Bab 8: Rahasia

1025 Words
"Cepetan cari di mana kalung kamu, Bunda gak mau tau ya, pokoknya harus ketemu secepatnya!" ucap Rania. "Kalungnya ada kok, Bun, tenang aja," ucap Mitha semakin gugup. "Ada di mana? Ambil sekarang terus pake lagi," ucap Rania. "Iya, tapi gak sekarang, Bun," ucap Mitha dengan senyuman canggung sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Tuh kan, beneran ilang kalau kayak gitu," ucap Rania. "Ish... Bunda gak percaya banget sih sama aku, kalungnya gak ilang tapi...." ucapan Mitha terhenti lalu menatap kepada Iqbal dan damar bergantian, berharap salah satu dari keduanya akan menyelamatkan dia dari keadaan ini. "Kenapa ngeliatin Ayah sama Abang?" tanya Rania dengan mata yang memicing dan tangan yang dia lipat di d**a. "Jujur aja kalau memang kalung kamu hilang, Ayah gak mau anak Ayah jadi suka bohong," ucap Iqbal. "Kamu tuh bener-bener ceroboh ya, kan Bunda sering bilang, kalungnya dijaga baik-baik, bukan soal harga kalungnya yang mahal, tapi itu warisan dari kakek kamu, Mitha, jadi...." "Bunda, kalungnya gak hilang tapi aku jadikan jaminan!" ucap Mitha dengan sedikit memekik karena dia sudah tidak tahan lagi mendengar tuduhan Rania. "Apa? Jaminan?" tanya Iqbal dan Rania bersamaan. "I-iya, Yah, Bunda, maafin aku," jawab Mitha dengan lirih. "Jaminan apa? Kamu abis ngapain aja di sekolah, huh?" tanya Rania dengan sengit, tapi Mitha semakin menundukkan kepalanya. "Damar, kamu juga kenapa diam aja, tadi kalian abis dari mana, kenapa pulangnya sore banget, kamu tuh bisa gak...." "Bun, sabar dulu, dengarkan penjelasan dari mereka baru ambil kesimpulan," ucap Iqbal, mencoba untuk menenangkan istrinya. "Aku gak tau kejadiannya gimana, tadi aku jemput Mitha terus nungguin Mitha lama banget di sana, pas aku telpon gak taunya dia di rumah sakit," ucap Damar menyela. "Rumah sakit?" tanya Rania. "Kamu kenapa, kok bisa di rumah sakit? Kenapa tadi kamu gak ke ruangan Ayah kalau kamu sakit, atau jangan-jangan kamu ngikutin saran diet dari teman kamu itu?" tanya Iqbal. Mitha menghela nafasnya dengan panjang, selalu seperti ini. Keluarganya selalu over thinking jika terjadi sesuatu kepada dirinya. "Mitha, jelasin, kenapa kamu diam aja!" ucap Rania dengan gemas. "Iya, Bunda!" sahut Mitha dengan malas, mau tidak mau dia harus menceritakan apa yang terjadi kepada orang tuanya. "Pantesan aja tadi Bunda liat ada bercak darah di rok sama kaus kaki kamu," ucap Rania. "Terus keadaan dia gimana sekarang?" tanya Iqbal. "Aku gak tau, Yah, tadi Abang ngajak aku pulang cepet-cepet," jawab Mitha. "Coba kalau jujur dari awal, Bunda kan gak bakalan marah," ucap Rania. "Beneran nih, Ayah sama Bunda gak marah?" tanya Mitha. "Ayah gak marah, justru Ayah bakalan marah kalau kamu gak mau tolongin korban tabrak lari itu," jawab Iqbal. "Bunda?" tanya Mitha dengan tatapan mata yang dibuat semanis mungkin. "Bunda udah gak marah, tapi besok kamu harus tebus kalung itu, jangan sampai hilang," jawab Rania. "Siap, Bunda, besok pulang sekolah aku ke rumah sakit dulu buat tebus kalung itu," ucap Mitha. "Nanti Ayah transfer uangnya ke rekening kamu," ucap Iqbal. "Gak usah, Yah, aku punya tabungan kok, mudah-mudahan aja cukup," ucap Iqbal. "Beneran nih?" tanya Iqbal dengan alis yang terangkat. "Beneran, Ayah," jawab Mitha. "Damar, besok kamu antar adik kamu ya," ucap Iqbal. "Beres, Yah," ucap Damar. "Yah, Bun, boleh gak kalau aku mulai bawa mobil sendiri ke sekolah?" tanya Mitha. "Gak boleh!" jawab semua orang dengan kompak. "Kompak banget!" ucap Mitha. "Kamu belum cukup umur, KTP aja baru punya kemarin sore, udah sok-sokan mau nyetir mobil sendiri," ucap Damar. "Kan biar gak ngerepotin Abang sama Ayah terus kalau aku mau pergi," ucap Mitha. "Alasan, bilang aja kalau mau bebas ke mana-mana, apalagi berduaan sama si cowok tengil itu," ucapan Damar membuat Mitha melayangkan tatapan tajamnya. "Damar, kalau ngomong tuh yang baik," ucap Iqbal. "Emang bener, Yah, kalo gak inget dia masih bocah, udah pengen aku tonjok dia, ngedeketin Mitha tapi gak punya nyali, cemen banget!" ucap Damar dengan kesal. Pasalnya, Damar pernah melihat jika Dirga mendekati Mitha di depan gerbang sekolah, Damar bisa melihat gelagat Dirga jika dia menyukai adiknya, tapi Damar sangat marah melihat Dirga diam saja saat Mitha dipermalukan oleh semua orang. "Denger ya, Dek, kamu jangan mau dideketin lagi sama cowok kayak dia, apalagi kalau kamu sampai bela-belain diet cuma buat menarik perhatian dia, cowok yang bener-bener cinta sama kamu, pasti menerima keadaan kamu apa adanya, bukan apa adanya kamu!" ucap Damar. "Abang, ngomong apaan sih!" ucap Mitha. "Kalian percaya diri banget bahas yang kayak gitu, Ayah gak kasih ijin kalian pacaran, Mitha harus selesaikan sekolah dulu, sebelum itu gak boleh pacaran apalagi mikirin menikah, terus kamu Damar, cepat selesaikan kuliah kamu dan bantu Ayah di perusahaan, Ayah udah gak sanggup kalau mengelola yayasan sama perusahaan sekaligus," ucap Iqbal. "Tenang aja, Yah, sebentar lagi juga aku selesai kuliah," ucap Damar. "Gak bisa tenang, Ayah gak mau tau, tahun ini kamu harus udah lulus kuliah!" ucap Iqbal. "Tapi, Bunda kurang setuju sama keputusan Ayah," ucapan Rania membuat Iqbal menatap kepadanya. "Kenapa?" tanya Iqbal. "Gini, Yah, kita kan gak tau kapan dan bagaimana jodoh mereka datang, Bunda gak setuju kalau Ayah melarang mereka memikirkan soal pernikahan," jawab Rania. "Bukan gak boleh, Bun, tapi tidak sekarang, Ayah mau mereka fokus dengan pendidikan dan mencapai cita-cita mereka, itu untuk masa depan mereka," ucap Iqbal. "Bunda tau, Yah, tapi gak adil kalau kita terlalu mengatur mereka, biarkan mereka mengambil keputusan sendiri, tapi bukan berarti kita tidak bisa mengawasi mereka," ucap Rania. "Dek, mendingan kita ke kamar, kayaknya perang dunia ketiga mau dimulai sebentar lagi," ucap Damar. "DAMAR!" pekik Rania. "Ampun, Bun, ampun!" ucap Damar, dia pun segera berlari menuju kamarnya sebelum telinganya menjadi sasaran empuk jemari lentik Rania. "Yah, Bun, Mitha ke kamar juga ya," ucap Mitha, dia pun segera beranjak dari tempatnya menuju kamar. "Yah, kok ngelamun!" ucap Rania seraya menepuk pelan pundak suaminya. "Ayah gak melamun, Bun," ucap Iqbal. "Bilang aja, kenapa Yah?" tanya Rania. "Hmm... cuma ngebayangin aja kalau rumah ini sepi, gak ada anak-anak, pasti kita cuma berdua kayak dulu lagi," jawab Iqbal. "Gak juga, nanti kan mereka kasih cucu buat kita, Yah, jadi rumah kita bakalan rame," ucap Rania. "Tapi, tetap aja Ayah gelisah mikirin itu, Bun," ucap Iqbal. "Jangan terus memikirkan apa yang belum tentu terjadi, Yah," ucap Rania. "Ayah tau, Bunda, tapi sampai kapan kita menyimpan semua kebenaran ini dari anak-anak?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD