Part 23 Menjauh

1103 Words
Semakin kau menjauh, semakin kuat perasaan cintaku -Davon- Davon, remaja tampan itu tengah mendribble bolanya di tengah lapangan. Matanya sesekali melirik Kiandra yang duduk di pinggir lapangan beristirahat seusai latihan basket. Wajah Kiandra agak kusam berdebu, ada jerawat kecil di dahinya. "Ki, tuh si Davon ngelihatin mulu," bisik Lisa. Kiandra lalu menoleh menatap Davon. Lelaki itu langsung memalingkan wajahnya. "Itu matanya minta diculek," ucap Kiandra sewot. Lisa memukul pelan pundak Kiandra melototinya. "Lo mau jomblo abadi? Davon cakep, tajir, kurang apa coba?" tanya Lisa. "Kurang ajar," ucap Kiandra sembari tertawa. Dia mengambil bola, mendribblenya ke lapangan. Davon tersenyum senang ketika Kiandra kembali latihan di lapangan. Di dekatnya ada perasaan bahagia yang tak terlukiskan. Kiandra seolah menjadi obat candu untuk Davon. "Abis latihan lo mau kemana?" tanya Davon. Kiandra tak menjawab, dia malah fokus melakukan shooting. Davon menanyakan lagi kepada Kiandra, namun gadis itu berlari menuju ring sisi kiri. Lisa yang melihatnya hanya heran, kenapa Kiandra sekarang bersikap dingin. Saat mereka sudah pulang Davon menawarkan Kiandra pulang bersama, namun gadis itu menolak. Padahal rumah mereka berdekatan. Davon meletakkan tasnya di sofa lalu membaringkan tubuhnya, dia masih ingat bagaimana Kiandra diam saja saat dia ajak bicara, dia bertanya-tanya dalam hatinya, apakah dia melakukan suatu kesalahan? Davon memikir ulang apa yang sudah dia lakukan kepada Kiandra, semuanya dia rasa tidak ada yang salah, kenapa Kiandra harus bersikap dingin seolah marah kepadanya. Hal itu terus mengusik pikiran Davon, dia menjadi gelisah tidak bisa berpikir bagaimana. Davon akhirnya bangkit keluar apartemen. Dia menatap pintu apartemen Kiandra. Davon memencet bellnya, Kiandra mengintip dari layar, dia bisa tau jika Davon yang mengunjunginya. Berulang kali Davon memencet bell, namun Kiandra tidak membukakannya. Davon semakin gelisah, kenapa Kiandra bersikap seperti itu. Kenapa Kiandra terlihat marah kepadanya. "Kian? Lo kenapa sih enggak mau bukain pintu?" tanya Davon. Kiandra gelisah di balik pintunya, kalau dia berbuat begini apakah Davon juga akan menjauhi dia selamanya? "Kiandra?" panggil Davon lagi. Kiandra masih terdiam, enggan menjawab. Dia masuk ke kamar dan menyelimuti tubuhnya sampai tertutup. Kiandra ingin mereka berjarak, saling membatasi diri. Kalau memang mereka saling mencintai, kenapa Davon tidak lebih memperjelas hubungan mereka? Kenapa Davon berbelit tanpa mengutarakan cinta. Kepulan asap di dapur membuat Kiandra beranjak, suara air panas untuk Kiandra membuat kopi. Karena dia lebih menyukai menyeduh kopi hitam sendiri. Kiandra terkejut saat ada yang mengetuk pintu apartemennya, dia mengintip dari layar, ternyata Davon masih setia berdiri di depan apartemen Kiandra. Dia menghela nafasnya, aroma kopi membuat pikirannya lebih rileks, hati nuraninya tergerak. Dia akhirnya membuka pintu untuk Davon. “Hai,” ucap Davon dengan senyumannya. “Kenapa? Lo mau ngapain sih? Kenapa lo suka banget nempel sama gue?” ucap Kiandra galak. Dia menatap Davon sebal. Davon menatap Kiandra dengan tatapan lekat, dia heran kenapa Kiandra bisa berubah begini. “Iya, emang gue suka.” Davon mengucapkan secara gamblang, membuat Kian terkejut, mulutnya terbuka setengah. “Suka sama kopi lo,” sambung Davon lalu mengambil kopi dari tangan Kiandra. Dia lalu menerobos masuk, duduk di sofa biru tosca sembari meraba-raba mencari remote tv. Kiandra masih mencoba membuka kesadarannya, suka? Suka jenis apa yang Davon maksud. Ketidakjelasan ucapan Davon membuat Kiandra semakin penasaran, apa memang Davon memiliki rasa spesial? Lalu siapa gadis yang Davon cium dan juga yang menunggunya di rumah sakit saat itu. “Lo suka ya kopi pahit?” tanya Davon saat Kiandra mulai duduk di sampingnya. Kiandra hanya mengangguk lalu mengubah saluran televisi. “Gue mau nonton bola!” Davon merebut kembali remote televisi dari tangan Kiandra. Tak mau kalah, Kiandra juga merebut kembali remotenya sampai membuat Davon kehilangan keseimbangan dan kopi panas yang dia pegang tumpah ke pahanya. “Astaga Panas!” teriak Davon. Kiandra terkejut ketika melihat paha Davon yang penuh tumpahan kopi. Kian langsung ke kamar mandi, membawa air segayung dan menyiramkannya ke wajah Davon. BYUR. Seketika tubuh Davon basah, dia mengusap wajahnya yang basah, menatap Kiara dengan gemas. “Yang kena kopi paha gue, bukan muka gue,” ucap Davon. Kiandra lalu kembali ke kamar mandi dan menyiramkan lagi air segayung, kali ini tepat ke paha Davon. Sofanya menjadi basah, bahkan dinding ruangan juga terkena cipatran air. “ASTAG KIANDRA ARESTA!!!!” bentak Davon kesal. “Loh kan gue bener, lo tadi kepanasan kan?” ucap Kiandra sembari menjulurkan lidahnya. Davon menjadi kesal, dia mengejar Kiandra hendak balas dendam, namun Kiandra jauh lebih gesit berlari. Mereka seperti cat and dog yang berkejaran mengelilingi apartemen. Sampai akhirnya Davon berhasil meraih kaus Kiandra dan menariknya kuat. Davon tersandung, Kiandra ambruk tepat diatas Davon. Kiandra bisa melihat dengan jelas wajah tampan Davon, alis tebalnya, hidung mancungnya, bentuk matanya yang tegas dan rahangnya yang begitu menonjol. Tampan, sempurna. “Gue ganteng kan?” ucap Davon menaikkan alisnya. Kiandra langsung tersadar dan berdiri. “SANA PULANG! GANTI BAJU!” teriak Kiandra. Diluar dugaan Davon malah melepas bajunya tepat di depan Kiandra. Dia mengedipkan matanya. Jantung Kiandra seketika bedetak lebih cepat melihat Davon yang shirtless. Shitt! Umpat Kiandra dalam hatinya, Davon terlalu sempurna untuk hanya dilihat. “Nih cuciin, lo yang udah bikin basah.” Davon melemparkan kausnya kepada Kiandra. Dia lalu berbalik dan pergi keluar. “Gue pulang, jangan kangen. Sampai besok sayangku.” Davon memberikan kiss bye lalu menutup pintu apartemen Kiandra. Sedangkan Kiandra masih terpaku, masih terbayang jelas bagaimana memori beberapa detik yang lalu, pemandangan menggiurkan yang membuat Kiandra meneguk ludahnya. Bagaimana bisa otot perut Davon sangat terbentuk begitu indah dan bersinar di mata Kiandra. Dia lalu mengambil kipas angin kecilnya, menaruhnya di sofa. Kiandra meletakkan baju Davon di keranjang cucian. Mencuci sendiri? Tidak mungkin. Kiandra selalu menggunakan laundry setiap minggunya. Bunyi musik di apartemen Davon membuatnya mengingat Kiandra, lagu-lagu melow yang dia putar mengalun indah, sekilas memori yang baru saja terjadi membentuk film romansa di pikirannya. Terdengar klise, tetapi Davon menyukainya. Kiandra begitu manis di depannya. “Semakin lo menjauh, perasaan gue semakin besar.” Davon mengucapkan pada dirinya sendiri. Degup jantungnya tak hentinya menyebut nama Kiandra. Dia sangat cinta dengan Kiandra. Entah kenapa ini bisa terjadi, Kiandra begitu mempesona, apalagi saat jarak mereka begitu dekat, Davon bisa melihat dengan jelas bulu mata Kiandra yang lebat dan lentik. Manis, bibir merah Kiandra yang Davon lihat, dia ingin mencicipinya lagi. Jiwa muda hasrat liarnya bergejolak, namun Davon berusaha memendamnya dengan aliran air dingin di tubuhnya. Guyuran air itu membuat dia berusaha keras memendam perasaan ingin memiliki Kiandra. Dering telepon Davon membuat dia menyudahi mandi malamnya, dia mengangkat telepon itu. Senyum menghiasi wajahnya. “Halo? Tumben telepon, kenapa?” tanya Davon. Biasanya Alea akan chat terlebih dahulu, tidak langsung menelponnya. “Gue mau pinjem tugas lo dong, materi fisika, pusing gue,” ucap Alea. “Oke, ketemu di lobby apartemen ya.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD