Adegan yang paling Kemala benci kembali terulang, dia lakukan hal menjijikkan ini hanya untuk meyakinkan pria b******n itu agar percaya bahwa dirinya benar-benar ingin kembali dan masih mencintai. Mendengar erangan kenikmatan yang keluar dari mulut pria sialan itu membuatnya muak dan ingin menendang tubuhnya agar menjauh darinya. Namun lagi-lagi, dia harus menahan keinginan itu.
Adegan bercinta sepihak selesai, kini Kemala hanya memakai selimut, menatap mantan suaminya yang tengah merokok di dekat jendela kamar hotel. "Sampai kapan aku jadi wanita simpanan kamu? Bukannya lebih bagus kita rujuk?"
Santo menoleh, mengepulkan asap rokok ke atas. "Aku masih mencari cela supaya kita bisa rujuk lagi."
Kemala mendengkus. "Aku nggak mau jadi wanita simpanan, apalagi jadi istri kedua kamu. Kalau kamu benar-benar mau kita rujuk, ceraikan dulu istri kamu." Akhirnya, sampai pada pembicaraan yang sudah lama dia inginkan.
Santo menghela napas panjang, sorot matanya memancar kegelisahan. "Nggak semudah itu, Sayang. Butuh proses."
Kemala mengangkat bahu tak peduli. "Satu bulan, kalau dalam satu bulan kamu nggak bisa menceraikan dia atau nggak ada keputusan. Aku mundur," tegasnya.
"Tiga bulan, deh."
Kemala menggeleng. "Dari awal hubungan kita terjalin sampai detik ini, sudah 3 bulan lebih. Dan kamu belum kasih aku kepastian, aku bukan orang sabar, ya." Perlahan dirinya mulai memberi tekanan pada mantan suaminya itu, dia tidak mau terlalu lama menanbung dosa.
Santo mendesah gusar, mengusap wajah kasar. "Salah kamu, sih," ucapnya tiba-tiba menyalahkan.
Seketika Kemala melotot tak percaya menunjuk dirinya. "Kok salah aku?"
Santo mematikan rokoknya, beranjak dari duduk, melangkah mendekati Kemala, lalu duduk di tepi ranjang. "Dulu, aku buat penawaran, bagaimana kalau aku nikahin Laksmi dan kamu tetap jadi istri aku sampai dia melahirkan, lalu kuceraikan langsung. Jadi anaknya kita yang urus. Kamu malah gugat cerai aku."
Kemala dibuat syok mendengarnya, menggeleng tak habis pikir. Tangannya terasa gatal ingin mengecup pipi Santo sekuat mungkin sampai meninggalkan bekas. "Istri mana yang sudi dimadu? terus setelah dimadu harus merawat anak hasil perselingkuhan suaminya? Nggak waras kamu."
"Sayang," Santo meraih tangan Kemala. "Itu solusi terbaik, loh. Kita tetap jadi suami-istri, dan Laksmi nggak bisa menggantikan posisi kamu."
Kemala berdecih, mengempaskan genggaman tangan Santo. "Pokoknya, kamu ceraikan dia, atau aku tinggalkan kamu. Terserah mau pakai cara apa pun, yang penting kalian bercerai," dan setelah kalian bercerai aku pun meninggalkan kamu. Kemala melanjutkan ucapannya dalam hati. Apa pun yang terjadi, dia harus berhasil melakukan rencananya.
Santo mengembuskan berat, mengacak rambutnya yang terasa panas akibat pergolakan di kepalanya. "Ya udah, tunggu dalam satu bulan aku ceraikan dia, tapi beneran kita harus rujuk."
Kemala mengangguk, menyeringai licik. "Bukannya tujuan aku kembali menjalin hubungan sama kamu itu supaya kita bisa rujuk? Syakila punya orang tua lengkap lagi, kan?" Mulut Kemala terus melontarkan ucapan-ucapan manis dengan tujuan supaya Santo semakin percaya dan terpikat padanya.
Santo tersenyum dengan hangat, mengusap kepala Kemala, lalu mengecupnya. "Aku ke kamar mandi dulu, ya," izinnya yang diangguki Kemala.
Beberapa saat Santo masuk, ponsel Santo yang disimpan di nakas berdering. Dengan cepat Kemala meraih ponselnya, tersenyum miring melihat siapa yang menelepon. Kemala menggeser tombol hijau ke samping, lalu menempelkannya di telinga.
"Di mana, Mas?"
Kemala memutar bola mata. "Mas-mu lagi di kamar mandi, nih," jawab Kemala tersenyum puas.
"Hah?! Siapa ini? kenapa hape Mas Santo bisa ada di kamu?!"
Senyum Kemala semakin mengembang. "Kenapa, ya?"
"Sialan! kamu siapa?! beraninya kamu pegang hape suamiku, hah!"
Kemala tergelak merasa sangat puas mendengar bentakan demi bentakan yang dilayangkan Laksmi. "Aku? Wanita simpanan Mas Santo, terus kenapa aku berani pegang hape Mas Santo ya karena Mas Santo lagi di kamar mandi. Kasihan istrinya kalau nggak dijawab teleponnya, kan?" tutur Kemala dengan nada mengejek.
"b*****t! Di mana kalian sekarang?! Kususulin kalian, awas kamu! Aku seret kamu!"
Bibir Kemala membulat, berdecup menggeleng-geleng. "Kami lagi di hotel, nih. Mau disusulin ke sini? Boleh. Aku kasih tahu nama hotelnya mau?"
"Kurang ajar kamu!"
"Sstt... sesama wanita simpanan jangan saling caci, ya?" Kemala semakin puas. "Kok mendadak diam? Aku mau kasih tahu ini alamat hotelnya."
"Kemala?" tebak Laksmi dengan nada terbata.
Saat itu juga Kemala tersenyum miring. "Kok Mbak tahu, sih?"
Suara dar seberang telepon mendadak hening sebelum akhirnya disusul dengan bunyi nada sambung terputus. Senyum yang sedari tadi tersungging lenyap seketika berganti wajah datar, mengirimkan pesan alamat hotel pada nomor Laksmi. Kemala kemudian beranjak dari duduknya, memunguti pakaiannya yang berserakan di lantai, lalu memakainya. Tanpa berpamitan pada Santo, Kemala keluar dari kamar hotel, melangkah cepat meninggalkan hotel. Baru bahan bakar yang dia siramkan, esok atau lusa mungkin api yang akan dirinya kobarkan.
Sementara Laksmi tengah dilanda amarah yang begitu besar setelah menerima pesan yang dikirimkan Kemala lewat ponsel suaminya. Pertanyaan yang bersarang di benak Laksmi saat ini adalah, bagaimana bisa mereka hubungan tanpa dirinya ketahui? Kecurigaanbelakangan ini pada suaminya ternyata benar. Mereka menjalin hubungan kembali.
Setelah lama berpikir, Laksmi bergegas meninggalkan kamarnya bersiap-siap menyusul suaminya di hotel yang disebutkan lewat pesan itu. "Intan, saya mau keluar dulu. Titip Endro sebentar, ya? Kalau dia bangun kasih s**u sambil ditimang," pesannya pada Asisten rumah tangga yang baru seminggu bekerja.
Intan tergesa memberikan jaket pada majikannya, terheran-heran melihat raut wajah majikannya yang seperti sedang menahan amarah. "Iya, Bu." Intan mengantar sampai pintu depan rumah. "Ibu memang mau ke mana?"
Laksmi mencengkeram kuat tas yang digenggamnya. "Saya mau nyusul suami dan selingkuhannya di hotel." Setelah mengatakan itu, Laksmi memanggil Sopirnya lalu masuk ke mobil meninggalkan halaman rumah.
Intan termangu beberapa detik di depan pintu, sebelum akhirnya dengan antusias meraih ponselnya di saku celana, lalu menghubungi teman barunya. Lama menunggu akhirnya sambungan telepon berganti dengan suara sambutan dari seberang.
"Kenapa, Tan?"
"Mbak, masa majikan aku mau mergokin suaminya selingkuh," ujar Intan antusias sembari menutup pintu rumah.
"Kelihatan wajahnya merah banget, Mbak, kayak emosi gitu."
"Oh iya? terus, terus?"
Intan menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Belum ada terusannya sih, Mbak. Tapi kayaknya rumah tangga majikan aku di ujung tanduk deh."
"Kok bisa sih istrinya nggak tahu suaminya selingkuh? Terus, kok bisa juga suaminya selingkuh?"
Intan membenarkan. "Tapi memang sih, Mbak, majikan yang laki itu genit, sering curi lirik sama aku juga. Risi banget pokoknya."
"Berarti memang lakinya yang kegatelan. Minta diangetin pakai saos samyang. Iya, nggak?"
"Iya, Mbak. Wah kalau aku sih nggak akan sanggup buat ngelabrak, udah aja tungguin pelakunya pulang."
Terdengar gelak tawa dari seberang. "Kan tiap istri beda-beda, Tan. Eh, makasih loh atas gosipnya."
Intan menutup bibirnya, cekikikan. "Ih, Mbak, aku kok telepon malah bawa gosip."
"Nggak apa, kabarin aku terus, ya? Penasaran sama perkembangan gosip yang kamu bawa ini, pasti seru deh endingnya."
"Siap, Mbak!"
"Aku tutup teleponnya, ya? Mau istirahat, kamu juga."
"Siap!" Telepon ditutup, Intan termenung beberapa detik. "Kok, aku malah telepon Mbak Kemala?" Intan menggeplak kepalanya. "Ih dasar, penyebar aib. Tapi nggak apa deh, ada jalan buat nambah dekat sama Mbak Kemala, biar punya keluarga."
Di kontrakan, Kemala tersenyum lebar mendengar berita yang disampaikan. Tanpa perlu dia menyalakan api, pasangan itu sudah terbakar api.