2. Kesepakatan.

1273 Words
Ada yang di sebut bahagia tidak pada tempatnya, seperti yang di rasakan Wina sekarang. Hatinya tidak bisa berbohong bahwa bertemu kembali dengan Alvin setelah satu tahun berpisah menciptakan debaran yang sama seperti dulu. Sekelumit perasaan bahagia juga dengan kurang ajarnya ikut merasuk bersama debaran itu. “Apa maumu?” Tanya Wina tanpa keramahan sedikitpun. Mencoba terlihat tidak peduli walaupun hatinya berkata lain. “Berbisnis denganmu tentu saja.” Jawab Alvin dengan santai, kemudian laki-laki itu mengarahkan pandangannya pada nenek Wina dan tersenyum. “Terimakasih nak Alvin sudah menepati janji untuk menyelamatkan kami.” Ucap sang nenek membuat Wina sedikit terbelalak. Neneknya mengenal Alvin? “Tentu saja sudah kewajiban saya untuk menyelamatkan Wina, mari silahkan masuk!” Jawab Alvin sopan. Yang lebih mengagetkan Wina sang nenek terlihat begitu lega dan kemudian melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah megah di hadapan mereka itu. Melihat Wina tetap diam di tempat, Alvin berbalik kemudian menarik tangan wanita itu untuk ikut masuk ke dalam. “Baiklah sesuai kesepakatan kita sebelumnya, ini adalah berkas yang sudah nenek tanda tangani dan yang ini adalah yang harus Wina tanda tangani.” Alvin menyerahkan dua berkas di hadapan Wina dan sang nenek begitu mereka telah duduk di ruang tamu yang begitu megah itu. Wina menoleh pada sang nenek, namun wanita yang sudah dipenuhi keriput itu tidak berani menatap cucunya. “Kesepakatan apa nek? Kenapa Wina tidak tahu?” Wanita tua itu menghembuskan nafasnya dengan berat menghadapi pertanyaan cucunya. “Maafkan nenek neng, ini adalah jalan yang terbaik buat kamu dibandingkan menikahi orang menyeramkan itu. Lagipula nak Alvin ini seorang dokter jadi nenek lebih percaya padanya mengenai urusan kesembuhan Devon.” Walaupun sang nenek belum menceritakan dengan detail segalanya tapi Wina sudah bisa menangkap maksud dari semua itu. d**a Wina rasanya sesak, menjadi sakit begitu melihat seringai di bibir Alvin. Lagi-lagi dia tidak berdaya untuk menolak sesuatu yang bukan keinginannya. “Jadi anda membeli saya dengan siasat busuk ini tuan Alvin yang terhormat?” “Neng, nak Alvin ini tidak bersalah. Kita yang salah karena tidak memiliki pilihan lain. Maafkan nenek karena lagi-lagi harus membuatmu merasakan di posisi ini. Nenek mohon kamu tanda tangani perjanjian ini yah!” Sebutir air mata jatuh mengenai pipi Wina, tapi buru-buru di hapusnya. Tidak mau terlihat lemah di depan laki-laki seperti Alvin. “Memangnya Wina diberi hak memilih untuk tidak menandatanganinya nek? Dunia ini tidak pernah berpihak padaku sedikitpun.” Ucap wanita itu sambil menyambar perjanjian yang disodorkan Alvin kemudian menandatanganinya tanpa membaca sedikitpun. Hatinya seperti mati rasa, sejak mencintai Alvin berpuluh tahun lalu memang tidak ada satu haripun yang berpihak pada Wina. “Sudah aku tangani, kau puas?” Wina meletakan pulpen dan berkas itu di hadapan Alvin sambil memberikan tatapan marah. Tapi ekspresi Alvin tidak terpengaruh sedikitpun dengan suasana yang dibuat Wina. Laki-laki itu tersenyum penuh kemenangan sambil mengambil berkas yang baru saja ditandatangani oleh Wina. “Senang sekali berbisnis dengan wanita profesional sepertimu.” Ucap laki-laki itu sambil memberikan seringai menyebalkan. Membuat Wina rasanya ingin sekali menjambak rambut laki-laki itu yang entah kenapa terlihat tidak serapih dulu. “Dasar iblis j*****m, kenapa tidak di neraka saja kau.” Gumam Wina lirih masih mampu di dengar Alvin karena jarak mereka yang lumayan dekat sedangkan sang nenek sudah diajak masuk ke ruangan untuk beristirahat. “Iblis ini adalah calon suamimu sayang, jadi sebaiknya kendalikan mulut manismu itu dalam berkata-kata. Aku bisa menjamin bahwa daam pernikahan ini kau akan menjadi pihak yang lebih mencintaiku nantinya.” Balas Alvin sambil memiringkan wajahnya menyebalkan. Setelah itu laki-laki itu bangkit dan meninggalkan Wina bersama seorang pelayan perempuan. “Nona, mari saya antar ke kamar.” Ucap wanita paruh baya itu sopan. Wina menarik napasnya dalam-dalam sebelaum kemudian mengikuti wanita pelayan itu memasuki sebuah kamar megah yang dipenuhi nuansa putih. Warna favorit wanita itu. Bahkan motif kertas dindingnya pun adalah bunga kesukaan Wina. Untuk beberapa detik, wanita itu terdiam mengamati dekorasi kamar megah itu dengan terkesima. Bagaimana bisa kebetulan bisa sesempurna itu? Perpaduan warna, suasana, dan penempatan barang-barang di dalam kamar itu sangat sesuai dengan selera Wina. “Huh! Mana mungkin iblis itu menyiapkan semua ini untukku, ini pasti hanya kebetulan saja.” Gumam wanita itu sambil melangkahkan kakinya masuk kamar semakin dalam. Kemudian duduk di atas ranjang besar dan megah itu sambil mengusap wajahnya lelah. Semuanya terasa begitu suram, lagi-lagi pernikahannya digagalkan oleh orang yang sama. Alvin Giano Robinson. Dan lebih buruknya lagi dia bukan hanya menggagalkan pernikahannya tapi menjeranya dengan cara yang sama seperti dulu. “Dasar iblis sialan!” *** Stevan sedang menyeruput secangkir kopi sambil membaca koran pagi ketika Arabella turun dari tangga masih dengan rambut acak-acakannya. “Kak, mau berapa lama di Indonesia huh! Sudahlah lupakan saja gadis itu, masih banyak wanita yang tergila-gila dengan kakak di dunia ini.” Ucap gadis itu sambil duduk di samping Stevan. “Kakak tidak memintamu untuk berada di sini. Pergilah jika kau ingin pergi.” Jawab Stevan tanpa menoleh. “Lagipula tidak ada gunanya melawan Dokter Alvin kak, kan aku sudah mengatakan bahwa dia adalah teman dari kekasihku. Aku juga sudah pernah bertemu langsung dengannya. Dia orang yang sulit untuk di kalahkan kak.”  Ucap Arabella masih belum menyerah. “Kau punya kekasih? Kenapa kakak tidak tahu?” Tanya Stevan mengalihkan pembicaraan. “Kemarin kau bilang dia temanmu, sekarang kau bilang dia teman kekasihmu? Sebenarnya apa yang sedang coba kau tutupi dari kakak huh?” Arabella meringis. Dia keceplosan. “Maksudnya dia adalah teman dari temanku kak, aku salah bicara tadi. Teman dari temanku berarti dia temanku juga.” Stevan menyipitkan matanya mencium aroma kebohongan yang semerbak tercium olehnya. “Kakak tahu kamu sedang berbohong, cepat katakan atau kakak akan menemukan siapa kekasihmu dan menembak kepalanya!” Ancam Stevan yang selalu berhasil membuat Arabella kesal tapi bukan berarti gadis itu akan menyerah. “Sudah aku bilang, aku salah bicara tadi.” Arabella mencoba untuk meyakinkan Stevan. “Arabella!!”   “Baiklah-baiklah aku akan mengakuinya, aku memang memiliki seorang kekasih dan dia adalah teman dari Dokter Alvin.” “Kamu tahu kalau kakak hanya butuh nama tidak butuh penjelasan konyolmu.” Ucap Stevan menyebalkan. “Marco Antonius.” “Kau benar-benar gadis kecil keras kepala, si duda beranak satu itu tidak pantas untukmu. Lagipula dia sudah menolakmu dengan sangat tidak terhormat seperti itu dan kau masih saja mengaku-ngaku menjadi kekasihnya huh?” Stevan mulai kesal, tapi dasar Arabella memang keras kepala sehingga perkataan Stevan tidak di dengarnya. “Sekarang memang dia bukan kekasihku resmi hanya khayalan saja, tapi besok atau lusa dia pasti akan menjadi kekasihku dan kakak tidak boleh menghalangiku. Lagipula dia bukan duda beranak satu kak!” Ucap Arabella tak kalah kesal. “Kakak tidak peduli jika itu orang lain, asal jangan duda beranak satu itu Arabella!!” “Kalau begitu bagaimana kalau aku pacaran dengan pemulung saja huh? Yang penting bukan Marco kan? Tapi dengan syarat kakak juga tidak boleh mengganggu dokter Alvin titik.” Jawab Arabella kesal, Stevan sudah sangat marah dan ingin membanting sesuatu jika tidak mengingat adik kesayangannya itu memiliki trauma berat terhadap pecahan benda. “Sebenarnya apa hubungannya perasanmu dengan Marco dan Alvin huh? Kenapa kau harus pedulikan dokter gadungan itu?” Stevan mengatakannya sambil menahan emosi. “Itu bukan urusan kakak, intinya jangan menganggu dokter Alvin titik!” “Urusan kakak dengan dokter gadungan itu juga bukan urusan kamu jadi mari kita tidak usah saling mengurusi satu sama lain!!” Setelah mengatakan itu Stevan bangkit dan pergi meninggalkan adiknya dengan kemarahan yang sudah meluap-luap di dadanya. Arabella memegang kepalanya sambil berdecak kesal. “Bisa gawat kalau kakak sampai berurusan sama dokter Alvin. Semua rahasiaku bisa terbongkar.” Gumam Arabel seorang diri. “Pokoknya bagaimanapun aku harus menggagalkan semua ini. Harus!!” ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD