Part 24 Tidak Peka

1102 Words
Kiandra kesulitan mengerjakan matematika di hadapannya, ini semua gara-gara Davon Aditya. Dia yang membuat pikiran Kiandra seolah jadi kaset rusak. Kejadian yang tadi terulang-ulang dalam benak Kiandra. Seolah semua itu tak ada habisnya. Kiandra gemas dengan Davon. Kenapa harus mendekatinya sih. Malam ini juga dia mau mendengar dari bibir Davon, apakah dia memang serius mencintai Kiandra atau hanya main-main. Kiandra mengetuk pintu apartemen Davon, namun tidak ada yang merespon. Kiandra menghela nafas kasar, kalau dia pulang sekarang akan menjadi percuma karena pikirannya masih ada Davon. Dia memilih ke luar apartemen untuk membeli sesuatu atau hanya sekedar jalan-jalan di taman. Dia menghentikan langkahnya saat melihat dari jauh Davon bergandengan tangan dengan seseorang. Mereka duduk di depan kolam ikan, Davon terlihat begitu bahagia dan tertawa dengan gadis itu. Kalau Kiandra tamati, gadis itu sama dengan gadis yang dia lihat di rumah sakit. Davon mengusap kepala gadis itu penuh sayang. Kiandra juga melihat mereka duduk di pantry sembari mengerjakan sesuatu. Mata Kiandra menjadi memanas, ternyata Davon begitu menyakitkan. Davon melakukan hal yang manis kepada gadis lain. Entah kenapa dia benar-benar marah. Kiandra duduk di depan pintu apartemen Davon, dia meringkuk menangis. Tanpa Kiandra sadari dia tertidur dengan pulas. Davon baru saja selesai mengajari Alea, bagi Davon Alea sudah menjadi adik sekaligus teman baik dalam hidupnya. Tetapi tidak bagi Alea, dia mencintai Davon, bukan hanya sekedar menganggapnya kakak lelaki, tetapi Alea sangat cinta dengan Davon. Perempuan mana yang tidak jatuh pada pesona Davon? Lelaki yang sempurna tidak ada celah. Davon terkejut melihat Kiandra yang tertidur di depan pintu apartemennya. Perlahan dia menggendong Kiandra dan membawanya masuk ke apartemennya. Dia merebahkan Kiandra ke atas kasur dan menyelimutinya. Davon sangat ingin menyentuh Kiandra, namun dia tau batasan, dia masih dibawah umur, masa depannya masih jauh. Davon hanya berharap Kiandra bisa menjadi istri yang baik suatu hari nanti. “Kian, gue cinta sama lo,” bisik Davon. Kiandra tentu saja tidak mendengarnya, dia masih berkelana di pulau kapuk. Davon bangun untuk mengerjakan tugasnya yang belum selesai, sesekali dia menguap karena lelah. Kiandra tidur sangat pulas, posisinya bahkan tidak berubah sama sekali sejak awal. Davon tidur di samping Kiandra. Dia tidur sembari meringkuk. Saat pagi tiba, Kiandra membuka matanya, dia terkejut saat melihat Davon tepat di depan wajahnya. Dia langsung bangun, melihat sekeliling, ini bukan rumahnya. “Von? Bangun!” ucap Kiandra. Dia melihat jam di meja, pukul tujuh, mereka bisa terlambat. Kiandra lalu bergegas kembali pulang lalu mandi dan mempersiapkan segalanya. Kacau, bahkan Prnya belum selesai kemarin. Ini semua gara-gara Davon! Kiandra bergegeas memakai tasnya lalu keluar, dia terkejut saat Davon masih menggunakan baju tidur, bahkan rambutnya kusut. “Lo gak sekolah apa? Ini udah jam tujuh!!” ucap Kiandra. Davon menggeleng. “Lo aja yang ke sekolah, gue males. Ini kan Sabtu, ngapain ke sekolah.” Kiandra melongo, dia mengecek handphonya dan tertera Saturday di sana. Dia lalu tertawa, menertawakan dirinya sendiri. “Olahraga bareng aja gimana? Di atas kan ada tempat gym.” Kiandra mengangguk setuju dengan tawaran Davon. Keduanya lalu naik ke atas, di dalam lift Kiandra menggigit bibirnya sendiri, dia ingin menanyakan tentang perasaan Davon namun dia takut juga akan kehilangan Davon sebagai teman. Bisa saja pertanyaan Kiandra membuat Davon menjadi bumerang bagi dirinya sendiri. Kiandra tidak bersemangat olahraga hari ini, dia memilih duduk dan menatap Davon yang olahraga. Memang tampan dan sempurna. Kiandra sampai kehabisan kata-kata melihat Davon. “Lo kenapa?” tanya Davon yang melihat Kiandra dengan lesu. “Enggak papa, mager.” Davon lalu menghentikan TRXnya, dia lalu ikut berjongkok menatap Kiandra. Matanya menatap jerawat kecil di dahi Kiandra. Sontak Kiandra langsung mundur menutupi jerawatnya. “Lo mulai suka sama cowok?” tanya Davon. Seketika Kiandra menunduk malu, dia lalu bangkit dan berlari menjauh, namun Davon menarik tangannya lalu mengurung Kiandra dengan kedua lengannya. Kiandra tidak bisa berlari, terhimpit oleh dinding. “Lo ... lo .. mau ... ngapain sih?” ucap Kiandra dengan gugup. Dia menggigit jemarinya karena gugup. Davon menyeringai, menatap Kiandra dengan tatapan menggoda. Namun hal itu membuat Kiandra semakin memerah wajahnya. “Siapa cowok yang lo sukai?” tanya Davon. Kiandra tidak bisa menjawab, dia mendorong keras Davon, menamparnya dan berlari. Davon merasa aneh dengan sikap Kiandra akhir-akhir ini. Gadis itu terkadang menjauh, terkadang manis, terkadang juga pemalu. Dia mengejar Kiandra, namun Kiandra sudah lebih cepat masuk ke apartemennya. Kian mengatur nafasnya, dia sangat bingung saat ini. Apakah mengutarakan perasaannya akan membuat semuanya menjadi membaik? Dia yakin tidak akan bisa tinggal lama di sini, Davon pasti akan terus menerus mengejarnya. Kiandra membuka pintu apartemen, ada Davon di sana. "Gue mau bicara," ucap Kiandra. Davon lalu masuk dan langsung duduk di sofa. Netranya tak lepas memandangi Kian. "Hidup cuma sekali, kalau lo punya masalah cerita aja," ucap Davon. "Gue gapunya masalah. Gue penasaran apa lo emang baik ke semua orang? Atau lo baik sama gue cuma gara-gara matpel Kimia? Apa ciuman lo anggep biasa aja?" tanya Kiandra menatap Davon. Perasaannya sangat labil, sebentar dia berani mengutarakan perasaannya, sebentar lagi dia malu. Dan kini Kian memberanikan dirinya, mempertaruhkan harga dirinya untuk berani menatap Davon. "Enggak. Lo kira gue cowok gampangan?" "Gue pernah liat lo ciuman di bioskop, gue pernah liat lo mesra sama cewek lain. Lo baik gak cuma ke gue, sebenernya lo nganggep gue apa?" tanya Kiandra. "Lo cemburu? Atau cuma mau tau status?" "Jawab aja kenapa sih?" "Jawab gue dulu," balas Davon cepat. "Gue tanya karena gue gasuka lo bersikap kaya gitu sama gue, risih." Kiandra menjawab dengan tatapan serius. Davon menarik nafasnya. "Risih?" tanya Davon lagi. "Iya gue risih deketan sama lo, risih lo care sama gue. Gue risih." Iya, Kiandra risih, tetapi dia sebenarnya lebih risih karena Davon juga melakukan hal yang sama pada perempuan lain. "Sorry kalau buat lo risih. Gue gak akan deket lo lagi," ucap Davon. Kiandra nerasa aneh, bukannya senang dengan pernyataan itu, dia malah merasa kehilangan. Ada sesuatu yang mengganggu perasaannya. Davon lalu bangkit, dia pamit ke luar apartemen Kiandra. Davon menatap pedih pantulan bayangan dirinya di cermin. Semua wanita dia kira akan takluk kepadanya jika dia bersikap manis, namun sayangnya taktiknya tidak berhasil kepada Kiandra. Kalimat Kiandra yang mengatakan dia risih dengan Davon, cukup menampar perasaan Davon. Dia tidak menyangka akan menjadi seperti ini. Padahal Davon sangat tulus kepada Kiandra. Hanya Kiandra yang mampu membuat dia berdegup kencang, hanya Kiandra yang dia inginkan, tetapi jika Kiandra risih, maka menjauh adalah jawaban terakhir. "Davon bego," umpat Kiandra pelan. Dia sebal dengan Davon yang tidak peka. Kenapa Davon tidak kembali mengetuk pintu hatinya? Malah menjauh. "Kalau dia menjauh, berarti dia emang main-main sama gue," ucap Kiandra sembari mengaduk indomie yang dia buat. Mungkin saat ini menjadi orang asing adalah pilihan yang tepat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD