Ada yang paling Kemala benci setelah semua yang terjadi dalam hidupnya, yaitu takdir yang selalu memojokkannya membiarkan dirinya terus berkubang dalam kesengseraan. Ada rasa marah, mengapa rumah tangga yang dia idamkan rusak begitu saja. Dendam mengakar kuat membuat dirinya lupa ada balasan Tuhan yang lebih hebat dibanding balasan yang dirinya berikan sekarang.
"Di mana? Ini Syakila mau ngobrol sama kamu," sapa Kemala tersenyum manis tanpa dosa padahal dia tahu pria sialan itu ada di rumahnya dan sedang beredekatan dengan istrinya.
Terlihat wajah Santo yang kepanikan, melirikkan mata ke sebalah kanan di mana istrinya ada di sana juga. "Aku di rumah, besok siang ya teleponnya."
Dalam hati Kemala tertawa mengejek, menyelipkan rambutnya ke telinga. "Loh, kenapa? Syakila kangen kamu, ya udah aku telepon. Dia juga anak kamu, loh, anak pertama kamu."
Santo mengusap rambutnya gugup, mengembuskan napas berat. "Iya, Sa-- pokoknya nanti aja kita teleponnya, ya!"
Kemala tersenyum tipis. "Istri kamu nggak mengizinkan? Kasih hapenya, biar aku ngomong sama dia. Boleh merusak rumah tangga emak bapaknya, tapi jangan rusak juga hubungan anak dan bapak."
Santo berdecak, tidak lama kemudian layar ponsel Kemala berganti jadi layar beranda. Kemala menyeringai, pikirannya menduga-duga sedang apa mereka sekarang, sudah pasti sedang bertengkar. Tidak bisa dipungkuri, Kemala senang mereka bertengkar.
"Katanya mau telepon Ayah," rengek Syakila manja menggoyang-goyangkan lengan ibunya, matanya berkaca-kaca.
Kemala mengembuskan napas, mengusap mata putrinya. "Ibu udah telepon Ayah barusan, tapi Ayah kebelet mau pipis, jadi dimatikan dulu teleponnya."
Mata Syakila kembali berbinar, meraih ponsel ibunya, mencari-cari cara agar bisa menghubungi ayahnya. Melihat putrinya yang begitu antusias akan menghubungi ayahnya membuat hati Kemala teriris. Harusnya Syakila tumbuh dengan penuh kasih sayang, bukan terpisah seperti ini. Apa memang benar dirinya egois lebih mementingkan egonya daripada bertahan demi anaknya agar bisa tetap bersama ayahnya? Kemala menggeleng, anak tidak akan bahagia bila ibunya juga menderita. Itu pengobat hatinya agar tidak merasa menyesal.
Sementara di rumah Santo, mereka bertengkar hebat. Laksmi memaki Santo karena sudah berani berhubungan dengan Kemala. "Apa pun alasannya, kamu nggak boleh berhubungan dengan Kemala, Mas! Apalagi bersinggungan. Nggak boleh!"
Kening Santo mengerut tak terima, berkacak pinggang. "Kamu siapa? Berani-beraninya ngatur aku."
Laksmi melotot. "Aku istri kamu! Aku berhak melarang kamu."
Santo berdecih, tersenyum merendahkan. "Tapi ingat, sebelum kamu jadi istri aku, kamu simpanan aku, kan? Kemala nggak masalah, dia nggak pernah melarang-larang aku menghubungi siapa pun kayak kamu!" tunjuk Santo penuh emosi.
"Jangan samakan aku sama Kemala! Kami beda!"
"Oh iya, kalian memang beda. Kemala jauh lebih baik dari segi mana pun dibanding kamu."
Hati Laksmi seketika terasa ditikam, air matanya berlinang. "Bukannya dulu kamu bilang, aku lebih baik dari Kemala? Aku lebih bisa memuaskan kamu dan mengurus kamu dibanding Kemala, kenapa sekarang berubah?"
Santo tersenyum, matanya menilai dari atas kepala Laksmi hingga ke ujung kakinya. "Dulu mataku ditutupi nafsu sama ditemani Setan, jadi rasanya indah setiap bersama kamu. Tapi sekarang? Bersama kamu setiap hari malah bikin aku ngerasa kayak di neraka!" setelah mengatakan itu, Santo pergi meninggalkan kamar.
Laksmi bergeming, derai air matanya semakin deras. Dia mengira semua akan semakin indah bila Santo menjadi miliknya seutuhnya, tapi yang dia rasakan jauh dari kata bahagia. Yang ada menderita setiap harinya karena pertengkaran yang tak pernah usai. "MAS!"
Sesaat duduk di ruang tamu, telepon Santo berdering. Senyum Santo mengembang setelah menjawab telepon, di sana muncul putri kecilnya tersenyum lebar ke arahnya sambil melambaikan tangan. "Ayah!"
Santo balas menyapa, berusaha memudarkan ketegangan di wajahnya. "Anak Ayah cantik banget, sih! Apa kabar, Sayang?"
"Syakila sehat, Ayah."
Santo mengangguk, tersenyum haru. "Syukur kalau anak Ayah baik-baik aja, maafkan Ayah belum sempat nengok Syakila, ya?"
Gadis kecil itu menggeleng masih memamerkan senyum manisnya. "Nggak apa-apa, Ayah. Tapi sekali-kali Ayah tengok Syakila, ya? Syakila mau main sama Ayah, jalan-jalan sama Ayah, terus pokoknya banyak banget yang mau Syakila lakuin sama Ayah."
Santo mengangguk, matanya terasa memanas. "Kalau Ayah udah nggak sibuk, pasti langsung nengok Syakila, ya?"
"Iya. Ayah janji, ya?"
Santo mengangguk. "Iya, Ayah janji." Cairan bening membendung di pelupuk matanya, dengan cepat Santo meminta izin menyudahi telepon pada putrinya. Dia tidak mau putrinya melihat air matanya. Telepon disudahi, saat itu juga air mata Santo berlinang. Nafsu semata memisahkannya dari wanita yang dia cintai dan putrinya.
Santo mengusap wajahnya kasar menghela napas panjang karena penyesalan mendadak menderanya.
Laksmi datang sembari melemparkan putra mereka yang baru berusia 3 tahun. "Bukan cuma dia anak kamu, Endro juga anak kamu sama!" ketus Laksmi tak terima melihat suaminya yang meneteskan air mata saat menghubungi anak pertamanya.
Sorot mata Santo berkilat marah. "Jangan macam-macam ya kamu, mancing keributan depan anak," tekan Santo dengan nada rendah.
Alih-alih mendengarkan ucapan suaminya, Laksmi merebut ponsel Santo, mengotak-atik lalu dengan sengaja memblokir nomor Kemala. "Aku nggak suka kamu berhubungan sama Kemala, walaupun hanya sebatas anak. Masih ada cara lain supaya bisa menghubungi anak kamu, nggak harus lewat ibunya. Syukur-syukur putus hubungan sekalian."
Santo berdecih, memindahkan anaknya ke sisi sofa, kemudian berdiri. "Kalau nggak ada Endro, udah habis kamu aku pukuli," bisik Santo kemudian berlalu keluar dari rumah.
Laksmi mengentakkan kaki kesal, dia tak suka bila Santo lebih menyayangi anak pertamanya dengan Kemala dibanding anak mereka. Sialan sekali Kemala, dia harus memperingati Kemala agar menjauh dari suaminya. Dia harus menyelamatkan rumah tangganya dari gangguan janda seperti Kemala.