Part 22 Menikmati

1054 Words
Kiandra melihat teman-temannya yang sangat antusias mengikuti olahraga hari ini. Jauh berbeda dengannya, dia enggan ikut olahraga hari ini. Perutnya mulas, keram karena semalam makan makaroni pedas dengan Devan. “Ki, lo gak ganti?” tanya Aurel sembari mengambil pakaian olahraganya. Kiandra menggeleng lemah, wajahnya pucat, sedikit berkeringat. Davon meliriknya, dia menaikkan alisnya ketika mengetahui Kiandra sakit. Davon langsung memegang kening Kiandra, dia menempelkan punggung tangannya, menatap Kiandra khawatir. “Lo sakit? Mau gue bawa ke UKS?” tanya Davon. Kiandra menggeleng lemah. Aurel tersenyum senang melihat sahabatnya sudah memiliki teman lelaki yang seperti pacar. Sepertinya Davon dan Kiandra memang cocok. Kiandra membulatkan matanya ketika Davon tiba-tiba menggendongnya ala bridal style. Dia berlari cepat menuju UKS. Kiandra memukul lengan Davon dengan keras, namun Davon tidak peduli dengan pukula Kiandra. Dia tetap berlari menuju UKS. “Lo ngapain sih? Turunin gue!” bentak Kiandra. Davon tersenyum menggoda Kiandra lalu meletakkan Kiandra di atas ranjang UKS. “Lo masih inget enggak waktu itu kita cium...” PLAK. Kiandra menampar Davon dengan keras, dia menatap Davon sebal. “KELUAR!” bentak Kiandra. Davon hanya terkekeh menanggapi Kiandra yang marah lalu keluar dari UKS. Sebelumnya Davon mengedipkan matanya, “Cepet sembuh ya sayang.” Sayang? Panggilan itu membuat Kiandra merinding, bukannya terlena, Kiandra malah merinding dengan setiap sikap Davon kepadanya. Dia memejamkan mata, mengingat semua sikap Davon. Terkadang sikapnya membuatnya tertawa sendiri, terkadang membuatnya geli. Kadang juga Kiandra merasa dia lelaki paling m***m di dunia ini. Kiandra kembali merasakan perutnya mulas, dia meringkuk di ranjang UKS. Matanya menatap pintu UKS yang sudah direnovasi, dia tersenyum sendiri saat mengingat mengerahkan seluruh tenaganya malam itu untuk memukul pintu UKS dengan tongkat besi. Demi Davon, dia ingat melakukan semua itu demi Davon. Kiandra meringkuk menahan sakit perutnya, sampai tanpa dia sadari tertidur kembali. Davon menuju kantin membelikan Kiandra teh hangat dan kompres air hangat serta makanan. Dia membawa itu semua ke UKS. Melihat Kiandra yang tertidur meringkuk, Davon membantu Kiandra membenarkan posisi tidurnya. Gadis itu membuka matanya, tepat saat tangan Davon di ceruk lehernya. Kiandra menatap mata Davon. Lelaki di hadapannya begitu tampan, sangat mempesona. Rasanya sangat nyaman di dekat Davon, namun Kiandra takut, dia sangat takut jika jatuh hati pada orang yang salah. Sekeras apapun Davon mendekati Kiandra, benteng yang Kiandra buat terlalu kuat. Dia terlalu takut untuk jatuh hati. “Masih sakit?” tanya Davon dengan tatapan lembut. Kiandra mengangguk lemah. “Duduk dulu ya, minum teh,” ucap Davon memberikan teh hangat kepada Kiandra. Kebaikan Davon bukan tidak beralasan, dia sangat tulus kepada Kiandra, entah sejak kapan dia jatuh hati begitu cepat dengan Kiandra, perasaannya tak pernah salah, Davon jatuh hati kepada Kiandra. “Thank you.” Kiandra tersenyum lalu mengambil teh, meminumnya dengan perlahan. “Jangan sakit Kian,” ucap Davon menatapnya dengan penuh perasaan sayang. “Kenapa lo baik sama gue sih? Pake gendong segala lagi, udah kaya gue mau melahirkan aja,” ucap Kiandra. Sepertinya sudah menjadi hobi Davon untuk menggendong Kiandra kesana kemari. “Iya kan emang urgent, lo kan sakit. Kalau lo sakit, gue yang repot.” Kiandra menyerngitkan keningnya. “Lah ngapain lo yang ikutan repot? Kan gue yang sakit.” “Kalau lo sakit, siapa yang ngerjain PR Kimia gue? Soal Kimia itu udah bikin gue berasa kiamat sumpah. Pusing gue itu.” Kiandra menatap Davon malas, dia menghela nafasnya kasar. Ternyata kebaikan Davon hanya demi jawaban Kimia, pikir Kiandra. “Lo kenapa kok gitu mukanya?” tanya Davon menatap Kiandra. Dia menyibakkan rambut Kiandra, menyelipkan ke belakang telinga Kiandra. Lagi-lagi sikap Davon membuat jantung Kiandra disko tak karuan. Perutnya semakin mulas terasa menggelitik. Davon lalu pamit keluar dari UKS, dia melanjutkan untuk ganti baju olahraga. Kiandra kembali merebahkan dirinya. Baru saja dia memejamkan matanya, seseorang masuk ke dalam UKS. Lisa masuk dan duduk di pinggir ranjang Kiandra. Kian segera bangun menatap Lisa. “Lo sakit?” tanya Lisa kepada Kiandra. “Iya, biasa tamu bulanan. Lo mau ngapain ke sini? Mau cari gara-gara?” tanya Kiandra sewot. Dia malas berhubungan dengan Lisa lagi. “Gue ... mau tanya satu hal sama lo,” ucap Lisa. “Apa? Soal Fabian? Gue udah berulang kali bilang ke lo gue gak pernah godain Fabian dan gue udah nolak dia dulu. Gue ngehargai lo sebagai sahabat gue, tapi lo enggak percaya.” Kiandra tersenyum miring mengingat itu semua. Seketika Lisa membungkam mulutnya, dia menunduk dalam. Mungkin benar apa yang dikatakan oleh Kiandra memang benar, gadis itu tidak pernah menggoda Fabian walau seujung jari pun. “Gue mau minta maaf.” Sudah sejak hampir satu tahun lamanya hubungan mereka memburuk seperti ini. Semenjak Lisa melihat Fabian mencium pipi Kiandra di perpustakaan. Sebagai kekasih Fabian, Lisa sangat kesal melihatnya, dia cemburu buta dan memusuhi Kiandra. Kiandra hanya terdiam mendengarkan permintaan maaf Lisa, dia tidak tau harus mengatakan apa, lidahnya kelu. Maaf untuk saat ini membuat Kiandra merasa sudah tidak bisa nyaman lagi di dekat Lisa. Gadis itu memberikan Kiandra sekotak dessert coklat kesukaan Kiandra. Rupanya Lisa masih ingat dengan Kiandra. “Thanks.” Kiandra mengambil dessert itu lalu memakannya, keduanya saling terdiam, sunyi dan canggung. Keadaan yang dibenci Kiandra. Lisa tersenyum senang, matanya sampai berkaca-kaca, dia terlalu bodoh telah membiarkan sahabat yang istimewa seperti Kiandra pergi dari hidupnya. Apalagi Aurel, dia juga menjauhi Aurel karena masalah cintanya. “Jadi lo mau kan tetep jadi sahabat gue?” tanya Lisa. Kiandra tediam sejenak, yang pasti dia tidak bisa menyimpan dendam. “Gue udah maafin lo dari awal, apapun yang lo lakuin ke gue, gue gak pernah masukin ke hati. Sejak dulu Lisa itu sahabat gue,” ucap Kiandra. Lisa maju dan memeluk erat Kiandra. “Thanks. Gue sayang banget sama lo.” Perasaan persahabatan yang begitu erat membuat Kiandra senang sekaligus bahagia. Kiandra lalu menawari kotak dessert yang dia makan, Lisa membuka mulutnya, Kiandra menyuapinya. “By the way ... lo jadian sama si kapten basket? Siapa itu namanya? Dani? Eh bukan, Darel?” tanya Lisa. Kiandra langsung tersedak mendengar pertanyaan Lisa. Hubungannya dengan Davon memang tidak terlihat seperti teman biasa. Davon yang selalu berlebihan kepada Kiandra, apa mungkin ini saatnya Kiandra memberi batasan kepada Davon? “Kian? Kok malah ngelamun sih?” tanya Lisa. “EH? Em ... gimana ya? Enggak sih, gue enggak jadian sama dia. Cuma ya kita memang ...” “Teman tapi mesra?” sahut Lisa langsung. Kiandra tertawa menyenggol lengan Lisa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD