Hold My Hands

1099 Words
"Tuan muda, gadis sakit jiwa itu memang dalang di balik semua ini." Erik menjelaskan singkat namun, mampu memberikan kesimpulan dari semua pertanyaan William. "Aku tahu. Dan aku cukup khawatir dengan keadaannya nanti. Tampaknya aku mulai haus Erik." dengan senyum miring William menatap lekat wajah Erik. "Apa anda akan berburu lagi Tuan muda?" Erik menyelipkan keraguan di sepenggal kalimatnya. "Tidak. Tapi bukan berarti untuk selamanya, aku hanya tinggal menunggu waktu." kalimat misteri William sukses membuat seluruh tubuh Erik membeku. "Tapi Tuan muda, bagaimana jika nona Ella tahu?" Erik sengaja menawarkan pilihan agar William tidak menepati perkataannya. "Perhatikan kalimat mu! Siapa yang kau panggil Ella!" d**a William kembang kempis karena emosi. "Ma...maaf tuan muda. Maafkan kebodohan saya." dengan raut wajah ketakutan, Erik berseru terbata. "Ini yang terakhir, lain kali kebodohanmu akan menjadi akhir dari segalanya. Kau mengerti?" nada dingin berisi perintah yang pasti akan terpenuhi begitu menakutkan. "Baik Tuan muda." balas Erik tegas menyanggupi perintah William. "Pergilah. Pastikan kesayanganku baik-baik saja. Aku tidak suka jika dia masih saja bernoda tinta merah." perintah William tajam. "Baik Tuan muda." Erik membungkuk sebagai pertanda hormat sebelum kemudian menghilang dari pandangan William. Tangan William bergerak mengusap dagunya perlahan-lahan. "Monica, Monica, Monica, kau sudah membangunkan sisi gelap ku. Sudah terlalu lama bagimu tertawa dalam bahagia, kini saatnya untuk menangis tanpa suara." Suara tawa membahana terdengar mengerikan memenuhi seluruh penjuru ruangan itu. Ketika Angel membuka mata, yang pertama sekali dilihatnya adalah ruangan serba putih. Pikiran Angel masih saja berkabut, mencoba meraih ingatan tentang peristiwa yang menimpa dirinya. Ditengah-tengah kebingungan yang masih melanda dirinya, Angel tersentak kaget ketika dirasa sebuah sentuhan lembut di tangannya. "Salsa? Apa... yang kau lakukan disini?" akhirnya Angel berhasil bersuara. "Bagaimana keadaanmu Angel?" bisik Salsa dengan nada pelan. "Aku baik-baik saja, jangan khawatir." diukirnya senyum semanis mungkin guna menghilangkan kekhawatiran Salsa. "Kenapa kau bisa berakhir di sini? Apa yang sebenarnya terjadi padamu?" Salsa melontarkan rentetan pertanyaan yang mampu memuaskan rasa penasarannya. Tubuh Angel menegang, sekelebat ingatan demi ingatan terakhirnya muncul membanjiri pikirannya. Meskipun begitu, sangat sulit baginya untuk mengungkapkan kebenaran. Ketakutan jika Monica bisa saja menyakiti salsa dan Robby membuat Angel harus terpaksa menyimpan semua itu sebaik mungkin. "Aku.... hanya terjatuh dari sepeda. Jalannya begitu licin, jadi aku... aku.. kurang hati-hati." dipaksakannya sinar cerah di wajah itu demi melindungi cerita yang sebenarnya. "Angel, entah kenapa, kau terlihat seperti sedang berbohong. Apa tebakan ku benar?" tak mau terpesona dengan senyum paksaan Angel, Salsa tetap menuntut kejujurannya. Didera sakit hati yang luar biasa, tanpa sadar air mata Angel meleleh dari kedua sudut matanya. Masih terbayang jelas diingatannya sampe sekarang, bagaimana Monica merundung Angel tanpa ampun hingga membuatnya harus berakhir di ruangan ini. "Jangan menangis, jangan paksakan dirimu jika kau tidak sanggup. Aku sudah tahu Angel, maafkan yang tidak bisa berbuat apa-apa untuk mu." tangan Salsa terulur mengusap air mata Angel. "Aku....sudah putus asa Salsa, bahkan sudah mu pasrahkan diriku jika memang harus berakhir secepat ini. Tapi nyatanya, aku tetap hidup, aku tetap hidup bersama luka dan derita ini. Aku sudah tidak sanggup lagi." Air mata deras kembali membuat pipi Angel basah. Takdir memang begitu kejam, hingga membuatnya tidak berdaya. Dirinya bukan tidak pernah menyerah pada takdir namun, semakin lama semakin membuat lukanya bertambah. Mungkinkah... ada akhir dari semua dari semua derita ini? "Sudahlah Angel. Jangan menangis lagi, kau harus percaya segala sesuatunya pasti memiliki akhir. Tidak ada awal tanpa akhir, semu kisah harus berakhir. Sama halnya dengan lidahmu, aku yakin cerita ini pasti memiliki akhir bahagia." Salsa sengaja menyelipkan kalimat penuh harapan. "Kau sedang bergurau rupanya. Mana mungkin aku memiliki akhir kisah yang bahagia, sementara bertahun-tahun sudah lamanya, cerita ku masih saja sama." dengan senyum lirih Angel membalas perkataan Salsa. Kedua tangannya terkepal seolah melampiaskan kemarahan yang telah tersimpan lama. "Kau tidak boleh berpikir seperti itu. Ingatlah bahwa setiap manusia pasti memiliki harapan, jangan menyerah pada keadaan Angel. Aku yakin kau pasti bisa....... Pintu ruangan terbuka tiba-tiba membuat kedua gadis itu kompak membisu. Angel memaksakan kepalanya melihat siapa gerangan yang datang. Kedua mata Angel membulat sebagai bentuk keterkejutan. Seorang lelaki tampan, berpenampilan rapi lengkap dengan jas hitam berjalan mendekati ranjangnya. Kening Angel berkerut dalam tatkala meneliti penampilan lelaki itu yang tidak seperti biasanya. "Li....Liam?" suara Angel tercekat ketika otaknya sudah mengenali dengan jelas lelaki itu. "Bagaimana kabarmu? Apa kau sudah membaik?" William bertanya khawatir mengambil tempat duduk di sisi Angel yang masih kosong. Salsa yang mulai paham bahwa pasangan itu memerlukan waktu untuk berbincang segera undur diri tanpa permisi. Seperi terhipnotis pandangan Angel hanya terpaku pada William yang berada disisi kanannya. Dia bahkan tidak menyadari kepergian Salsa. "Kenapa... kau berada disini?" Angel berhasil menyuarakan suaranya yang tercekat. "Kau bertanya kenapa? Sementara akulah yang membawa mu ke rumah sakit ini." William terkekeh, tangannya mengelus pelan perban yang menutupi luka Angel. "Selain itu, aku merindukanmu." Angel tertegun, lelaki dihadapannya terlihat berkali-kali lebih tampan meskipun dengan wajah sendunya. William selalu saja membuat kinerja jantungnya bekerja lebih cepat seolah ingin meledak. "Kenapa... kau...menolongku?" Angel meragu dengan pertanyaan sendiri. "Itu karena aku tidak bisa kehilanganmu. Percayalah, aku sangat ketakutan saat menemukan tubuhmu bersimbah darah. Perasaan yang seperti itu belum pernah ku rasakan sebelumnya, ini kali pertama dalam hidupku, dan itu pun karena dirimu." William menyahut lembut penuh dengan kejujuran. Matanya menangkap dengan jelas keterkejutan di wajah Angel. Tangan William bergerak menyentuh helaian rambut halus Angel membuat gadis itu terkesiap. "Aku tahu ini terdengar tidak masuk akal namun, itulah yang kurasakan saat ini padamu." Mendengar perkataan William itu, sekelebat ingatan pagi itu melintas di pikirannya. Angel tak bisa menampik dirinya begitu egois ketika mengusir William tanpa hormat dari kehidupannya. Padahal, hatinya begitu mendamba sentuhan kasih sayang penuh perhatian. "Kau... kau akan terluka jika bersama ku. Dan.. aku ... tidak ingin itu terjadi." napas Angel tersenggal ketika suaranya tercekat di tenggorokan. Sekuat tenaga, Angel menahan diri untuk tidak menangis. Tak di sangka kalimat terakhir itu mampu membuat William membeku sesaat. Lelaki itu membalas dalam pandangan mata Angel seperti saling menyelami perasaan mereka masing-masing. "Aku berjanji tidak akan ada yang terluka antara aku dan dirimu. Aku bersumpah untuk selalu melindungi mu bahkan dengan nyawa ku sendiri. Aku bersumpah tidak akan lagi membiarkan mu sendiri melewati kejamnya waktu. Aku juga berjanji akan selalu mengukir senyum manis di wajah cantik mu, tidak akan ada lagi air mata walau setetes pun. Angel jika kau memilih untuk bersandar padaku, maka hidupmu adalah tanggungjawab ku." William mendesiskan kalimat penuh janji pada Angel. Perlahan, William mengangkat sebelah tangan lalu mengulurkannya tepat di hadapan gadis itu. "Angel, terimalah uluran tanganku." Wow.. aku terkejut dengan jumlah pembacanya yang sudah 3 digit. Padahal aku jarang promo loh. HiHiHi Thanks everyone..
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD