Part 14 Keterkejutan Reno

1047 Words
Reno menghentikan langkahnya sejenak ketika dia melihat kamar rawat inap VIP Davon ada seorang wanita, dia mengintip dari celah gorden yang terbuka. Seketika dia membulatkan matanya ketika mengetahui di sana adalah Kiandra. Reno tanpa mengetuk segera masuk menatap Kiandra dengan tatapan tajam. "Lo ngapain di sini? Pulang sekarang juga!" bentak Reno. Dia sangat syok melihat adiknya yang berpelukan dengan lelaki lain. Kesalahan yang terjadi pada Kiandra akan selalu dilimpahkan kepadanya sebagai kakak. Reno tau harus menjaga adiknya karena orang tua mereka pergi keluar negeri, tetapi Reno juga sibuk dengan pekerjaannya sebagai dokter. Dia benar-benar lelah jika mengurus Kiandra, adiknya yang selalu membuat masalah. Sepertinya tidak ada hari yang tidak bermasalah di kehidupan Kiandra. "Gue jengukin temen gue," balas Kiandra dengan tatapan sengit. Reno berdecak kesal menatap Kiandra, dia menarik tangannya dan membawa Kiandra keluar. "Ngapain kamu di sini? Enggak lihat ini jam tiga pagi? Pulang sekarang Kiandra." Reno mengambil kunci motor yang ada di saku Kiandra. Dia memberengut kesal lalu kembali masuk ke dalam kamar rawat inap Davon. "Gue balik duluan ya, pizzanya diabisin. Cepet sembuh." Dia melambaikan tangannya, lalu kakaknya menariknya keluar lagi. "Cepet pulang, gue udah panggilin taksi." Kiandra menatap malas kakaknya lalu berjalan keluar rumah sakit. Semenjak kakaknya menikah, yang Reno pikirkan hanyalah istrinya. Dia selalu bersikap cuek, dingin kepada Kiandra. Meski begitu ada sedikit rasa senang di dalam hati Kiandra, dia begitu bahagia karena kakaknya sedikit peduli walau kasar. Davon tersenyum kecil melihat Reno yang protektif dengan Kiandra, dilihat dari sisi manapun, wajah Reno sangat mirip dengan Kiandra, sudah pasti dokter ortopedi itu adalah kakak Kiandra. Davon mengambil ponselnya, mengetikkan sms untuk Kian. ‘Kabari gue kalau udah sampai rumah.’ Kiandra tersenyum kecil saat membaca pesan di ponselnya, entah kenapa dia merasa ada sosok yang memperhatikan dirinya. Bukannya pulang ke rumah, tetapi Kiandra lebih memilih tinggal di rumah Aurel. Dia memanjat pilar rumah Aurel, seolah sudah profesional, Kiandra naik keatas dan melompat ke balkon Aurel. Dia mengetuk pintu rumah Aurel, dia yakin subuh begini Aurel sudah bangun pagi. “Astaga, kaget gue. Kian, dibawah itu ada pintu, ngapain lo di sini? Oh God, lo manjat lagi?” tanya Aurel. Dengan senyum penuh kebanggaan Kiandra mengangguk. “Iya, gue manjat hahaha, gue ngantuk mau tidur.” Hari ini Sabtu, tadinya Aurel berniat mengikuti ekstrakulikulernya, namun melihat ada Kiandra, dia menjadi mengurungkan diri di kamar. “Lo enggak ikutan PMR?” tanya Kiandra mengeluarkan banyak snack dari tasnya. “Enggak, males. Lo kan main di sini, percuma juga gue udah hafal sama PMR.” Aurel sekilas menatap wajah Kiandra yang suram, seperti ada masalah besar dalam hidupnya. Apalagi mata Kiandra terlihat membengkak, seperti habis menangis. “Lo abis nangis Ki?” tanya Aurel. Kiandra berhenti memakan kripiknya dan mengangguk. Dia menunduk karena teringat masalahnya lagi. Sungguh dia sangat merindukan orang tuanya sampai frustasi dan tak tau harus kemana. “Iya, nyokap sama bokap ke Amrik, gue ngerasa rumah sepi banget, gak ada lagi yang ngomelin gue,” ucap Kiandra sembari dengan mata berkaca-kaca. Dia sangat sedih mengingat hal itu. Kepergian orang tuanya membuat dia merasa seperti anak yang tidak dipedulikan, walau orang tuanya telah menyiapkan uang yang sangat banyak untuk Kiandra, bahkan uang itu cukup membeli dua rumah. Enam miliyar bagi Kiandra bukanlah soal uang yang dia butuhkan, tetapi tentang bagaimana dia membutuhkan orang tua di sisinya. Aurel sangat memahami perasaan Kiandra, sejak kecil Kiandra jarang ditinggal oleh kedua orang tuanya, biasanya hanya salah satu, tidak seperti sekarang keduanya yang berangkat. Aurel sangat memahami perasaan Kiandra karena dia juga sering ditinggal sendiri di rumah hanya dengan pembantu. “Yaudah, nginep sini aja dulu enggak papa. Lagipula orang tua gue baru pulang dua minggu lagi.” Seketika Kiandra berbinar mendengar ucapan Aurel, dia sangat senang bisa tinggal di rumah Aurel, setidaknya dia tidak lagi merasa kesepian sendirian di rumah. Banyak hal yang ingin Kiandra ceritakan tentang hubungan dia dengan Davon, namun dia merasa lelah. “Gue tidur ya,” ucap Kiandra. Setelah mencuci kaki dan tangannya dia naik ke atas kasur Aurel, rasanya nyaman seperti rumah sendiri. Aurel hanya menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah Kiandra. Aurel merasa bosan hanya melihat Kiandra tidur, dia akhirnya memilih berolahraga mengelilingi kompleks. Dia meninggalkan memo kecil untuk Kiandra, pamit bahwa dia sedang berolahraga. Kalau dipikir lagi, ini pertama kalinya Aurel berolahraga mengelilingi kompleks sendirian. Dia mengitari taman kompleks dan lapangan. Dia duduk di pinggir lapangan ketika melihat ada anak laki-laki yang sebaya dengannya bermain basket. Aurel memincingkan matanya, dia seperti pernah melihat anak itu. Anak laki-laki itu mengerang kesal karena terus-terusan gagal melakukan slam dunk. Bahkan three poin saja dia tidak mahir. Dia lalu melihat ke samping kanan, memperhatikan Aurel yang sejak tadi melihatnya. Dia mendekati Aurel dan duduk di sampingnya. Cantik, batin dia. “Anak blok mana?” tanyanya tanpa basa basi. “Blok Z,” jawab Aurel singkat. Dia hendak berdiri namun dicegah oleh lelaki itu. “Gue Reza, anak SMA Garuda Kencana, nama lo siapa?” tanya Reza mengulurkan tangannya. Aurel seketika membulatkan matanya mendengar Garuda Kencana, itu berarti musuh bebuyutan tim SMAnya. “Aurel, anak SMA Harapan Nusa.” Aurel menjawab dengan uluran tangannya. Seketika Reza tersenyum miring dan meremas tangan Aurel. Gadis itu tak mau kalah, dia ikut meremas tangan Reza. “SALAM KENAL YA!” ucap Aurel dengan sinis. Reza lalu melepaskan tangannya kepada Aurel. “Sekolah lo emang hectic banget soal basket?” tanya Reza. Dia menatap Aurel dengan tatapan tidak suka. “Iyalah, basket itu udah kaya image sekolah gue, lima tahun berturut-turut pemenang Junior Cup DBL Champion, ya jelas lah sekolah gue jadi favorit,” ucap Aurel. Entah kenapa Reza illfeel kepada Aurel. Dia lalu bangkit, memegang bola basketnya lalu melemparkannya kepada Aurel. Untung saja gadis itu sigap menerimanya. “Kalau gitu lo tanding sama gue, gimana?” tantang Reza. Aurel menghela nafas kesal, dia kan anak PMR, bagian mengobati kalau ada cidera, bukan tim basket. “Ya gabisa lah gue,” ucap Aurel melempar bola basketnya. “Gabisa atau lo emang pecundang?” ucap Reza. Ucapan Reza membuat Aurel gemas sekaligus marah, baru saja pertama kali kenal kenapa Reza begitu angkuh dan menyebalkan. Aurel merebut bola yang Reza pegang, “Oke gue terima tantangan lo, tapi lo harus ajarin gue main basket dulu.” Reza tertawa mendengar ucapan Aurel yang konyol, tetapi dia mengangguk lalu mereka saling bertukar nomor ponsel.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD