Part 11 Kekonyolan Kiandra dan Davon

1087 Words
“Lo sama sekali gak mau ada niatan bersihin gudang gitu?” tanya Kiandra karena mulai bosan, niatnya ingin tidur, tetapi melihat keadaan ruangan yang berdebu, banyak sarang laba-laba bertengger diatas plafon. Melihatnya saja sudah membuat Kiandra ngeri. “Lo aja, gue mau push rank,” jawab Davon cuek. Kiandra berdecak kesal, dia lalu mengambil jaketnya mengenakannya dan mengambil tumpukan kardus, Kiandra kembali duduk di samping Davon lalu meringkuk mencoba memejamkan matanya. “Lah buset ini cewek mau tidur? Heh! Kian!” bentak Davon. Dia mengguncang bahu Kiandra. Gadis itu seketika nampak memucat, wajahnya terlihat lemas. Kiandra memegangi perutnya yang sakit. Dia melengeuh kesakitan. “Loh, lo kenapa Kian?” tanya Davon panik. Dia meletakkan handphonenya lalu menggendong Kiandra. Saat Davon keluar gudang, bel istirahat pertama berbunyi. Beberapa siswa yang baru saja keluar kelas, seketika menatap Davon yang panik menggendong Kiandra. Diantaranya mereka menatap kagum sekaligus ada yang iri dengan Kiandra. Kapten basket tim putra menjadi sorotan saat ini. Davon tidak peduli jika dia menjadi pusat perhatian, yang dia lakukan saat ini hanya ingin membawa Kiandra ke UKS. Nafas Davon yang terengah-engah bisa Kiandra dengarkan dengan jelas, dia bahkan bisa mencium aroma tubuh Davon. Sabun apa yang dia pakai sampai tercium begitu manis? “Lo ngapain sih gendong gue?” bisik Kiandra sembari menutup wajahnya dengan jaket. Davon lalu meletakkan tubuh Kiandra ke atas ranjang UKS. Matanya tidak lepas menatap bibir Kiandra. Dia menjadi ingat pertanyaan Kiandara tadi pagi di kelas, tentang ciuman. “Lo mau nyobain rasanya kissing? Mouth to mouth?” tanya Davon mengunci tatapan Kiandra. Nafas gadis itu seketika tercekat, namun dia tidak mudah terbius oleh pesona Davon. PLAK, sebuah tamparan keras mendarat di pipi Davon, membuat lelaki itu meringis. Davon mengerang kesal, padahal tinggal beberapa centi lagi dia bisa merasakan bibir Kiandra yang merah muda nampak menggoda di matanya. “Dasar c***l!” bentak Kiandra. “Enak aja bilang gue c***l, gue udah nolongin lo ya, badan lo tuh harus dikurusin, berat tau!” balas Davon. Kiandra hanya berdecak kesal, dia malas membalas ucapan Davon, perutnya kembali sakit. Davon lalu bangkit hendak pergi keluar UKS, namun Kiandra mencegahnya, dia menarik Davon terlalu keras sampai terjungkal diatas ranjang. Tangan kanan Davon menahan tubuhnya agar tidak menimpa Kiandra. Tetapi sayangnya bibirnya terlebih dahulu mendarat di bibir Kiandra. Dia bisa merasakan bibir lembut Kiandra, Davon menikmatinya, rasanya manis dan sedikit kering. Perlahan dia melumatnya, lumatan itu membuat Kiandra terkejut, debaran aneh itu kembali hadir, jantung Davon berdegup tak karuan, dia sangat dekat dengan Kiandra. “DASAR c***l!” bentak Kiandra lalu mendorong Davon. “Lah lo yang narik gue sih! Lo ngapain narik gue?” ucap Davon kesal. Kiandra hendak membuka bibirnya lagi, anehnya rasa sakit di perutnya seketika menghilang, terganti rasa menggelitik. Apa ini efek namanya ciuman? Bisa meredakan sakit? Batin Kiandra. Wajah Kiandra bersemu merah, dia lalu menarik selimut dan menyembunyikan dirinya. “Udah ya gue mau ke kelas,” ucap Davon berdehem. Dia mengambil langkah besar menuju kelas. Tidak bisa jika dia terus seperti ini, berdekatan dengan Kiandra bisa-bisa membuatnya gagal jantung. Setelah mendengar langkah kaki Davon yang menjauh, Kian membuka selimutnya, dia lalu duduk bersandar, meraba bibirnya. Dia masih bisa jelas mengingat bagaimana Davon mencium bibirnya, rasa hangat dan lembab itu masih tersisa, anehnya ciuman itu membuat dia kehilangan rasa sakit keramnya. Kiandra lalu berjalan menuju lemari mengambil obat untuk sakit datang bulan, dia mengambilnya namun ragu untuk meneguknya, rasa sakitnya sepenuhnya sudah hilang. Namun untuk mengantisipasi kembalinya rasa sakit itu, Kiandra meneguk obatnya. Melihat jam sekolah yang masih panjang, Kiandra memutuskan untuk kembali tidur. *** Davon merenggangkan tubuhnya, mengitari lapangan sekolah. Semua siswi berkumpul di pinggir lapangan, menanti Davon bermain basket. Pesonanya tidak dapat dipungkiri, Davon seperti The Most Wanted di sekolah ini. Tim lawan baru saja selesai berganti, mereka masuk ke dalam lapangan. Reza—tim lawan menatapnya dengan tatapan sinis, siswa SMA Garuda Kencana, lawan yang telah menjadi musuh bebuyutan. “Hei bro, kalah atau menang nih?” ucap Reza menaikkan alisnya. “Kemarin gue menang, sekarang juga harusnye menang dong, double strike,” balas Davon dengan senyuman miring. Pertandingan dimulai saat tepat pukul empat sore, saat itu Kiandra masih terlelap di UKS, dia bahkan tidak mendengar ada bel sekolah berbunyi. Davon mendribble bola basketnya dengan penuh semangat, dia bahkan berlari dengan gesit, melewati beberapa lawan yang menghadangnya. Hingga dia berhadapan dengan Reza, mata mereka menyiratkan kebencian satu sama lain. Seolah aura itu telah mengakar sejak lahir. Reza tersenyum licik, dia mengambil gesit bola itu lalu mendorong Davon sampai tersungkur. Wasit hendak memberikan peringatan, namun saat bola telah menjadi milik lawan, hal itu bukan lagi pelanggaran. Davon meringis kesakitan, lututnya terluka, namun dia tidak peduli, dia bangkit mengejar Reza, merebut kembali bola miliknya lalu melemparnya. “WOAH!! Two Point!” teriak salah satu siswi yang histeris. Mereka bersorak senang karena Davon berhasil memecahkan poin. Reza kini berganti menjadi pihak yang menyerang, dia membawa bola basket dengan gesit, seolah bola basket melekat pada tangannya, tidak ada celah. Dia menyenggol Davon, menyikut perutnya, bahkan menginjak kakinya lalu berlari kencang. Sekilas Davon bisa mendengar bisikan Reza, “Ups, sorry dude.” Davon tersungkur lagi, tapi dia tidak lemah, meski harus terluka beberapa kali lagi, dia akan tetap bangkit. Pertandingan sparing sama saja seperti harga dirinya, bagaimanapun dia harus menang. Davon berlari, kembali merebut bola basket dari tangan Reza, dengan cepat dia melompat memasukkan bola dalam ring. Sontak semua berteriak memanggil nama Davon, mereka semua berdiri bertepuk tangan. Slam dunk, keahlian Davon. Hari mulai gelap, Reza mengepalkan tangannya, bahkan di menit terakhir dia gagal untuk bisa mendapatkan poin mengejar Davon. Hingga suara peluit yang ditiup tiga kali mengakhiri pertandingan. “Good Job Rez,” ucap Davon mengedipkan matanya. Rasa sakit di lutut, siku dan perutnya tak sebanding dengan rasa bahagianya memenangkan perlombaan antar saudara. Reza hanya cuek tak lagi membalas ucapan Davon, dia mengambil tasnya dan pulang. Davon lalu duduk tengah lapangan, teman-temannya mengajak dia pulang, namun dia masih kesakitan. Tapi Davon terlalu gengsi untuk mengatakan rasa sakitnya kepada teman satu timnya. Setelah semua pulang, dia baru bangkit menuju UKS. Rupanya pintu UKS sudah dikunci, samar-samar dia mendengar suara gadis yang menangis. Awalnya dia ragu membuka pintu, tetapi rasa penasarannya lebih membuatnya berani. Davon kembali melangkah ke depan pintu UKS, dia mengetuk pintunya. “Ada orang di dalam?” tanya Davon. Dia mencoba membuka pintunya, namun terkunci. “Iya! Ada! Tolongin gue please! Gue takut!!!” teriak Kiandra. “Loh? Kian?” ucap Davon. “Iya ini Kiandra!! Siapa disana? Tolongin gue, please bukain pintunya, gue takut di sini!!” panggil Kiandra histeris.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD