3. Pilihan

1051 Words
Aku menunggu taksi di luar gerbang, gerimis datang, aku menarik koper ke pos satpam, mereka menyuruhku masuk, tapi aku menolak, sebentar lagi taksi akan datang. Aku mengusap perut, takut anakku kedinginan, langit mendung dan udara begitu dingin. Aku merekatkan tubuh, aku harus tetap sehat supaya bisa melahirkan bayi ini. Sekali lagi aku menoleh ke belakang, di sana ada ayah janin ini sedang bermesraan dengan istri barunya, tadi malam aku sudah menandatangani surat cerai, aku letakkan di meja kerjanya. Mobil taksi berhenti tepat di depanku, supirnya turun, membawakan koperku ke bagasi belakang. "Masuk saja, Nyonya." Pintanya. Aku menghalangi hujan dengan tanganku, masuk ke dalam taksi, mengelap air yang membasahi baju, seharusnya aku tadi memakai jaket, bukan baju biasa yang dingin seperti ini. "Nyonya mau ke mana?" tanya supir taksi saat masuk mobil, langsung mengenakan sabuk pengaman. Aku diam sejenak, bingung harus ke mana, tidak ada tujuan. "Jalan dulu aja, Pak." "Baik," jawab supir taksi. Mulai pergi menjauh dari sana. Dalam hati kecil aku masih berharap Wikra mencegah ku, mungkin sedikit saja rasa belas kasihan kepada anak yatim piatu ini. Sekali lagi aku mengelus perut, merasa bersalah pada anakku yang sejak dalam kandungan tidak mendapat kasih sayang ayahnya. "Maafin Mama yang nggak bisa membuat Papa mencintai kita," gumanku. Aku mengusap wajah, sungguh tak tahu harus ke mana. Beberapa kali Pak supir melirik dari kaca. Menunggu keputusanku. "Jadi ini mau ke mana, Nyonya?" tanya supir taksi lagi. Kami sudah berputar-putar cukup lama. "Kita--" Tiba-tiba telepon dari Ezharion, sahabatku yang merupakan artis terkenal. "Fei, kamu di mana?" tanyanya, nadanya khawatir. "Aku lagi di jalan," jawabku lirih. "Mau ke mana?" Aku diam, tidak tahu harus jawab apa. "Aku dengar kamu diusir Wikra, apa kamu ada tempat tujuan?" "Aku nggak ada tempat tujuan," jawabku sembari menunduk. "Kamu diam di situ, biar aku jemput." "Baiklah," kataku. Telepon dimatikan, aku minta berhenti di pinggir jalan. Menunggu Ezhar datang sembari memegang perut, kepalaku pusing. Usia kandungan ini sebentar lagi memasuki 4 bulan. Sangat telat dalam mengetahui usia kandungan, berarti aku hamil saat usia pernikahan baru 3 bulan. Saat itu Wikra masih sangat membenciku dan sikapnya kasar. Beruntung anak ini tidak kenapa-napa. Aku menduga anak ini perempuan karena begitu tenang, aku tidak mengalami gejala ibu hamil. Hanya porsi makanku lebih banyak hingga lebih gemuk. Aku pikir perutku sedikit buncit karena kebanyakan makan, ternyata ada anak Wikra di dalam sini. Bibirku tersenyum. Membayangkan hidup bahagia bersama anak yang mirip Wikra, sepertinya itu luar biasa. Kalau aku bisa melewati ini, aku yakin bisa hidup bahagia bersama anakku. Tak lama kemudian sebuah mobil menghampiriku, seorang pria jangkung memakai masker keluar mobil. Melihat kanan dan kiri takut ada yang mengenali. Geremis telah berhenti. "Ez, apa kamu nggak sibuk?" tanyaku. Akhir-akhir ini dia sibuk sekali sampai kita jarang bertemu. "Aku sibuk banget sampai batalin semua jadwal buat jemput kamu, cepet masuk." Ezharion mengambil koperku, memasukan ke bagasi. Aku segera masuk di jok depan. Memakai sabuk pengaman dengan cepat. "Aku bakal ngasih pelajaran ke Wikra, aku akan menghajarnya sampai dia nggak bisa jalan lagi!" Aku memegang tangan Ezharion yang berada di stir, menghentikan dia putar balik ke rumah Wikra. Kepalaku menggeleng. "Dia udah nikah sama Yumna, aku bisa apa? Dunia emang kayak gini, nggak selalu mulus. Kamu nggak usah marah, aku udah ikhlas kok." "Dari dulu kamu emang gila, Fei! Bisa-bisa kamu santai saat suamimu direbut w************n?!" "Mau dia sama siapapun aku nggak peduli, yang aku peduliin apakah dia cinta sama aku atau nggak. Dia bilang nggak bakal jatuh cinta sama aku sekalipun ada anak. Berarti aku harus nyerah, 'kan?" Ezharion diam sejenak, kepalanya menoleh sepenuhnya. Melihatku dengan kening berkerut. "Kamu hamil dan Wikra tetap ceraikan kamu?" Aku mengembuskan napas berat sebelum menjawab pertanyaannya. "Wikra nggak tahu aku hamil." "Kenapa nggak ngasih tau?" "Aku udah tanya, apa kalau aku hamil dia bakal berubah pikiran? Jawabannya nggak. Malah anakku mau diambil." "Benar-benar gila! Orang kayak dia harus dikasih pelajaran!" "Udahlah, Ez. Aku lelah dan laper lagi. Aku udah nyerah sama dia, nggak mau berhubungan lagi." "Kalau gitu, apa kamu ada rencana mau tinggal di mana?" "Wikra ngasih uang, cukup buat aku hidup berdua sama anakku. Aku pingin nyari tempat yang jauh dari Jakarta dan hidup tenang." Ezhar diam sejenak. Terlihat berpikir. "Aku punya Bude di Lampung Timur, pesisir pantai, tempatnya tenang dan nyaman. Apa kamu mau ke sana? Biar sekalian budeku yang ngurus persalinanmu." Aku mengangguk, senang memiliki sahabat seperti Ezhar yang selalu bisa diandalkan. Kami menuju restoran sebelum mengantar aku ke bandara. Selamat tinggal Jakarta, selamat tinggal Wikra. Aku merasa bersalah karena belum pamitan dengan ibunya Wikra. Nanti aku akan mengirim pesan sebelum berangkat. "Setelah turun dari pesawat, bakal ada orang yang jemput kamu." "Iya, aku ngerti. Makasih banyak ya udah bantuin aku." "Kalau ada apa-apa kamu harus hubungin aku." "He.em. Oh iya, kalau Wikra tanyain aku ada di mana, tolong jangan kasih tahu." Mendengar itu Ezhar terdiam. Hubungan mereka tidak baik. Ezhar adalah orang yang menentang pernikahanku dengan Wikra. Katanya pria sombong itu tidak cocok denganku. Tetapi aku bersikeras untuk tetap menerima perjodohan. Mereka juga sering bertengkar karena Wikra tidak memperlakukanku dengan baik. "Tapi kayaknya Wikra nggak mungkin nanyain aku. Kalau gitu aku pergi dulu, sempai ketemu lagi, Ez." Aku melambaikan tangan, menuju gate penerbangan domestik. "Lebaran nanti aku bakal ngunjungin kamu," katanya sedikit berteriak. "Aku tunggu, jangan lupa bawa oleh-oleh." Aku pergi, meninggalkan masa lalu tanpa niat kembali lagi. Berharap memiliki kehidupan baru yang menyenangkan bersama anakku. Tanpa berharap bersama Wikra ataupun bergantung pada keluarganya lagi. Lagi pula sebelum menikah aku memiliki pekerjaan, yakni menerjamahkan buku bahasa Mandarin. Juga uang yang diberikan Wikra lebih dari cukup untuk membiayai sekolah anak kami hingga perguruan tinggi. Tadinya aku pikir semuanya berjalan lancar, meskipun Ahin sempat dituduh sebagai anak haramnya Ezharion. Kami berhasil mengelak setelah Ezhar membawa surat cerai Wikra dan aku. Status Ahin pun jelas di mata masyarakat, kami tidak memedulikan omongan miring lagi dan hidup tenang. Melihat Ahin tumbuh besar dan mirip Wikra membuatku sangat bahagia. Kupikir kebahagiaan itu abadi. Ternyata Tuhan membuatku harus berpikir lebih awal tentang perpisahan. Pertanyaannya, kalau aku mati, siapa yang merawat Ahin? Budenya Ezhar sudah tua. Tidak akan sanggup. Sementara Ezhar masih lajang, aku tidak ingin dia kesulitan dengan istrinya di masa depan gara-gara Ahin. Aku terus berpikir hingga teringat kembali dengan kasih sayang ibunya Wikra. Keluarga Wikra pasti mau merawat cucunya, apalagi selama ini Ibunya Wikra sangat menyayangi ku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD