Bab 9: Cari Dia!

1070 Words
Keesokan harinya Pagi-pagi sekali, Melinda sudah kembali datang ke rumah sakit membawakan Aland pakaian dan makanan, anak sulungnya itu masih berbaring di atas ranjang dengan mata yang terpejam, tapi mata Melinda memicing saat melihat Aland yang tersenyum tipis dalam tidurnya. "Mimpi apa sih, sampe senyum kayak gitu," ucap Melinda dengan lirih sambil menyiapkan makanan yang dia bawa. "Aland, bangun, Nak!" ucap Melinda seraya mengguncang tubuh putranya, dengan perlahan Aland pun mulai membuka mata. "Ma...." ucap Aland dengan lirih dan terbata. "Sudah pagi, kamu sarapan dulu ya, kan hari ini kamu mulai terapi," ucap Melinda. Aland hanya menganggukkan kepalanya dan kembali tersenyum tipis. "Sebentar ya, Mama panggil Ferdi dulu," ucap Melinda lalu memanggil Ferdi agar dia membantu Melinda memapah Aland untuk duduk di kursi roda. "Gadis itu memang sangat cantik dan lucu, siapa dia?" ucap Aland di dalam hatinya sambil kembali tersenyum. "Kamu kenapa senyum-senyum gitu?" tanya Melinda. "G...g... Ma...." jawab Aland dengan terbata, tapi jawabannya membuat Melinda memikirkan hal yang lain. "Haiish... kenapa susah sekali untuk bicara!" maki Aland lagi yang semakin kesal di dalam hatinya. Ferdi pun datang dan mendorong kursi roda Aland ke toilet. "Perlu bantuan lagi, Tuan?" tanya Ferdi. Aland hanya mengangkat tangannya dan memberikan isyarat agar Ferdi pergi. Di dalam kamar mandi pun dia masih mengingat raut wajah panik gadis yang sudah menolongnya, entah kenapa jantung Aland terasa memompa darah lebih kencang ke seluruh tubuhnya. "Aku harus bisa menemukan dia," batin Aland berucap lagi. Beberapa menit di toilet, Aland dengan perlahan keluar dari kamar mandi. "Tuan, kenapa tidak memanggil saya?" tanya Ferdi, dia pun membantu Aland kembali ke ruangan. "Dasar bodoh, gimana mau panggil, ngomong aja susah!" maki Aland di dalam hatinya sambil melayangkan tatapan sinis kepada Ferdi. Setelah itu Ferdi keluar dari ruangan Aland. "Kamu sarapan dulu ya, Nak," ucap Melinda dengan menyodorkan sendok berisi makanan, tapi Aland menggelengkan kepalanya dan mengambil alih kotak makan yang Melinda pegang. "Kenapa gak mau disuapin?" tanya Melinda dengan alis yang terangkat. "Aku bukan anak kecil!" jawaban Aland tentunya hanya bisa didengar oleh dirinya sendiri. Aland pun menikmati sarapannya dengan sesekali tersenyum tipis, bayangan gadis itu terus saja berkelebatan di dalam ingatan Aland. "Kamu kenapa sih, dari tadi senyum-senyum sendiri?" tanya Melinda. Aland hanya menghela nafasnya dengan panjang dan menatap ibunya. "Oh iya, Mama lupa, kamu kan lagi susah bicara," ucap Melinda lalu dia mengambil ponselnya dari dalam tas. "Nih, kamu ketik atau tulis apa yang ingin kamu katakan," ucap Melinda sambil memberikan ponselnya kepada Aland. Dengan senyuman yang mengembang, Aland mengambil ponsel milik Melinda dan mengetikkan sesuatu di sana. "Tolong minta Ferdi untuk mencari dia, Ma!" tulis Aland di sana lalu memberikan ponsel itu kepada Melinda. Jantung Melinda terasa seperti dihimpit oleh berton-ton batu besar, terasa sangat sesak, Melinda pikir jika Aland memintanya untuk mencari Giska. "Iya, nanti Mama minta Ferdi cari dia," ucap Melinda, Aland menganggukkan kepalanya sambil tersenyum. "Maaf Aland, Mama gak bisa bilang sekarang, Mama gak mau keadaan kamu semakin memburuk jika tau bagaimana sikap Giska yang sebenarnya," ucap Melinda di dalam hatinya dan membuat keadaan sangat hening. Ibu dan anak itu, tenggelam dalam pikiran masing-masing, hingga seorang perawat dan dokter masuk ke ruangan itu membuyarkan semua lamunan mereka. "Permisi, Nyonya, kami harus memeriksa keadaan pasien," ucap perawat. "Silahkan, Suster," ucap Melinda, dokter pun memeriksa bagaimana keadaan Aland. "Setelah terapi, anak anda sudah bisa pulang, nanti akan saya jadwalkan kapan anak anda harus terapi lagi," ucap dokter. "Baik, Dok, terima kasih," ucap Melinda. "Ayo, Tuan, kita ke ruang terapi sekarang," ucap suster lalu mendorong kursi roda Aland, Melinda pun mengikuti putranya ke ruang terapi. *** Pukul 13.30 Sekolah Mitha. Jam pelajaran hampir berakhir, semua siswa terlihat sangat jenuh mendengarkan uraian materi yang dijelaskan oleh guru, bahkan beberapa dari mereka ada yang sengaja terlelap di kelas. Terlebih lagi, mata pelajaran yang diterangkan adalah matematika, you know lah, tidak semua siswa menyukai mata pelajaran yang satu itu. "Kalian paham tidak?" tanya guru. "Paham, Bu!" lalu guru mengitari pandangannya kepada seorang siswa yang sedang asik melihat wajahnya di cermin, sang guru menghela nafasnya dengan panjang lalu .... "Sesha, isi soal nomer tiga, dan Mitha isi soal nomer enam, di depan!" perintah guru. "Mati gue!" ucap Sesha dengan lirih sambil menepuk keningnya perlahan, lalu dia menyimpan cermin yang sedang dia pegang ke dalam tas. Sedangkan Mitha langsung beranjak dari tempatnya menuruti perintah guru. "Sesha, kenapa masih diam di situ, cepat kerjakan di sini, kalau kamu gak bisa ngerjain soal ini, kalian semua gak boleh pulang!" ucap guru lagi, karena Sesha masih diam di kursinya. "Eh nenek lampir, cepetan maju sono, awas aja ya kalo gara-gara elu kita semua jadi dapet kelas tambahan matematika!" ucap Fanny dengan tatapan sinisnya. "Diem lo, kacung!" ucap Sesha lagi. "Sesha!" teriak guru lagi. "Iya, Bu, iya, kalem dong, ini juga mau ke situ, lagian tenggorokan Ibu gak sakit apa, teriak-teriak terus," ucap Sesha, sambil berjalan ke depan lalu mengambil spidol. Dia melirik sinis kepada Mitha yang hampir selesai mengerjakan soalnya. "Sok pinter banget lu!" ucap Sesha lirih, tapi Mitha masih bisa mendengarnya. "Sudah, Bu," ucap Mitha, guru pun melihat jawaban Mitha dengan puas. "Oke, jawabannya benar dan rumusnya tepat, kamu boleh duduk lagi, Mitha!" perintah guru, Mitha pun kembali ke bangkunya. "Gimana jawabannya mau bener kalau rumusnya aja udah salah, Sesha!" ucap guru yang terus memperhatikan Sesha menulis. "Rumus boleh salah, Bu, tapi hasil pasti bener!" ucapan Sesha membuat guru mereka geram. "Teori dari mana kayak gitu?" tanya guru. "Saya, Bu, barusan kan saya yang bilang sama Ibu," jawab Sesha. "SESHA!" bentak guru, membuat semua siswa terkejut dan fokus memperhatikan ke arah depan. "Kamu, itu ya, mentang-mentang anak kepala sekolah, gak ada sopan santunnya, selalu aja bikin masalah, makanya kalau guru lagi kasih materi tuh didengerin, terus dipahami, bukan sibuk make up, kamu masih SMA tapi dandanan udah kayak tante-tante, mau jadi apa kamu huh?" tanya guru. "Emang kayak tante-tante, Bu," ucap Fanny. "Fan, diem!" ucap Mitha sambil menyikut lengan sahabatnya. "Lah emang bener," ucap Fanny lagi, Sesha yang masih ada di depan sana menatap tajam kepada Fanny dan Mitha dengan tangan yang terkepal. "Sekali lagi Ibu liat kamu bersolek di jam pelajaran Ibu, Ibu skors kamu!" ancam guru. Sesha semakin kesal mendengar ancaman dari guru, sambil menghentakkan kakinya, Sesha kembali ke bangkunya. "Kerjakan soal halaman empat puluh dua di rumah, terima kasih!" ucap guru setelah merapikan barang-barangnya di atas meja, guru pun pergi. BRAAK "INI SEMUA GARA-GARA LO, BUS TAYO!" semua siswa menoleh saat Sesha memaki Mitha sambil memukul meja dengan sangat kencang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD