Part 08 Bukan Pencuri

1076 Words
“Kian, makan yuk.” Aurel berusaha membangunkan sahabat satu-satunya ini. Dia mengguncangkan pelan bahunya, namun tidak ada respon sama sekali. Kiandra kalau sudah tidur, mau terjadi gempa pun mungkin dia akan tetap terlelap. “Kiandara!!!” teriak Aurel. Sudah hampir lima menit berlalu jam istirahat terbuang sia-sia untuk membangunkan Kiandra. Aurel berdecak sebal lalu duduk di samping Kiara, perutnya keroncongan, ingin meninggalkan Kiandra sendirian di kelas, namun dia tidak tega. Semakin lama Aurel menunggu, waktu istirahat semakin habis, tinggal lima menit lagi. Keputusan terakhirnya dia meninggalkan Kiandra sendirian di kelas. Setelah Aurel keluar, seorang gadis dengan rambut dikepang dua dan kacamata bulat di wajahnya datang dengan mengendap-endap. Raut wajahnya terlihat cemas, panik sekaligus ketakutan. Sesekali wajahnya melirik seseorang perempuan yang ada di balik jendela kelas. Dia memberi isyarat kepada gadis itu untuk segera melakukan perintahnya. Gadis berkepang dua itu mengambil tas Kiandra perlahan dan memasukkan sesuatu ke dalamnya. Setelah itu dia pergi dengan sedikit berlari menjauhi ruang kelas. “Good. Nih buku lo gue balikin,” ucap gadis berambut panjang itu. Wajahnya terlihat puas dengan apa yang dilakukan gadis berkepang dua itu. Dia terlihat sangat licik. Entah rencana apa yang dia lakukan, yang jelas gadis itu menunggu-nunggu kehebohan terjadi. Bel sekolah berdering, saat itu juga Aurel masuk ke dalam kelas dengan tergesa-gesa, dua burger di tangannya hampir saja jatuh jika tidak dia pegang erat. Kiandra tiba-tiba terbangun, dia lalu mengerjapkan matanya, sudah jam setengah sepuluh. Dia melihat Aurel yang berlari cepat menuju kelas dan duduk di sampingnya. “Nih burger,” ucap Aurel. Kiandra tersenyum senang dan langsung melahapnya. Aurel tertawa kecil melihat ekspresi Kian yang melahap dengan semangat burger yang dia belikan. “Ada yang liat handphone gue enggak?” tanya siswa lelaki yang terkenal paling tampan di kelas. “Handphone? Enggak tuh,” jawab teman sebangkunya. “Waduh ada yang nyuri nih,” ucap Davon—siswa yang kehilangan handphonenya. Dia melihat sekitar, menoleh ke belakang dan mendapati Kian yang begitu santai memakan burger. “Lo liat handphone gue?” tanya Davon kepada Kiandra. Gadis itu tak menjawab, malah asik menikmati burgernya sembari mencari tissue untuk mengelap tangannya. “WOI!” teriak Davon yang membuat Kiandra menoleh. “Apaan? Kenapa sih teriak-teriak? Berisik.” Kiandra menjawab dengan cuek dan mengelap tangannya yang terkena mayonaise. “Handphone, lo liat handphone gue?” tanya Davon. “Mana gue tau, telfon aja kenapa sih?” ucap Kiandra memutar bola matanya. Davon langsung meminjam handphone Reza dan menelfon handphonenya. Suara dering handphone terdengar jelas dari tas Kiandra. Davon seketika berdiri dari tempat duduknya dan menatap Kiandra dengan tatapan membunuh. “Lo nyuri handphone gue?” ucap Davon mengintimidasi. Kiandra menggeleng tidak tau, tapi dia mendengar jelas ada suara dari dalam tasnya. Kiandra mengerjapkan matanya, meletakkan burger yang dia pegang kembali ke dalam sterefoam. Tangannya mengambil tas berwarna ungu miliknya, merogoh sesuatu dari dalam sana. Tangannya meraih ponsel yang bergetar, ponsel yang jelas-jelas bukan miliknya. “Ini hp lo?” tanya Kiandra. “Iya itu HP gue, dasar maling!” ucap Davon dengan menyolot menatap tajam mata Kiandra. “Heh, gue gak tau kenapa bisa ada di tas gue, ngapain juga gue nyuri hp bobrok begini? Oh God, please deh. Nih hp lo!” ucap Kiandra kesal. Davon mencengkram tangan Kian dan mendesis, menatapnya dengan tatapan membunuh. “Hp bobrok? Jelas-jelas hp gue ada di tas lo, itu artinya lo udah nyuri hp gue, lo maling kenapa nyolot?” ucap Davon kesal. Aurel lalu berdiri menengahi mereka. “Enggak, bukan Kian yang nyuri hp lo, gue tau dia tidur kok tadi di kelas,” ucap Aurel. Semua anak berkumpul, melihat keributan yang terjadi. “Tapi buktinya? Ini kenapa handphone gue ada di tas Kian?” ucap Davon sembari mengancungkan handphonenya. Seorang guru lalu masuk, menyerngitkan dahinya melihat keributan di kelas. “Ada apa ribut-ribut?” tanya Bu Vania kepada mereka semua, dia menghela nafasnya ketika melihat Kiandra dan Davon yang ada di tengah pertikaian. Kiandra lagi, sepertinya gadis itu tak ada habisnya membuat masalah di kelas. “Ini Kiandra Bu, nyuri hp saya,” ucap Davon. Kiandra langsung melotot dan menjambak keras rambut Davon, dia meringis kesakitan, namun Kiandra tak menggubrisnya. “HEH! SEJAK KAPAN GUE NYOLONG HP LO?! Gue kan udah bilang, hp bobrok kaya begitu ngapain gue curi?” ucap Kiandra kesal, semakin menjambak lebih keras, wajahnya memerah menahan marah. Aurel dan beberapa temannya maju membantu Kiandra melepaskan jambakan di kepala Davon. Lelaki itu seketika merasa pusing dan sakit. “Sudah, sudah, kalian berdua ikut ibu ke ruang BK. Kita selesaikan di sana.” Mereka berdua duduk bersampingan di hadapan guru BK. Kiandra terlihat kesal dan marah kepada Davon. Lelaki itu rambutnya acak-acakan, bekas jambakan Kiandra terlihat jelas. “Jadi ada apa sebenarnya? Kenapa kalian bisa bertengkar, coba jelaskan akar permasalahannya,” ucap Bu Tania—guru BK mereka yang sudah terlihat hampir sepuh, tiga tahun lagi beliau akan pensiun. “Dia nyuri hp saya bu,” ucap Davon. “Heh enggak!! Astaga enggak yaampun, ngapain gue ambil hp lo? Hp gue jauh lebih bagus. Please deh,” ucap Kiandra gemas dengan Davon. “Sudah-sudah, jangan ribut di sini, kalian jelaskan dengan tenang.” “Saya benar-benar enggak mengambil handphone Davon bu, sumpah.” Kiandra menjelaskan dengan raut wajahnya dengan serius, dia benar-benar tidak tau mengapa ada handphone di dalam tasnya. “Kamu benar tidak melakukannya Kiandra?” tanya bu Tania lagi. Bu Tania sudah hafal dengan Kiandra, senakal apapun Kiandra, dia tidak pernah mencuri. Terakhir kali Kiandra membuat keributan, dia hanya membuat keributan di tengah lapangan saat pertandingan basket. “Benar Bu, sungguh saya enggak sama sekali mencuri handphone dia, saya juga punya kok handphone sendiri, buat apa bu saya curi handphone dia, lagipula itu juga hp jadul.” Kiandra melirik Davon dengan tatapan kesal disertai bibirnya yang mengerucut karena marah. “Yasudah, kalau begitu kalian saling meminta maaf ya, ibu anggap masalah kalian selesai, handphonenya sudah ketemu kan? Ayo kalian saling meminta maaf dulu, kita bisa cek nanti di cctv.” Keduanya saling terdiam, tidak ada yang mau mengulurkan tangan terlebih dahulu, apalagi Kiandra, dia lebih memilih memalingkan wajahnya daripada harus memulai meminta maaf. Davon juga merasa gengsi, untuk apa dia memulai meminta maaf kepada pencuri ponselnya. “Loh kok masih saling diam? Ayo saling minta maaf,” ucap Bu Tania. Beliau akhirnya menarik kedua tangan Kiandra dengan Devan dan menyatukannya. “Ayo bilang maaf,” ucap bu Tania. Kiandra dan Davon sama-sama saling mengehela nafas dan mengucapkan maaf. Walaupun keduanya tak saling menatap.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD