2. Kedua

1114 Words
Di dalam kamar ruang tamu, aku terdiam. Berpikir harus bagaimana. Tidak punya keluarga, tidak punya pekerjaan dan tidak punya tujuan. Ditambah aku akan memiliki bayi. Aku tidak tahu harus berbuat apa, setidaknya, Wikra harus memberiku waktu kalau akan mengusirku dari sini. Aku mengembuskan napas berat. Sungguh aku tidak menangis, malah Neli--pelayan pribadi ku yang menangis tersedu-sedu. Aku berusaha menenangkan Neli. Dia adalah pelayan yang paling dekat denganku. Tulus dan melayani dengan sepenuh hati. "Nyonya jangan pergi," ucap Neli dengan sesenggukan. Bahunya sampai bergetar. "Kalau kamu nangis terus kayak gini, aku bisa sedih loh." Mungkin karena sudah banyak melewati hal menyedihkan, air mataku sekarang tidak gampang menentes. Padahal seharusnya aku memberikan reaksi sedih atau marah ketika Wikra membawa wanita lain lalu diceraikan sepihak. "Mana bisa saya tidak nangis dan khawatir," kata Neli. Wanita sebatang kara yang diusir suaminya, aku harus ke mana? Bukan hanya Neli, tapi aku juga mengkhawatirkan diri sendiri. Tidak punya tempat tujuan. Semua orang pasti menganggapku menyedihkan. "Kamu nggak usah khawatir, aku kuat dan bisa jaga diri. Sekarang kamu tidur aja biar besok bisa bantu aku berkemas." Mungkin semua orang bertanya bagaimana bisa aku sekuat ini, dari dulu aku tidak pernah menunjukkan kesedihan termasuk ketika kedua orangku meninggal. "Kalau begitu saya permisi dulu, Nyonya juga harus istirahat." Aku mengangguk dan mempersilahkan dia pergi. Baru ketika pintu ditutup aku merasakan kesedihan luar biasa. Hatiku sakit. Perjuangan mendapatkan cinta Wikra tidak membuahkan hasil. Sebenarnya aku masih bisa mendapatkan kesempatan andai mengadu ke ibunya, anakku pantas diperjuangkan, dia butuh kasih sayang ayahnya. Aku berdiri. Kembali ke kamar utama yang sebelumnya ditempati aku dan Wikra. Meskipun ini tidak tahu malu, jika ada satu saja kemungkinan, aku ingin mengambil kesempatan terakhir. Tanganku bergetar ketika mengetuk, tak lama kemudian Wikra keluar tanpa mengancingkan baju, terlihat di ranjang Yumna tak berpakaian. . Aku meneguk ludah, perlahan menatapnya. "Ada apa?" Pertanyaan tidak ramah dari Wikra karena aku sudah menganggu malam pertamanya dengan Yumna. Aku ingin mundur supaya masih memiliki harga diri. Hanya saja aku takut menyesal jika tidak mencoba. "Selama kita menikah, apakah ada sedikit aja rasa cinta buat aku?" Kalau ada, sekecil apapun itu berarti masih ada kesempatan. Aku mohon. Demi anak ini, demi rasa cinta untuknya yang tidak akan mudah sirna. Aku masih ingin bertahan, akan aku lakukan apapun asal ada sedikit saja rasa cinta untukku. "Aku tidak pernah mencintaimu dan selamanya tidak akan pernah mencintaimu. Jangan mengangguku dengan pertanyaan konyol seperti itu lagi. Pergi sana." Dari ranjang Yumna menyeringai, terlihat puas dengan jawaban Wikra. Brak! Wikra menutup pintu dengan keras hingga membuatku berjingkat. Aku menelan ludah. Kalimat Wikra harus aku ingat dan tanamkan dalam hati. Selamanya dia tidak akan jatuh cinta seberapapun usaha yang aku lakukan. Walaupun aku masih bisa mempertahankan rumah tangga ini dengan mengadu ke Mamanya Wikra kalau aku hamil, tapi buat apa? Wikra hanya akan semakin membenciku. Dibenci Wikra rasanya sakit, apalagi kalau sampai anakku nanti diperlakukan buruk oleh Wikra. Aku berbalik, langkahku sangat lemas menuju kamar tamu, bisikan para pelayan yang melihat betapa menyedihkannya aku tidak kupedulikan. Sesampainya di kamar tamu, aku terduduk lemas di balik pintu. Memegang perut dan menekuk lutut, menenggelamkan wajahku di antaranya. Air mata menetes perlahan, yang membuatku menangis bukan diceraikan ataupun ketika Wikra membawa wanita lain, tetapi kenyataan bahwa Wikra tidak pernah mencintaiku sedikitpun. Segalanya telah kulakukan untuk mendapatkan hatinya, berharap suatu hari nanti dia akan mencintaiku. Naif sekali. Hari ini adalah batasku dalam berusaha. Tuhan memberitahu untuk menyerah ketika Wikra menjawab pertanyaanku. Keesokan harinya aku berkemas meskipun tidak tahu harus ke mana. Kembali ke kontrakan dulu atau menumpang di rumah teman. Satu hal yang pasti, aku harus menyembunyikan kehamilan supaya anak ini tidak diminta keluarga Wikra. Anak ini adalah harta satu-satunya yang aku miliki. Tanpanya aku tidak memiliki alasan hidup di dunia ini lagi. Aku sarapan sebelum pergi, mengisi tenaga dan merasakan menjadi Nyonya Wikra sebelum semuanya berlalu. Yumna dan Wikra datang, duduk berhadapan denganku, mereka bermesraan seolah aku tidak terlihat. "Yifei, kau anak yatim 'kan?" tanya Yumna padaku. Roti diletakkan, aku mengambil s**u. Sedikit mual. Tidak bisa makan banyak karena kehamilan ini. Kepalaku mengangguk. "Iya, Mbak." "Terus kamu mau pergi ke mana? Nggak mungkin kan kamu pulang ke keluarganya Wikra?" tanya Yumna lagi. Wikra melirikku, tatapannya sangat tidak suka. Kepalaku kembali menggeleng. "Nggak, nanti aku cari kontrakan." Perutku semakin mual, aku harus menahannya supaya Wikra tidak curiga. "Pergilah yang jauh sampai kita nggak akan bertemu lagi," ucap Wikra sinis. Aku tidak tahu apa alasannya sangat membenciku, padahal aku tidak berniat pergi jauh-jauh. Tempat kelahiran ku di sini, aku tidak punya kerabat, memangnya aku bisa pergi sejauh apa. "Doain aja aku dapat tempat yang jauh," balasku ke Wikra. "Sayang aaa..." Yumna ini disuapi. Wikra segera memotongkan roti, menyuapi Yumna dengan mesra, aku tidak iri, hanya saja ingin diperhatikan seperti itu juga oleh ayah dari anakku. Mungkin ini ngidam. "Aku sudah mengirim uang ke rekeningmu dalam jumlah besar, jangan pernah datang ke keluargaku untuk minta uang. Kau bukan pengemis, 'kan?" Aku anggap itu hongpao dari Wikra untuk anaknya, meskipun kami muslim tetapi adat keluargaku masih sering aku pakai terutama ketika Imlek. Aku tidak akan menolak dengan alasan harga diri, karena uang itu adalah haknya anak kami. "Terima kasih karena selama ini sudah menjagaku, semoga kamu bahagia dengan pilihanmu, aku hanya bisa mendoakan yang terbaik untukmu. Nggak bisa bales kebaikanmu dan keluarga." Aku memberikan senyum terakhir untuknya, menutupi betapa hatiku terluka karena kehilangannya. Wajahnya yang tegas tak merespon sama sekali. "Jangan ngadu aneh-aneh ke Mama," kata Wikra, selesai menyuapi Yumna. Dia makan sendiri memakai sendok yang sama. "Aku belum dapat tempat tinggal, kalau boleh izinkan aku tinggal beberapa hari lagi di sini, kalau udah dapat kos-kosan, aku janji bakal langsung pergi." "Nggak boleh, kamu pasti cuma cari-cari alasan biar nggak pergi kan?" Tuduh Wikra. Kepalaku langsung menggeleng, aku sungguh tidak punya niatan seperti itu, aku sudah tahu diri bahwa harus mundur. "Aku nggak nyaman kalau kamu ada di sini," keluh Yumna. "Kau dengar itu?" tanya Wikra. Kepalaku mengangguk, mendesah berat. "Baiklah aku akan pergi sekarang." "Cepat pergi sana." Aku berdiri, mengambil koper dari kamar, tidak ada tempat tujuan dan harus pergi sekarang. Wikra dan Yumna hanya melihatku. Tak ada salah perpisahan. Aku menarik koper keluar rumah, tidak banyak yang aku bawa. Hanya baju sehari-hari sebelum aku masuk ke rumah ini. Semua pelayan menunduk hormat ketika aku sampai halaman. Ada jalan kecil menuju gerbang, aku berdiri sejenak, mengeluarkan ponsel untuk memesan taksi. Sebelum benar-benar keluar, aku berhenti. Menoleh ke belakang. Melihat rumah mewah bercat putih itu untuk terakhir kalinya. "Mulai hari ini aku bakal tinggal di sini sama suamiku," ucapku beberapa bulan yang lalu, sangat bahagia dan memimpin kehidupan pernikahan yang harmonis bersama Wikra. Aku mengembuskan napas berat lalu berjalan kembali, pergi meninggalkan Wikra dan juga harapan untuk terus bersamanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD