Bab 6: Kamu Sempurna dan Berharga!

1045 Words
"Kenapa kalian pulangnya lama banget?" tanya Rania sambil berkacak pinggang. "Jangan bilang yang aneh-aneh ya," bisik Damar kepada Mitha. "Kan tadi aku udah ijin, Bun, aku mau ke mall sama Fanny," jawab Mitha dengan santai lalu menyalami Rania. "Kok Abang gak kasih kabar sama, Bunda?" tanya Rania lagi. "Lupa, Bun," jawab Damar, dia pun segera berlalu menuju kamarnya, begitu juga dengan Mitha, tapi.... "Mitha, tunggu dulu!" cegah Rania. "Kenapa, Bun?" tanya Mitha. "Kamu lagi datang bulan?" tanya Rania dengan mata yang memicing karena melihat bercak darah di pakaian Mitha. "Enggak, Bun, emang kenapa," jawab Mitha. "Terus, itu di baju kamu darah apa?" tanya Rania. "Haduh... mati, aku!" ucap Mitha di dalam hatinya. "Bun, aku ke kamar dulu ya, mau bersih-bersih," ucap Mitha. "Buka dulu hoodie kamu, Bunda mau liat, tapi masa darah...." "Aduh, Bun, aku udah gak tahan nih, pengen ke kamar mandi," ucap Mitha menyela, lalu dia segera pergi menuju kamarnya. "Itu anak aneh banget sih," ucap Rania, dia segera menuju dapur menyiapkan makanan untuk makan malam. "Fiuuh... akhirnya!" ucap Mitha dengan nafas yang memburu karena lelah berlari dari lantai dua, Mitha segera membuka hoodienya dan berganti pakaian. "Simpen di mana dong, kalau di sini bunda bisa ngamuk," ucap Mitha sambil memegang seragamnya yang berlumuran darah, setelah dia selesai mandi dan berganti pakaian. "Ya udah deh, dibersihin dulu aja, terus buang," ucap Mitha, dia pun membersihkan seragamnya setelah itu Mitha masukkan seragamnya ke dalam kantong plastik. Tok...tok...tok ... "Dek!" teriak Damar dari luar sambil mengetuk pintu kamar adiknya. "Masuk, Bang!" teriak Mitha. Setelah pintu terbuka, lalu Damar pun masuk dengan menoleh ke kanan dan ke kiri. "Kenapa, Bang?" tanya Mitha. "Baju kamu yang tadi kamu simpan di mana?" tanya Damar. "Nih, udah aku masukin ke kantong plastik, mau aku buang," jawab Mitha. "Pinter," ucapan Damar membuat Mitha mengerucutkan bibirnya karena kesal. "Iya gak kayak, Abang," ucap Mitha. "Whatever, dipanggil ayah tuh," ucap Damar. "Mau ngapain?" tanya Mitha. "Mana Abang tau," jawab Damar dia pun berlalu begitu saja dari kamar Mitha. "Ish... punya Abang satu nyebelinnya minta ampun," ucap Mitha, dia pun segera keluar dari kamar untuk menemui ayahnya. Ternyata, semua keluarganya sedang berkumpul di ruang tamu, sambil menikmati teh dan camilan buatan Rania. "Ada apa, Yah?" tanya Mitha yang langsung duduk di samping ayahnya. "Gak apa-apa, Ayah cuma mau kita ngumpul aja," jawab Iqbal. "Aku kira ada apa, Yah," ucap Mitha. "Sebentar lagi kamu lulus, udah kamu pikirkan mau kuliah di mana?" tanya Iqbal. "Aku baru juga masuk kelas 12, Yah, masih ada waktu satu tahun lagi, jadi nanti aja aku pikirin lagi," jawab Mitha. "Semuanya harus direncanain dari sekarang, jangan kayak Abang kamu tuh, kuliah udah mau lima tahun belum selesai juga," ucap Rania seraya mendelik sinis kepada Damar yang duduk tak jauh darinya. Tapi pria itu tidak mempedulikan sindiran dari ibunya, dia tetap fokus memainkan game online yang ada di ponselnya. "Tuh kan, orang tuanya lagi ngomong bukannya didengerin malah anteng main game," ucap Rania dengan kesal. "Aku denger, Bun, lagian santai aja sih, nanti juga lulus kok, tenang aja," ucap Damar dengan santai. "Damar!" ucap Iqbal dengan penuh penekanan. Jika ayahnya yang memanggil, barulah Damar menolehkan kepalanya. "Apa?" tanya Damar. "Apa, apa, kamu ngerti gak apa yang dibilang sama Bunda tadi?" tanya Iqbal dengan kesal. "Ngerti lah, Yah," jawab Damar, dan kembali fokus dengan benda pipih yang sedang dipegang olehnya. "Awas ya, kalau tahun ini gak lulus, kamu tanggung biaya kuliah sendiri, Ayah gak akan kasih fasilitas lagi ke kamu," ancam Iqbal. "Rasain, main mulu sih kerjaannya," ledek Mitha. "Anak kecil diem ya, jangan ikut campur," ucap Damar. "Enak aja anak kecil, Abang gak liat badan aku kayak gajah gini," ucap Mitha. "Hush... gak baik ah ngomong kayak gitu, itu namanya kamu gak bersyukur sama pemberian Allah," ucap Iqbal. "Iya, iya, maaf Yah, abisnya Abang bilang aku anak kecil terus, aku kan udah gede Yah, ke mana-mana pasti dikawal sama Abang, mending kalau Abangnya gak rese, ini mah rese banget," ucap Mitha dengan kesal. "Sayang, kamu itu anak gadis, jadi wajar kalau Abang jagain kamu, Ayah juga dulu kayak gitu kok sama tante Indri sama Bunda juga, sebelum ada pria yang mengambil putri kesayangan Ayah dari rumah ini, Ayah sama Abang harus jagain kamu," ucap Iqbal. "Ayah, ngomongnya suka ngelantur, lagian siapa yang mau ngambil aku," ucap Mita. "Loh kok ngelantur sih, emangnya suatu saat nanti kamu gak bakalan nikah?" tanya Iqbal. "Kalau kamu menikah nanti, kamu pasti ikut sama suami, dan gak akan tinggal di sini lagi, kamu sudah menjadi tanggung jawab suami kamu," timpal Rania. "Emangnya ada cowok yang mau sama cewek kayak karung beras gini?" tanya Mitha dengan lirih. "Mitha, udah berapa kali Ayah sama Bunda bilang, jangan insecure sama diri sendiri, kamu jauh lebih sempurna dari pada orang yang tidak bisa melihat di sana, ada juga orang yang cacat, tapi mereka masih bisa menjalani hidup mereka, berhenti menghina diri sendiri, kamu sempurna, kamu berharga, dan kamu wanita terhormat, jadi jangan malu dengan keadaan tubuh kamu seperti ini, kamu harus malu di saat kamu tidak bisa menjaga harga dirimu dan kehormatanmu di hadapan pria," ucap Iqbal. "Dengerin tuh, apa kata, Ayah," ucap Damar. "Iya, aku denger," ucap Mitha. "Mitha, coba sini dekat Bunda!" panggil Rania seraya menepuk tempat di sampingnya. "Kenapa, Bun?" tanya Mitha, lalu dia berpindah ke sofa di samping Rania. "Kalung kamu di mana?" tanya Rania. Sejak mereka berkumpul, Rania memang terus memperhatikan leher Mitha, dia tidak melihat kalung yang biasa Mitha pakai di sana, kalung itu sangat berharga untuk keluarga besar Mitha, kalung itu adalah kalung warisan turun temurun yang diberikan kakek Mitha kepada anak perempuan di keluarga Rania, Rania memberikan kalung itu kepada Mitha karena Mitha adalah anak perempuan satu-satunya. Mitha mengepalkan tangannya yang berkeringat karena takut Rania dan Iqbal akan marah karena dia tidak meminta persetujuan orang tuanya untuk menjadikan kalung warisan itu sebagai jaminan. "Mitha, kalung kamu di mana?" tanya Rania lagi dengan tatapan tajamnya. "Bun, ngeliatnya jangan kayak gitu dong, aku jadi merinding," jawab Mitha mengalihkan pembicaraan. "Makanya jawab, kalung kamu di mana?" tanya Rania. "Itu, Bun anu... kalungnya...." "Pasti hilang!" sergah Rania. "Enggak, Bun!" sahut Mitha sambil mengibaskan kedua tangannya. "Terus di mana, kamu kan ceroboh, cepat cari kalungnya, jangan sampai hilang, itu kan kalung warisan turun temurun dari keluarga Bunda," ucap Rania. "Kalungnya gak hilang, Bun, beneran tapi itu...."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD