Bab 44: Alat Pelacak

1145 Words
Mitha langsung berteriak panik saat melihat Irene tak sadarkan diri. "Pak, tolong bawa Tante Irene, terus panggil dokter," ucap Mitha lalu penjaga di sana membawa Irene ke ruang tamu. "Mas, gimana nih?" tanya Mitha dengan panik. "Tenang, Sayang, aku pasti bantu cari Fanny sampai ketemu," jawab Aland, dia pun kembali mengamati rekaman CCTV itu mencari petunjuk si penculik. "Sial, nomer plat mobilnya tidak terlihat dengan jelas," ucap Aland. "Mas, aku lihat dulu keadaan Tante Irene," ucap Mitha lalu dia pergi dari ruangan itu meninggalkan Aland yang masih berusaha untuk mencari petunjuk. "Fanny, maafin Mama, nak," ucap Iren dengan lirih. "Bagaimana keadaan Tante, Dok?" tanya Mitha. "Dia terlalu terkejut, tapi keadaannya baik-baik saja," jawab Dokter. "Alhamdulillah, terima kasih, Dok," ucap Mitha, setelah memberikan resep obat kepada Mitha, dokter pun pergi. "Ya ampun, Ma!" Mitha menolehkan kepalanya melihat Pras papa Fanny baru saja tiba. "Ada apa ini?" tanya Pras. "Fanny, Om," jawab Mitha dengan lirih, Irene pun langsung duduk dengan air mata yang membanjiri pipinya. "Fanny diculik, Pa," jawab Irene. "Kok bisa diculik, biasanya kan Fanny pulang bareng Mitha?" tanya Pras. Lalu Mitha menceritakan apa yang terjadi kepada Pras. "Mas Aland masih di ruang penjaga, Om, dia masih mencari petunjuk si penculik," ucap Mitha, kemudian Aland pun kembali menemui Mitha karena dia belum menemukan petunjuk. "Gimana, Mas?" tanya Mitha, Aland menggelengkan kepalanya dengan perlahan. "Ya ampun, Pa, gimana dong," ucap Irene semakin panik. "Tenang, Ma, kita masih bisa melacak Fanny," ucap Pras, lalu dia mengambil laptopnya dan mengamati sesuatu. Aland dan Mitha saling pandang masih belum mengerti apa yang dilakukan oleh Pras. "Papa memasang alat pelacak di kalung Fanny, pekerjaan Papa sangat beresiko untuk keselamatan kita, itu sebabnya Papa memasang alat pelacak di kalung yang Mama dan Fanny pakai, dan apa yang Papa pikirkan benar-benar terjadi," ucap Pras. "Kalau Papa udah tau di mana Fanny, cepetan kita ke sana, nanti Fanny kenapa-napa!" ucap Irene. "Sebentar, Ma," ucap Pras yang masih mengamati laptopnya. "Canggih juga ya, Mas," ucap Mitha berbisik kepada Aland. "Sepertinya aku juga harus melakukan itu sama kamu," ucap Aland. "Buat apa?" tanya Mitha. "Ya biar aku gampang nyari kamu," jawab Aland. "Ish... Mas, kita lagi tegang kayak begini malah bercanda," ucap Mitha. "Fanny ada di salah satu gudang tua yang tak jauh dari sini, biar Papa yang pergi," ucap Pras setelah dia mendapatkan lokasi yang pasti. "Mama ikut!" ucap Irene. "Aku juga boleh ikut, Om?" tanya Mitha. "Ayo, cepat!" jawab Pras, dia segera menghubungi beberapa anggotanya dan segera pergi begitu juga dengan Mitha dan Aland, mereka mengikuti ke mana Pras dan Irene pergi karena Mitha sangat mengkhawatirkan Fanny. *** "Ck... nih orang ke mana aja sih, kebiasaan deh kalau janji ngaret begini," ucap Damar berdecak dengan kesal, lalu dia melirik jam di pergelangan tangannya. Damar sedang menunggu temannya di salah satu tempat dekat sebuah gudang tua, dia juga tidak tau kenapa temannya mengajak Damar untuk bertemu di sana. "TOLONG!" Damar menajamkan pendengarannya dan mengitari pandangan ke sekitarnya. "Siapa yang minta tolong," ucap Damar dengan lirih, karena tidak mendengar lagi suara minta tolong itu, Damar kembali memainkan ponselnya. "TOLONG!" Damar kembali menghentikan kegiatannya mendengar seseorang kembali meminta tolong. "TOLONG!" "Di mana suaranya?" tanya Damar dengan lirih. Dia pun beranjak dari tempatnya mencari di mana sumber suara itu. "Tolong! Pergi lo semua, jangan dekati gue!" "Di sini!" ucap Damar karena suara itu kini semakin jelas, Damar mengamati keadaan sekitarnya dulu memastikan jika keadaan tidak terlalu berbahaya. "Tolong!" teriak seorang wanita lagi dari dalam. "Kok kenal ya suaranya," ucap Damar. "JANGAN!" teriak wanita itu lagi. BRAAK Damar mendobrak pintu dengan sangat kencang hingga pintu usang itu dengan mudahnya rubuh, mata Damar terbelalak sempurna saat melihat Fanny yang dikepung oleh tiga orang pria bertubuh tegap dan berpakaian preman. Terlebih lagi keadaan Fanny yang sangat memprihatinkan, pakaian Fanny pun sudah koyak tak berbentuk lagi. "Kalian mau ngapain, huh?" tanya Damar dengan sengit. "Lalat pengganggu!" ucap salah satu dari mereka. "Lepasin dia, atau lo semua mati di tangan gue!" ancam Damar. "Cih... kau pikir kami takut!" ucap mereka dan mulai menyerang Damar. "Dasar pengecut, satu lawan satu, jangan keroyokan kayak gitu!" ucap Damar, dia sudah semakin kewalahan untuk melawan mereka, tapi dia tidak boleh membiarkan mereka menang, nyawa Fanny dan dia dalam bahaya sekarang. "Fan, lo pergi dari sini!" ucap Damar kepada Fanny yang masih diam karena terkejut. "Enggak, Bang, nanti lo...." "Cepetan pergi, gak usah banyak ngomong!" teriak Damar lagi sambil terus menghajar para preman itu. Fanny tidak bisa membiarkan Damar menghadapi mereka sendirian, Fanny melepaskan seragamnya yang sudah tak terbentuk lalu dia pun mengambil balok kayu dan memukul salah satu dari mereka hingga dia tidak sadarkan diri. "Mampus lo!" ucap Fanny. "Kalau lo bisa ngelawan, kenapa gak dari tadi aja, malah teriak-teriak, dodol banget sih," ucap Damar. "Kan mereka bertiga, Bang, gue cuma sendiri," ucap Fanny, dia membantu Damar memukuli dua orang yang lainnya. "Udah, lo cepetan kabur, mana itu cuma pake tanktop lagi, mata gue yang suci ini jadi ternoda!" ucap Damar. "Baju gue sobek, Bang, lo gimana sih!" ucap Fanny. "Oh iya, tungguin dah," ucap Damar lalu. BUGH BUGH BUGH Tiga pukulan terakhirnya membuat pria itu semakin terkapar tidak berdaya. "Mampus lo," ucap Damar. "Satu lagi, Bang!" ucap Fanny. "Nunduk!" perintah Damar. Fanny pun menunduk dan.... BUGH "Mati lo!" ucap Fanny. "Udah kelar kan?" tanya Damar. "Beres, Bang, ayo pergi!" ajak Fanny. "Main pergi aja, nih pake dulu!" ucap Damar sambil memberikan jasnya kepada Fanny. "Hehe, thanks Abang," ucap Fanny lalu dia memakai jasnya, tanpa mereka sadari jika ketiga pria itu kembali bangun dan mengambil balok kayu. "ABANG, AWAS!" teriak Fanny, namun terlambat, pria itu sudah memukul tengkuk Damar hingga Damar tersungkur dan jatuh bersamaan dengan Fanny yang ada di hadapannya. "Sialan, sakit banget lagi!" ucap Damar dengan lirih. "Bang berat, woy!" ucap Fanny karena damar jatuh tepat menimpa tubuhnya. "Bentar, kepala gue jadi pusing nih," ucap Damar. "Kalian pikir kalian sudah menang," ucap mereka menyeringai dan kembali ingin memukul Damar. Tapi, Fanny mengambil ponselnya dan menyalakan nada sirine hingga mereka berpikir jika polisi datang. "Sial, dia lapor polisi, ayo kita pergi!" ucap mereka lalu mereka pun pergi karena mereka berpikir jika polisi benar-benar datang. "Akhirnya mereka pergi!" ucap Fanny dengan bernafas lega. "Pinter juga lo!" ucap Damar dengan mata yang sedikit terpejam. "Bang, ngomong-ngomong badan lo berat, mau sampai kapan lo tiduran di atas gue, kalau ketauan warga kampung bahaya nih, kita bisa diarak," ucap Fanny. "Tunggu dulu dong, kepala gue masih sakit tau," ucap Damar, dia mulai membuka matanya tapi.... Mata Damar terbelalak sempurna saat melihat apa yang ada tepat di depan matanya, bahkan Damar dengan susah payah menelan salivanya untuk membasahi tenggorokan yang tiba-tiba terasa menjadi sangat kering. "Bang, lo... lo kenapa liatin gue kayak gitu?" tanya Fanny dengan gugup karena Damar hampir tak berkedip menatapnya. "Ternyata nih anak cantik juga!" ucap Damar di dalam hatinya, pandangan Fanny dan Damar terkunci satu sama lain hingga mereka dikejutkan dengan kedatangan orang tua Fanny dan Mitha.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD