"Berarti lo tau siapa Caca?"
Rangga menggaruk tengkuknya saat mengangguk. Wajahnya ragu tapi pelototan Pingkan membuatnya bicara. "Caca itu mantannya Aldrich Ta.. tapi mereka udah putus setahun lalu. Gw juga gak tau kenapa semalem mereka bisa bareng. Gw juga bingung."
Aku menelan salivaku, rasanya cairan itu berubah menjadi batu. Aku menunduk menahan tangisku.
"Ta, lo harus denger penjelasan langsung dari Aldrich. Mau ampe kapan lo hindarin dia?" Ujar Pingkan.
Aku menggeleng, dadaku terasa sesak. "Gw butuh waktu Ping. Gw belum siap denger penjelasan apapun. Gw belum mau ketemu dia". Aku meneteskan airmata.
Rangga menyodorkan saputangannya. "Thanks ya Ga. Udah mau jujur sama gw." Aku berusaha tersenyum.
Cowok itu menggenggam pelan tanganku. "Sory ya Ta..."
Mereka berdua pergi setengah jam kemudian. Membiarkanku istirahat. Aku membuka ponselku tanpa menyalakan sinyal. Banyak pesan yang Aldrich kirimkan. Semuanya berisi permintaan maaf. Tapi aku tidak membalas. Hatiku belum siap. Aku masih ingin meratapi kekecewaanku.
Rangga mengijinkanku untuk libur seminggu penuh. Enak juga punya teman bos sendiri, mengkin dia merasa bersalah juga. Hari kamis itu Aldrich datang ke kosku dengan Mario. Aku hanya menghampiri mereka dipagar. Sebelumnya aku berpesan pada penjaga kos, mang Ujang, bila ada yang mencariku jangan langsung boleh masuk kecuali Pingkan.
"Ta, please denger penjelasanku. Aku sama Mario waktu itu."
Aku melipat tanganku di d**a. Sabahat Aldrich itu menarikku untuk duduk dibangku teras. Aldrich hanya diam menatapku.
"Lo udah sembuh Ta? Gw denger lo sakit" Mario menatapku lurus. Aku sama sekali tidak memandang Aldrich.
"Lo mau ngomong apa Yo?"
"Dengerin gw Ta. Malem itu gw sama Aldrich. Kebetulan cewek gw ikut. Nah Caca itu temennya dia. Gw juga gak tau kalau mereka udah janjian. Jadi gw minta tolong Aldrich untuk bonceng dia. Kita gak ngapa-ngapain kok Ta. Kita cuma kumpul n nongkrong-nongkrong aja. Abis itu kita anter mereka pulang. Gw juga tidur diapartemen Aldrich."
Aku tetap mengatupkan mulutku. Saat Aldrich menarik tanganku dan menggenggamnya aku membuang pandanganku ke arah lain.
"Ta please, aku gak macem-macem Ta. Itu cuma kebetulan."
"Kebetulan yang menyenangkan huh?" Aku bangkit berdiri. "Udah ngomongnya?" Aku kembali menatap Mario. "Kalo udah gw masuk."
Mereka berdua menatapku tidak percaya. Tapi bodo amat! Aku langsung masuk ke kamarku. Sekilas aku mendengar suara Mario berseru. "Lo egois Ta. Lo cewe egois!"
Aku mengacuhkan kata-katanya. Semua cewek akan jadi egois saat jatuh cinta. Kebetulan kek, apa kek alesannya, gak bakal buat aku dengan mudah memaafkan apa yang Aldrich lakuin.
^*^*^*^*^*^*^*^*^*^*^*^*^*^*^*^*^*^*
Hari senin aku mulai kembali bekerja. Aku berangkat lebih pagi agar Aldrich tidak menjemputku, dan pulang lebih cepat. Cowok itu berusaha mendekatiku setiap hari, tapi aku tetap menghindar.
Saat jam makan siang tanpa sengaja aku bertemu Santi, si judes lantai 4. Entah mengapa wajahnya hari itu sangat ramah padaku. Dia mengajakku bicara saat aku duduk di kantin belakang kantor.
"Hai Ta, udah sehat?" Sapanya.
"Hi... udah. Thanks." Jawabku secukupnya.
"Ta, sory ya.. gw denger soal lo sama Aldrich."
"Hah? Darimana?" Aku terkejut. Masa iya Aldrich cerita.
"Caca sepupu gw Ta." Oh, pantes. "Dia cerita ke gw bahwa kemari tahun baru dia jalan sama cowo lo. Nah kemaren itu dia minta no hape lo."
"Buat apa?"
"Dia mau minta maaf sama lo. Tapi Aldrich ga kasih nomer lo."
Aku terdiam. Mau apa dia?
"Dia mau ketemu lo kalo bisa. Gimana Ta?"
"Gw rasa gw gak perlu ketemu dia. Gw gak ada urusan sama dia. Urusan gw sama cowok gw."
"Gapapa Ta. Gw cuma nyampein pesen. Gw cuma kasian sama lo. Salah juga sepupu gw pergi sama cowo lo. Gw juga gak mau di gituin." Santi tersenyum tulus membuatku merasa sedikit bersalah.
"Thanks ya San udah kasih tau gw." Gadis itu tersenyum dan berlalu dari hadapanku. Aku berpikir saat kembali ke kubikelku. Sudah hampir dua minggu aku mendiamkan Aldrich. Apakah cukup membuatnya menyadari kesalahannya? Dia masih suka menatapku dari jauh, tapi mulai berhenti menghampiriku. Hanya segitu saja usahanya? Aku sedikit kecewa, rasanya aku tidak ingin bertemu dengannya. Kalau saja kami tidak sekantor, maka akan mudah mengindar darinya. Aku susah mulai lelah, padahal perkerjaanku rasanya tidak seberapa, tapi hatiku sepeti bekerja rodi.
Cowok itu menatapku dibalik kubikelnya. Aku menunduk menghindari tatapannya seperti biasa. Saat pulang kerja Aldrich menungguku di mobilnya.
"Ta...." dia menghampiriku. "Aku anter ya Ta. Please...." matanya memohon.
Aku menghembuskan napasku. "Gak usah..."
"Ta, aku kangen kamu Ta. Aku lakuin apapun asal kamu gak marah lagi." Suaranya sarat permohonan membuatku sedikit tidak tega.
Aku diam saat cowok itu menuntunku masuk ke pintu sebelah supir. Aldrich segera berlari masuk dan langsung mengunci pintu. Mungkin dia takut aku berubah pikiran.
"Mau makan apa Ta? Aku beliin..."
"Gak usah. Aku cuma mau pulang..." aku tidak menatapnya. Aku terus melihat ke arah luar.
Aldrich menepikan mobilnya. Kemudian menarik satu tanganku. "Ta....Ta..." dia menarik tangan satu lagi membuatku menghadapnya.
Sudah berapa hari aku tidak melihat wajahnya, cowok itu kusut, ada kantong mata panda dan terlihat lelah.
"Ta, maafin aku. Aku nyesel. Aku gak akan ulangi lagi Ta. Aku gak akan sembarangan bonceng cewek lain di motorku selain kamu."
Aku menunduk, merasa lemah. Airmataku siap meluncur. Rasa sakitku masih ada, apalagi jika mengingat isi pesan dari cewek itu yang terpatri jelas di ingatanku. Membuat dadaku sakit.
Aldrich memelukku. Dadanya yang hangat, d**a yang kurindukan. Bau tubuhnya yang menbuatku tersiksa saat merindukannya selama beberapa hari ini, sekarang bisa aku rasakan lagi.
"Maaf Ta. Maafin aku..." cowok itu terus menerus mengucapkan kalimat itu sambil terus menciumi puncak kepalaku.
Aku terus menangis. Semua perasaan yang aku pendam beberapa hari ini langsung luruh saat dia memelukku. Ternyata perasaanku pada Aldrich sudah lebih besar. Aku mencintainya, sepenuh jiwaku.
^*^*^*^*^*^*^*^*^*^*^*^*^*^*^*^*^*^*
Aldrich mengantarku pulang. Tapi aku bilang padanya aku ingin tidur, kepalaku pening karena menangis. Dia hanya diam menatapku saat aku berjalan terus tanpa menoleh ke kamar.
Aku langsung merebahkan tubuhku. Ponselku berbunyi.
?Rangga
Ta.. udah makan malem? Gw mau beli nasgor nih.. mau? Nasgor kambing loh..
Aku tersenyum, aku dan Rangga menjadi lebih akrab sekarang. Dia cowok baik dan perhatian, semua orang senang berteman dengannya. Aku merasa Adeline beruntung memiliki cowok seperti Rangga.
Boleh Ga. sory ngerepotin ya...
Semoga saja nasgor kambing bisa membuat suasana hatiku membaik. Aku terkejut saat lima menit kemudian Rangga meneleponku.
"Ta, gw diluar gang..."
"Hah?"
Aku mengganti kemeja dengan kaos, lalu berjalan keluar. Aku kaget saat melihat mobilnya ada disana. "Katanya beli nasi?"
Dia tertawa. " kan gw bilang mau beli. Ayok.. makan disana lebih enak..."
Aku langsung masuk, Rangga melajukan mobilnya. Saat kami tiba tempat makan masih ramai. Kamu duduk disudut, tidak lama makanan kami tiba.
"Ta, udah baekan sama Aldrich?"
Aku menyipitkan mataku menatapnya. "Kenapa lo tanya?"
"Aldrich sebenernya baek kok Ta. Cuma dia tuh suka gak enakan gitu. Gw juga nanya kenapa kemaren bisa sama Caca. Dia bilang gak enak Caca udah ada dirumah Tania. Jadi dia gak bisa nolak. Aldrich setia sama lo kok Ta"
"Dibayar berapa lo sama Aldrich biar ngomong yang baek-baek soal dia?"
Cowok itu tertawa. "Kagak lah, gw bukan belain dia Ta. Cuma gw kasih tau lo aja. Gw kan tau Aldrich. Kita juga udah mulai deket. Ya gw pengen kalian adem-adem aja. Soalnya pengaruh juga ke kerjaan kantor kan."
"Oooh, itu tujuannya. Baik bos!"
Kami tertawa bersama. Rangga memang bisa membuat suasana jadi menyenangkan. Pembawaanya yang dewasa membuatku nyaman.
"Thanks ya Ga. Udah ajak gw makan. Gw ngerasa lebih baik.."
"Good deh..."
Kami meneruskan makan malam kami. Semoga saja apa yang Rangga katakan tentang Aldrich itu benar, dia setia kepadaku.
Aku menatap cowok didepanku. Rangga, coba kalau kenal kamu lebih dulu, pasti aku suka sama kamu bukan Aldrich... haha
*_*_*_*_*_*_*_*_*CUT*_*_*_*_*_*_*_*_*