Dua

746 Words
"Aku hamil, Kem." Kemala yang baru saja melahirkan itu mengernyit bingung, Kakak sepupunya janda anak dua, sudah jelas tidak bersuami, lalu siapa yang menghamilinya? "Kok bisa? Siapa yang menghamili Mbak?" Tanpa Kemala sadari suaminya melotot memberi peringatan pada Laksmi agar tidak memberitahu siapa yang menghamilinya. Namun, Laksmi nekat memberitahu siapa ayah si jabang bayi. "Mas Susanto yang menghamiliku." Seketika gelas yang baru saja Kemala pegang lepas menimbulkan suara pecahan menimpa kakinya. Kemala membatu, bak disambar petir berkali-kali membuat tubuhnya mati rasa, tetapi merasakan panas luar biasa. "Mas Susanto yang hamilin Mbak?" ulang Kemala dengan bibir tersungging paksa seolah kebeneran yang baru saja diungkapkan adalah sebuah lelucon. Susanto berdiri, matanya melotor memerah. "Saya nggak menghamili kamu!" "Beneran, Kem. Mas Santo yang hamilin." "Gila kamu, ya!" sambar Susanto membentak Laksmi. "Berapa bulan, Mbak?" "Enam bulan." Batin Kemala tertawa pedih, dia kira penemuan sebelumnya hanya kekhilafan sesaat suaminya, dan dia meyakini suaminya hanya bercanda belaka. Otaknya membeku harus melakukan apa saking syoknya dengan kenyataan yang menimpanya. "Kem, dengarin aku," Kemala mengangkat tangan memberi isyarat agar suaminya tidak berbicara. Beberapa saat diam, secepat angin tangan Kemala menarik kerudung yang digunakan kakak sepupunya sekuat tenaga. "Nggak punya perasaan kamu, hah?! Mau-maunya tidur sama suami sodara sendiri!" teriak Kemala dengan amarah yang meledak-ledak. "Setan kamu, hah!" "Kem, lepasin, Kem!" ringis kakak sepupunya berusaha melepaskan tangan Kemala dari kerudungnya. Tamparan demi tamparan dilayangkan Kemala, belum puas, dia mendorong kakak sepupunya itu hingga tersungkur ke lantai. "Kamu tahu dia suami aku, Mbak, tapi tetap kamu layani! Aku juga lihat video menjijikan kamu di hape milik Mas Santo. Nurani kamu ke mana, Mbak!" bentak Kemala menggebu-gebu. Laksmi hanya menangis, bersikap seolah dia yang disakiti. Beramai-ramai tetangga datang, berusaha melerai, memindahkan Laksmi ke tempat yang lebih aman agar Kemala berhenti menyiksa Laksmi. Kemala ingat, ada buaya darat yang belum dia beri pelajaran. Kemala berbalik, bergegas menghampiri suaminya yang tengah dilanda rasa panik. Jarak mereka semakin dekat, Kemala mengayunkan tangannya ke pipi suaminya berkali-kali menimbulkan bunyi keras dan meninggalkan bekas telapak tangan Kemala. "Kamu nggak punya otak selingkuh sama sodarku sendiri, Mas?!" Kemala mencengkeram kerah kaos Susanto, matanya memerah. "Aku kurang apa! Mau kamu apa!" Napas Kemala memburu, menguatkan cengkeramannya. "Berapa banyak wanita kamu tiduri, aku nggak peduli. Berpuluh-puluh kali kamu selingkuh, aku nggak peduli. Tapi ini? Hamil? Kakak sepupuku sendiri?" Kemala berdecih, mendorong kuat-kuat Susanto. "Gila kamu!" "Kem, Kem, Kem, sabar." wanita paruh baya memeluk Kemala dari belakang, menangis terisak. "Sabar, Nak, sabar." Tubuh Kemala bergetar, tangisnya pecah seketika bersamaan dengan tubuhnya yang luruh ke lantai. "Aku kurang baik apa sama Mbak Laksmi, Mak? Dia kok tega melayani suamiku sendiri." Ibunya tak kuasa menahan tangis, memeluk anaknya dari samping. "Sabar, Nak." Tangis Kemala semakin menjadi ketika mengingat putriny yang baru lahir dua minggu lalu. Bagaimana nasib putrinya sekarang? Susanto nyaris bersujud di depan Kemala, meminta maaf berkali-kali, mengakui perbuatannya salah hanya karena dia sedang khilaf. Kemala memalingkan wajah, enggan melihat wajah suaminya yang menjijikan. Tak mau terhanyut dengan sandiwara suaminya, Kemala memilih beranjak, berlalu dari sana menuju kamar putrinya. Di kamar putrinya Kemala kembali menangis karena melihat mata bulat putrinya yang bersih dan berbinar polos. Rasanya, dia tidak pernah menyakiti seseorang, tetapi mengapa Tuhan malah membiarkan mereka menyakitinya? Gadis kecil berambut hitam bergelombang itu menatap heran ke arah ibunya yang sedang bertopang dagu, duduk di dekat jendela berlinang air mata. "Ibu!" Lamunan Kemala buyar seketika, dia mengerjap dengan sigap melebarkan bibirnya tersenyum menyambut kedatangan putrinya, tidak lupa mengusap air matanya. "Anak cantik udah pulang aja." Syakila berlari menghampiri ibunya, duduk di pangkuan ibunya. "Ibu kenapa nangis?" "Ibu nggak nangis." Syakila mencebik, mengubah duduk menghadap ibunya. "Ini mata Ibu basah," tunjuknya pada cairan bening yang masih menggenang di pelupuk mata Kemala. Kemala tersenyum dengan hangat. "Ibu kelilipan, Sayang." "Bohong, ah!" Kemala menggigit gemas hidung mancung putrinya, lalu menghunjami putrinya dengan kecupan. "Beneran, kapan Ibu bohong sama kamu?" Syakila memutar bola mata, berpikir. "Ibu sering bohongin Syakila." "Iya?" Kemala memasang raut wajah bersalah. "Ya udah maafkan Ibu, ya?" Syakila menggeleng. "Syakila maafkan Ibu setelah telepon Ayah." Sebelah alis Kemala terangkat. "Em?" "Ayo, Bu... Kila kangen juga sama Ayah," rengeknya. Kemala melirik jam di ponselnya yang menunjukkan pukul 11 siang. "Kalau teleponnya malam aja gimana? Jam segini Ayah masih kerja." "Tapi beneran, ya?" Kemala mengangguk, meyakinkan. "Beneran." Syakila melompat dari pangkuan ibunya, bersorak riang berlarian ke luar rumah. Sementara Kemala tersenyum licik, sengaja menghubungi pria sialan itu saat di rumah, ingin menyalakan api di dalam rumah mereka. Supaya istrinya itu merasakan rasa sakit yang sama dengannya. Sakit karena dibohongi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD