dalam mobil. Bersama Adrian, merekapun meninggalkan rumah itu, menuju dunia luar yang mungkin jauh lebih jujur daripada rumahnya sendiri.
Bersambung.....