Satu minggu rasanya sangat sebentar untuk Kemala yang masih merindukan putrinya. Kemala tersenyum sendu, melambaikan tangan saat mobil trip yang mengantarnya kembali ke Jakarta. Rasa sesak membendung di hatinya ketika melihat senyum manis yang terukir dari bibir putrinya. Inginnya selalu bersama putrinya 24 jam, tetapi bila dia tetap tinggal, bagaimana memenuhi kebutuhan putrinya.
Mobil melaju semakin jauh hingga putrinya tak lagi terlihat. Senyum yang susah payah dirinya pertahankan pudar seketika, ringisan terbit dari bibirnya. Tak mau larut dalam kesedihan, Kemala memilih memejamkan mata sembari memeluk dirinya sendiri. Bayangan keceriaan putrinya menari-nari dalam benaknya.
"Mbak, ke Jakarta mana?"
Kemala membuka mata. "Jakarta Barat, Mbak," jawabnya kemudian tersenyum tipis.
Wanita di sebelahnya mengangguk-angguk. "Sama dong, Mbak kerja apa?"
Kemala menunjuk dirinya sendiri. "Saya kerja jagain toko baju, Mbak."
"Oh, saya kerja jadi pembantu. Baru mau mulai."
Kemala mengangguk, melihat wajah gadis itu yang duduk di sampingnya.
"Yang tadi dadah-dadah itu anaknya, Mbak?"
Kemala hanya mengangguk singkat.
Tiba-tiba gadis itu menepuk lengan Kemala kuat, sembari memekik kencang. "Kukira itu adiknya Mbak, loh. Habisnya wajah Mbak kelihatan masih muda, kayak belum punya anak gitu."
Kemala yang terkejut hanya bisa tersenyum kikuk, mengusap lengannya yang berdenyut bekas tepukan gadis itu. "Saya baru usia 25 tahun, Mbak."
Mata gadis itu berbinar. "Beda 3 tahun, Mbak. Aku 22 tahun. Aku kira kita seusia, Mbak."
Kemala tertawa kecil, canggung dengan keramahan gadis itu. "3 tahun lebih muda, ya," sahut Kemala mengalihkan pandangan ke arah lain. Paras Kemala memang tergolong cantik, matanya sedikit sipit, hidungnya tidak mancung tapi mungil, wajahnya bulat. Hanya saja, saat dirinya mengandung Syakila lebih malas mengurus diri dan terlihat dekil.
"Kita bisa temenan kan ya, Mbak? Mbak jadi teman pertama saya merantau."
Kemala mengangguk tanpa berpikir panjang, karena tipis kemungkinan mereka akan bertemu lagi.
"Nama aku Intan, Mbak," ucapnya mengulurkan tangan.
Kemala mengangguk lagi, menerima uluran tangan Intan. "Kemala."
"Mbak kerja ke luar kota ninggalin anak sama suami?"
Seketika Kemala tersenyum masam. "Aku kerja ninggalin anak doang, nggak ada suami. Justru karena aku ditinggal selingkuh suami, makanya aku kerja."
Bibir Intan membulat tak menyangka wanita secantik Kemala bisa diselingkuhi dan ditinggalkan. "Wah, suaminya nggak bisa bersyukur kayaknya, Mbak."
Kemala tertawa kecil, mengangguk. "Iya memang, dia nggak pernah bisa bersyukur. Makanya hobi gonta-ganti cewek, mungkin lagi nyari wanita yang bisa bikin dia bersyukur, ya?" gurau Kemala tanpa sadar menceritakan mantan suaminya pada orang yang dikenal.
Intan menatap sendu Kemala, rasa iba muncul mendengar ceritanya. Padahal mereka baru saja bertemu dan kenal, tapi rasanya seperti sudah lama saling mengenal. "Pasti berat banget jadi Mbak, ya?"
Kemala tertawa, mengibaskan tangannya. "Kok baru ketemu aku udah cerita," ucap Kemala setengah menggerutu. Dia tidak biasa, hanya orang-orang terdekat saja yang bisa mendengar ceritanya.
Intan mengusap lengan atas Kemala, berkali-kali mengatakan sabar pada Kemala. "Pasti Mbak bakal kebagian indah pada waktunya, nggak mungkin banget Allah nggak ngasih balasan atas kesakitan Mbak ini."
Kemala tersenyum, menatap lekat Intan. "Kita baru kenal, loh."
"Nggak apa, Mbak. Siapa tahu nanti aku bisa bantu Mbak dan kita bisa tambah dekat gitu, bukan hanya sekadar teman ngobrol di mobil doang," sahut Intan dengan ceria.
"Iya, kamu bener." Kemala teringat sepanjang percakapan, kebanyakan Intan yang bertanya. Tidak ada salahnya dia bertanya sekadar berbasa-basi. "Kamu kerja di mana, Tan?"
"Aku kerja di rumah pebisnis, Mbak, minta bantu setrika sama ngurus anak doang."
Kemala mengangguk paham. "Pebisnis apaan?"
"Itu loh, Mbak, pemborong kayu. Namanya Mas Susanto, terkenal dia daerah aku, Mbak."
Seketika bibir Kemala terasa kaku. "Oh, Susanto."
"Mbak kenal?"
Kemala ingin mengangguk, tapi urung. Lebih baik tidak mengungkap hal yang berkaitan dengan pria sialan itu untuk sekarang. Mungkin Intan salah satu jalan agar dia bisa lebih mudah mengobrak-abrik isi rumah pria sialan dan wanita laknat itu.
"Mbak?" Intan melambaikan tangan mencoba menyadarkan Kemala yang melamun. "Mbak?!"
Kemala mengerjap, tersenyum kikuk. "Wah, mudah-mudahan kamu betah di sana, ya." Kemala mengeluarkan ponsel yang disimpan di kantong kemejanya. "Nomor kamu, Tan, biar kita bisa komunikasi supaya lebih dekat."
Dengan antusias Intan menyebutkan nomor teleponnya. Belum apa-apa dia sudah mendapatkan teman, dan tidak akan kesepian di Ibu Kota. Sementara Kemala semakin merasa senang karena keinginannya untuk menghancurkan rumah tangga pasangan menjijikkan itu bisa terkabul.
Sesampainya di Jakarta, Kemala lebih dulu turun dari mobil, dia melambaikan tangan pada Intan yang masih ada di dalam sedikit berbasa-basi mengatakan agar berhati-hati dan menghubunginya bila terjadi sesuatu. Kemala berjalan begitu tenang, ketika berada di seberang toko tempatnya bekerja, Kemala disambut dengan lambaian tangan dari pria sialan yang sudah berdiri di seberang jalan.
Dengan terpaksa Kemala tersenyum, menyeberang jalan ketika lampu lalu lintas berganti warna merah. Saat jarak mereka semakin dekat, perut Kemala semakin bergejolak mual melihat tingkahnya yang menjijikkan.
Santo merentangkan tangan, memberi isyarat agar Kemala memeluknya. Tanpa Santo sadari, Kemala terpaksa meringsek masuk ke pelukannya. Dan hanya bertahan beberapa detik, menjauh dari pelukan.
"Aku kangen banget sama kamu, Sayang. Seminggu nggak ketemu rasanya tuh kayak bertahun-tahun gitu," ucap Santo dengan nada manja sambil membelai wajah Kemala.
Kedua tangan Kemala mengepal kuat menahan rasa jijik atas sentuhan yang diberikan pria sialan itu. "Aku nggak bisa ikut kamu jalan, harus langsung masuk kerja. Lain kali aja ya jalan-jalannya kalau udah agak lama masuk kerjanya," elak Kemala melangkah menjauh dari jangkaun Santo. Karena dia sudah tahu, pria sialan itu akan mengajaknya berhubungan intim.
Santo mencebik. "Padahal aku mau ajak kamu ke hotel."
Kemala tersenyum paksa. "Lain kali," tolak Kemala kukuh. Kemala terus mundur menjauh hingga dirinya mencapai pintu masuk toko tempatnya bekerja. "Nanti malam kutelepon, oke?" ucapnya kemudian mengedipkan sebelah mata menggoda, lalu mengecup tangan meniupkannya ke arah Santo sebelum akhirnya masuk ke toko.
Kemala mengembuskan napas lega, mengusap dadanya tidak menyadari ada seseorang yang memperhatikan sejak dirinya di seberang jalan.
"Harusnya kalau kamu jijik, jangan mengumpankan diri sendiri untuk jadi santapannya."