Part 27 Mencoba Tenang

1003 Words
Kiandra menutup rapat pintu apartemennya. Dia mengganti bajunya dan menarik selimut. Baru saja dia akan tertidur, suara bel apartemennya berbunyi. Kiandra kembali bangkit dan melihat ada Davon di sana. “Kenapa lo langsung pulang? Kok enggak bareng gue aja tadi?” tanya Davon. Dia menerobos masuk ke dalam apartemen Kiandra langsung duduk di sofa. “Iya, gue langsung pulang. Capek.” Kiandra mengucapkan dengan berbohong, padahal jelas matanya membengkak bekas dia menangis. Davon sangat jelas melihat hal itu, namun dia tidak mau menanyakan alasannya kepada Kiandra. Dia yakin Kiandra pasti akan mengatakan di baik-baik saja jika ditanya. Kiandra duduk di samping Davon, dia terlalu lelah hari ini, mungkin dengan mandi sore membuat dia merasakan segar. “Lo makan nih camilan sambil nonton. Gue mau mandi. Awas lo ngintip!” bentak Kiandra sembari mengepalkan tangannya. Davon mengangguk lalu membuka kripik camilan milik Kiandra. Seusai Kiandra mandi, dia mendatangi Davon, rambutnya masih basah menetes. Melihat hal itu Davon gemas dan mengambil handuk. Dia lalu mengeringkan rambut Kiandra. “Lo ngapain sih?” ucap Kiandra. Lagi-lagi Davon bersikap perhatian kepadanya. “Diem aja kenapa sih?” ucap Davon sembari mengusap-usap pelan handuk Kiandra. Mau tak mau Kiandra hanya diam saja, percuma memarahi Davon, dia pastinya akan tetap memaksa mengeringkan rambutnya. Sikap Davon yang terus menerus membuat hati Kiandra leleh. Sebisa mungkin dia membuat dirinya tidak mudah jatuh hati kepada Davon. “Ngerjain PR bareng ya Ki,” ucap Davon. Dia melipat handuk Kiandra, meletakkannya di meja lalu mengeluarkannya buku Matematika. Kiandra menatap buku itu dengan malas, benar saja dugaannya, Davon menempel kepadanya karena membutuhkan sesuatu. Kiandra mengambil buku Davon dan melemparnya ke pintu. “Keluar lo sekarang, keluar Dav.” Kiandra menatap Davon dengan tatapan tajam, matanya berkaca-kaca hendak menangis. “Loh? Gue salah apa? Kenapa lo marah sama gue Ki?” tanya Davon. Kiandra tak menjawab, dia bangkit mendorong Davon untuk keluar pintu. Saat ini dia tidak bisa menatap Davon lagi, dia telah emosi, marah, kesal, campur aduk. Seolah yang ada dalam Kiandra hanya energi negatif. Kiandra benar-benar lelah dengan semua yang dia hadapi. Di hadapannya tidak ada seseorang yang tulus berbuat baik kepadanya, dia telah bodoh dan merasa dimanfaatkan. “Tapi Ki? Gue mau nger—“ Kiandra mendorong Davon kuat sampai dia terjungkal, kepalanya tertatap oleh dinding. Davon kembali berdiri, namun rupanya darah segar keluar dari pelipisnya. “Ki, please gue gak tau lo kenapa, gue salah apa?” tanya Davon. Kiandra hendak menutup pintunya, namun ketika melihat darah segar itu dia menarik Davon lagi. Dia bergegas mencari P3K dan mengobati kepala Davon. “Sakit?” tanya Kiandra. Davon mengangguk. “Lebih sakit hati gue kaya dicampakkan sama sahabat sendiri.” Kiandra menghela nafasnya kasar, pikirannya kacau tadi. Dia tidak bisa mengelola emosinya dengan baik. Davon tidak salah, Kiandralah yang bertempur dengan perasaannya sendiri. Dia hanya tidak bisa menerima kenyataan jika Davon hanya bermain-main dengannya. "Ki, lo kenapa sih marah-marah?" tanya Davon. "Gue salah apa? Kalau gue salah, bilang aja." Kiandra menggeleng, Davon tidak salah, dia sendiri yang salah mengartikan kebaikan Davon. "Enggak, gue cuma PMS. Males nugas dan gatau kenapa tiba-tiba emosi liat tugas." Davon terdiam sejenak, kedengarannta mood Kiandra sedang memburuk. Dia mengambil ponselnya memesan pizza untuk Kiandra. Barangkali dengan memakan makanan favoritnya membuat Kiandra merasa lebih baik. "Kalau lo gamau ngerjain PR, biar gue ajalah." Davon membuka bukunya, mengerjakan satu persatu tugasnya. Kiandra melirik Davon, ternyata lelaki itu bisa mengerjakan dengan mudah. Sedetik kemudian Kiandra baru berpikiran jika Davon tidak berniat memanfaatkannya. Kiandra mengambil bukunya, namun tukang antar makanan sudah datang memencet bel apartemen Kiandra. Dia langsung membuka pintu dan terkejut ada dua big box yang dibawa. "Atas nama mas Davon Aditya?" tanya kurir itu. Kiandra mengangguk dan mengambil dua pizza itu lalu meletakkan di meja. Wajah Kiandra seketika berbinar cerah. Dia begitu bahagia melihat makanan yang menggugah seleranya. Kiandra berterima kasih kepada Davon lalu membuka kotak pizza jumbo itu. "Wuaah harumnya!!" Seru Kiandra dengan bersemangat. Soal makanan sepertinya cara terbaik menaikkan mood Kiandra. Davon hanya tersenyum senang melihatnya. "Maaf ya aku tadi bikin kepala kamu berdarah, masih sakit enggak?" ucap Kiandra. Davon sangat takjub melihar Kiandra, tidak hanya moodnya yang membaik, namun Kiandra juga berubah menjadi sangat lembut dan baik. "Enggak papa, udah makan aja pizzanya." Kiandra mengangguk lalu mengambil sepotong pizza, menyuapi Davon. "Kamu dulu dong yang makan, ayo buka mulut kamu, Aaaaa." Davon membuka mulutnya sembari tertawa, dia mengambil pizza, namun Kiandra mencegahnya. "Satu slice ini biar aku yang suapin." Davon tersenyum lalu mengunyah pizza itu. Kiandra sangat bahagia jika dia bisa berbaikan dengan Davon begini. Dering ponsel Kiandra membuat dia terkejut. Kiandra mengambil handphonenya lalu mengangkatnya. "Iya? Mama? Yaampun Mama apa kabar? Aku kangen banget Ma!!" ucap Kiandra sangat senang mendapat telepon dari Maria. Namun malah sebaliknya, terdengar suara isak tangis di seberang sana. "Loh? Mama kenapa?" tanya Kiandra. "Papa kamu kecelakaan sayang." Kiandra membulatkan matanya, seketika Kiandra sangat shock mendengarnya. "Terus Papa dimana sekarang Ma?" tanya Kiandra panik. Dia tak tau harus bagaimana karena orang tuanya di luar negeri. "Papa ada perdarahan di otak, ini lagi dioperasi." Kiandra langsung menangis mendengarnya, Davon menghentikan memakan pizzanya, dia menatap Kiandra. "Kak Reno gimana? Kesana enggak Ma?" tanya Kiandra. "Enggak sayang, kakak kamu lagi ada jadwal operasi." Kiandra menghela nafas kasar, Reno keterlaluan bagi Kiandra. Selalu saja bersikap tidak peduli kepada ayahnya. "Iyaudah, Mama tenang ya Ma. Mama jangan panik. Aku ke sana sekarang. Mama kasih tau aku alamatnya sama nama rumah sakitnya, aku cari penerbangan tercepat." "Engga sayang, enggak perlu, kamu tunggu aja ya di rumah." "Enggak Ma, aku gabisa diam aja, aku mau lihat Papa." "Iyasudah, hati-hati ya, ajak Khalisa atau kakak kamu," ucap ibunya. Kiandra melirik Davon, dia tidak mungkin mengajak Khalisa. Apalagi Reno, kakaknya itu sangat menyebalkan dan bahkan tidak ada simpati sama sekali. "Von, lo punya paspor ke New York?" tanya Kiandra. Davon mengangguk. "Kenapa?" "Lo cepetan kemasi baju lo dan ikut gue, bokap gue lagi dioperasi, jadi please temenin gue ke Amrik sekarang." Davon mengerjapkan matanya, dia lalu mengangguk dan menyiapkan segalanya. Sedangkan Kiandra masig sibuk memesan tiket penerbangan yang paling cepat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD