Mereka berdua duduk berhadapan, sesekali menyeruput kopi yang Kemala seduhkan karena disuruh oleh bosnya.
“Sejak kapan?” Kemala mendongak, memberanikan diri menatap bosnya. “Kamu berhubungan sama pria b******n itu?”
Kemala menelan ludah kesusahan setelah melihat sorot mata bosnya yang berkilat marah. “Saya dengar dari Dian waktu berusaha ngusir dia pergi dari toko,” jelas pria tampan yang duduk berseberangan dengan Kemala.
Kemala bergeming, bingung harus bercerita dari mana karena bosnya tahu bagaimana kerusakan rumah tangganya dulu. “Itu, Mas, saya sengaja mendatangkan karma buat mereka,” jawab Kemala terbata.
Pria yang dipanggil Mas itu berdecih, tertawa mengejek setelah mendengar jawaban pegawainya itu. “Kamu siapa? Tuhan?” ejeknya sembari menautkan alisnya. “Kamu manusia biasa sama kayak mereka. Hitung-hitungan karma nggak akan selesai dengan kamu membalas perbuatan mereka. Puas? Enggak. Yang ada kamu malah menderita dan tersiksa sendirian, belum harus menerima balasan atas perbuatan kamu yang udah merusak rumah tangga mereka.”
Kemala terdiam, tubuhnya bergetar sampai ke tangannya yang sedang memegang cangkir kopi. “Nunggu balasan dari Tuhan lama, Mas.”
Pria itu kembali tertawa, kali ini lebih menggelegar. “Berapa lama? Baru 4 tahun. Tuhan sedang menyiapkan waktu yang tepat, Kem. Kamu nggak harus merusak diri sendiri kayak begini.”
Kemala menunduk, tak berani berucap lagi, karena berdebat dengan bosnya mustahil bisa menang atau dia memahami pikirannya.
Wanita bertubuh tambun datang dengan napas terengah seolah sedang terjadi hal darurat, wajahnya pun pucat pasi. “Maaf, Mas, itu ada yang harus dibongkar berdua. Boleh nggak pinjam Kemala sebentar?”
Pria itu menghela napas, bersandar di sandaran kursi sambil bersedekap. “Saya lagi meluruskan dulu Kemala, memang kamu nggak bisa bongkar sendiri?”
Dian menggeleng, bibirnya menyengir. “Nggak bisa, Mas, harus berdua. Kalau saya sendiri bisa turun peranakan saya, Mas.”
Pria itu mengibaskan tangan, menyuruh keduanya pergi. Saat itu juga Kemala beranjak dari duduknya, berpamitan kemudian berlalu dari ruang santai toko.
Kemala mengembuskan napas lega, mengusap dadanya berkali-kali. “Kenapa coba kamu harus bilang sama Mas Satria kalau aku lagi dekatin si b******n itu?”
Dian tersenyum kikuk, menggaruk kepalanya yang tak gatal. “Aku kan nggak boleh menunjukkan gelagat kebencian, terus Mas Satria kayak heran gitu lihat aku yang bersikap ramah ke dia. Ditanya aku habis-habisan sama Mas Satria.”
Kemala mengusap wajah kasar, mendelik pada sahabatnya itu, kemudian mencebik kesal. “Cari alasan lain juga kan bisa, nggak harus diomongin semua juga.”
Dian tertawa kecil. “Biasalah, mulutku nggak bisa bertahan terlalu lama menyimpan rahasia.”
Kemala menggeplak lengan montok sahabatnya, menggerutu sembari membongkar barang-barang yang baru datang. “Nyesel aku kasih tahu kamu, kalau gitu nggak usahlah kasih tahu. Biar jadi misi rahasia aja.”
Dian menoyor kepala Kemala kuat hingga membuatnya mengaduh kesakitan. “Kalau kamu kayak gitu, nanti kalau terjadi apa-apa sama kamu, aku nggak bisa bantu, ya minimal tahu tersangkanya dulu aja.”
Seketika Kemala mengetuk-ngetuk kepalanya, mulutnya berulang kali mengatakan, “Amit-amit, jangan sampailah terjadi sesuatu yang nggak diinginkan, Ian.”
“Ya kita kan nggak tahu nasib seseorang gimana, ya. Jadi jaga-jaga aja gitu.” Dian tahu bagaimana perjuangan sahabat sekaligus adiknya dulu saat terpuruk dan trauma berat akibat tragedi yang menimpanya dulu. Sungguh bila itu terjadi pada dirinya, mungkin bunuh diri adalah solusi yang akan dirinya pilih.
Kemala tak lagi menanggapi, memilih fokus pada pekerjaannya. Dia sangat tahu risiko terberat saat dirinya memutuskan untuk masuk pada kubangan Buaya.
Malam menjelang, toko sudah jarang pelanggan. Kemala memilih duduk termenung di kursi ruang istirahat yang mengarah langsung ke jendela luar. Matanya menatap nanar langit malam yang gelap, tidak berbeda jauh dengan hidupnya sekarang.
Pria berwajah tampan itu— Satria masuk ke ruang istirahat, memandang Kemala dari ambang pintu sambil melipat tangan di d**a. Lama dirinya mengamati, Kemala tak kunjung menoleh hingga akhirnya dirinya memutuskan untuk mendekati Kemala. “Sudah makan malam?”
Kemala terkejut, menoleh ke belakangnya. “Eh, Mas Satria.” Kemala berpindah posisi menjadi duduk menghadap bosnya.
“Nggak akan ada yang berubah walaupun kamu terus memandangi langit malam. Akan tetap seperti itu,” ujar Satria kemudian duduk di kursi yang berhadapan dengan Kemala.
Kemala tersenyum getir, merapikan rambutnya. “Saya lagi malas buka hape, Mas. Jadi duduk di sini aja.”
Satria mengangguk. “Udah cek stok barang yang datang tadi siang?”
“Udah, Mas.”
“Saya masih heran, kenapa kamu mau meladeni dia?” Satria kembali mengungkit pembicaraan mereka yang sempat terjeda tadi pagi. “Saya masih ingat loh, tiga tahun lalu mata kamu berapi-api waktu menceritakan dia.” Satria ingat sekali, ketika pertama kali dia melihat Kemala, wajahnya kusam, tatapannya kosong, tidak fokus, dan sering melakukan kesalahan ketika bekerja. Dan akhirnya orang tuanya memutuskan membawa Kemala ke Psikiater dan ternyata penyebabnya adalah tekanan dan trauma berat yang dialami Kemala.
Kemala menghela napas panjang, bersandar lelah. “Saya baru kepikiran akhir-akhir ini, Mas. Saya tontonin kok mereka nggak ada percekcokan atau perpisahan yang saya harapkan, jadi biar saya datangkan keributan dan perpisahannya biar puas sekalian,” jelas Kemala dengan raut wajah tanpa bersalahnya.
Satria tertawa sedikit kencang. “Kamu nggak dengar apa yang terjadi sama mereka, percuma kamu capek-capek berjuang supaya ikhlas kalau ujung-ujungnya kayak gini lagi.”
Kemala mendesah gusar. “Mas nggak mengerti perasaan saya kayak gimana.”
“Gimana memang? Kamu masih mencintai dia?” tanya Satria dengan sebelah alis terangkat.
Kemala menggeleng. “Sampai tujuh turunan, nggak akan saya sudi mengulang hal yang sama dengan dia.”
“Terus?” Satria duduk tegak, menatap lekat Kemala. “Konsepnya, kamu jadi wanita simpanan dia, mereka bertengkar, kamu minta dia buat menceraikan istrinya, lalu kalian rujuk. Begitu?”
Kemala menggeleng tegas. “Nggak dong, Mas! Saya cuma mau sampai mereka bercerai, istrinya merana seperti yang saya rasakan, terus setelah mereka bercerai saya tinggalkan dia. Udah itu aja. Selesai.”
Satria bertepuk tangan, menyunggingkan senyum miring. “Sama aja membuang waktu berharga kamu, Kem.” Satria berusaha mengingatkan pegawai yang sudah merangkap jadi keluarganya itu agar tidak terjerumus pada lubang penyesalan karena perbuatannya sendiri.
Sorot mata Kemala berubah nanar, berharap bosnya mengerti maksud dan tujuannya dan tidak menghalangi keinginan hatinya. “Mas,” panggil Kemala lirih.
Satria mendesah pasrah, beranjak dari duduknya, menganjurkan tangan mengusap rambut hitam Kemala berulang kali. “Jaga diri, jangan sampai kebablasan.”