Bab 7: Aland Stevano

1010 Words
"Suster, di mana ruangan anak saya?" tanya salah satu wanita paruh baya, dia sangat panik saat mendapatkan kabar jika anak semata wayangnya kecelakaan. "Atas nama siapa, Bu?" tanya perawat. "Aland Stevano, dia koran tabrak lari," jawab wanita itu. "Baik, kalau boleh tau, ibu siapa dan apa hubungan ibu dengan pasien?" tanya perawat lagi. "Ya ampun, Suster, tadi kan saya sudah bilang kalau pasien itu anak saya, berarti saya ibunya," jawab wanita itu. "Maaf, Bu, hanya untuk memastikan karena sejak tadi belum ada keluarga korban yang datang," ucap Suster. "Saya Melinda, Ibu korban, cepetan kasih tau di mana ruangan anak saya," ucap wanita yang bernama Melinda itu. "Pasien ada di ruangan ICU lantai empat," ucap perawat. "Apa? Ruang ICU?" tanya Melinda dengan mata yang terbelalak sempurna. "Keadaan pasien sangat kritis dan harus dirawat di ruang ICU," jawab perawat, tanpa berkata apa-apa lagi, Melinda segera berlalu menuju lift. Sesampainya di sana, Melinda menangis karena melihat keadaan anaknya yang dipasangi alat medis untuk menopang kehidupannya. "Ya Allah, Aland, kenapa bisa jadi begini," ucap Melinda dengan berurai air mata. "Nyonya, Anda...." "Kau ke mana, huh? Kenapa Aland sampai seperti ini?" tanya Melinda dengan nyalang kepada Ferdi yang baru saja datang, dia adalah orang kepercayaan Aland. "Saya diminta tuan Aland untuk mengurus pekerjaan lain, saya tidak tau jika kejadiannya akan seperti ini," jawab Ferdi. "Cari siapa pelaku itu, saya gak mau tau, pokoknya dia harus ditangkap!" perintah Melinda dengan nyalang. "Saya sudah melapor polisi, Nyonya," ucap Ferdi. "Terus, Giska tau kalau Aland kecelakaan?" tanya Melinda. "Bukankah tadi tuan Aland bertemu dengan nona Giska," jawab Ferdi. "Ya ampun, Ferdi, kalau Giska ada di sini saya gak bakalan tanya sama kamu!" ucap Melinda. "Saya akan mengabari nona Giska, Nyonya," ucap Ferdi. "Ya udah cepetan, masa tunangannya kecelakaan dia gak tau," ucap Melinda, dia kembali duduk di samping Aland dan menggenggam tangan putranya. Melinda terus berdo'a agar anaknya segera sadar, dia tidak ingin kehilangan anaknya untuk yang kedua kali. Ya, sebenarnya Aland bukanlah anak semata wayang Melinda, dia adalah anak pertama, sedangkan adik lelaki Aland, hilang di saat dia berusia tiga bulan, saat itu suaminya baru saja meninggal dan Melinda baru melahirkan, Aland pun baru berusia dua tahun. Setelah kematian suaminya, Melinda memutuskan untuk merantau di Jakarta dengan bekal warisan peninggalan suaminya, Melinda membuka butik dan rumah makan. Usaha yang Melinda semakin berkembang, hingga dia bisa membangun perusahaan konveksi sendiri, bukan itu saja rumah makan yang dia miliki pun sudah memiliki beberapa cabang yang tersebar di penjuru kota bahkan sudah ada di luar kota. Tapi, semua yang Melinda miliki belum mampu membuat Melinda bahagia karena dia belum menemukan anaknya yang hilang. "Aland, bangun dong, Nak," ucap Melinda seraya membelai kepala anaknya. "Masa kamu tega mau tinggalin Mama kayak, Aliand," ucap Melinda lagi. "Nyonya, nona Giska tidak dapat dihubungi," ucap Ferdi. "Biar nanti saya hubungi dia," ucap Melinda, lalu dia mengambil ponselnya untuk menghubungi Giska, tapi gadis itu tak kunjung menjawab panggilan telponnya. Melinda pun mengirim Giska pesan untuk memberi tau jika Aland kecelakaan, tapi balasan dari Giska sungguh membuat Melinda terkejut, hingga ponselnya terjatuh. "Nyonya, anda baik-baik saja?" tanya Ferdi. "Jelaskan apa yang terjadi, Ferdi!" jawab Melinda, lalu Melinda menunjukkan balasan pesan dari Giska kepada Ferdi, isi pesan itu.... ("Itu bukan urusan saya lagi, Tante, lagi pula sekarang sudah tida ada yang bisa saya harapkan dari anak Tante!") "Maaf, Nyonya, untuk hal itu hanya tuan Aland yang bisa menjelaskannya, karena saya pun sekedar menjalankan perintah dari tuan Aland," ucap Ferdi. "Kenapa kalian selalu merahasiakan semuanya dari saya?" tanya Melinda dengan tatapan tajamnya. "Tuan, sudah sadar!" ucap Ferdi mengalihkan pembicaraan, tapi memang Aland sudah membuka matanya dengan sempurna, sontak saja hal itu membuat Melinda berbalik melihat kepada Aland. "Alhamdulillah, akhirnya kamu sadar, Nak," ucap Melinda, lalu mengecup seluruh wajah anaknya, Aland hanya tersenyum tipis karena dia masih kesulitan untuk bicara. "Ferdi, kenapa kamu masih diam aja di sini, cepetan panggil dokter!" ucap Melinda. "Baik, Nyonya," ucap Ferdi lalu dia menekan tombol emergency yang berada di atas ranjang. "Oh iya, kenapa saya gak tekan tombol emergency aja," ucap Melinda. "Ma...." ucap Aland dengan lirih. "Udah, jangan ngomong dulu, kamu nanti aja ngomongnya," ucap Melinda menyela Aland. Tak berapa lama dokter pun datang bersama dengan beberapa perawat. "Kalian tolong tunggu di luar sebentar," ucap dokter. Melinda dan Ferdi pun menunggu di luar ruangan, agar dokter bisa memeriksa keadaan Aland lebih lanjut lagi. "Bagaimana keadaan anak saya, Dokter?" tanya Melinda setelah dokter selesai memeriksa keadaan Aland. "Keadaan pasien sudah lebih stabil, tapi sayangnya saya memberikan kabar buruk ini kepada anda," jawab dokter. "Kabar buruk?" tanya Melinda dengan suara yang bergetar. "Karena benturan yang sangat keras dan cedera pada tulang panggul, untuk sementara ini pasien harus menggunakan kursi roda dan pasien akan mengalami kesulitan untuk bicara," jawaban dokter membuat air mata Melinda mengalir begitu saja. "Tapi, anak saya bisa sembuh lagi kan Dokter, dia tidak akan cacat seumur hidupnya?" tanya Melinda. "Saya tidak bisa memastikan hal itu, Nyonya, karena cedera yang anak anda alami cukup serius, tapi kita bisa melakukan terapi," jawab dokter. "Bagaimanapun caranya, lakukan yang terbaik untuk menyembuhkan anak saya, Dokter," ucap Melinda. "Tentu saja, Nyonya," ucap dokter. "Saya boleh melihat keadaan anak saya lagi, Dokter?" tanya Melinda. "Silahkan, jika terjadi sesuatu kalian bisa panggil saya," jawab dokter lalu pergi dari ruangan Aland, sedangkan Melinda segera masuk untuk melihat bagaimana keadaan anaknya. "Ma... Ma...." ucap Aland dengan terbata saat melihat ibunya mendekat. "Kenapa kamu bisa sampai kayak gini, Aland?" tanya Melinda dengan air mata yang berurai. "Ma... Gi... Gis...." ucap Aland lagi, berusaha untuk mengatakan sesuatu tapi rasanya sangat sulit. "Sial, kenapa jadi sulit sekali untuk bicara!" maki Aland di dalam hatinya. Sedangkan Melinda memikirkan hal yang lain, Melinda tau jika Aland sangat mencintai Giska, bahkan sebentar lagi mereka akan menikah, tapi kenapa Giska meninggalkan Aland dalam keadaan seperti ini, Melinda tidak tau harus mengatakan apa kepada Aland. Melinda yakin jika Aland tau hal ini, dia sangat marah dan sakit hati, Melinda pun tau bagaiman sikap Aland jika sudah marah kepada orang yang sudah mengkhianatinya, Melinda tidak ingin membuat keadaan Aland semakin memburuk kerena memikirkan Giska. "Apa yang harus aku lakukan?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD