4. Keputusan

1023 Words
"Bunda, ni usak." Ahin menunjuk televisi yang tak berfungsi dengan baik. Gambarnya kabur dan suaranya tidak jelas. Bocah balita itu menggaruk wajahnya yang tadi malam terkena nyamuk, merah dan gatal. Matanya berkedip beberapa kali. Menunggu reaksiku. "Besok kita beli parabola baru," jawab Bude keluar dari kamar. "Itu TV udah lawas, parabolanya juga sering rusak." Wanita yang berusia 65 tahun itu menggelung rambutnya, hampir semua berwarna putih. Tubuhnya gemuk dan memakai daster batik. Beliau wangi sabun, pertanda habis mandi. Menatap ku yang tersenyum tipis di antara wajah pucat. "Cekalang! Ain au liat pongbob." Bocah kecil itu berlari merengek ke Bude, menggelayut di kakinya. Jam 6 sore memang jadwalnya Ahin melihat Spongebob di NEXT TV. Saluran TV milik ayahnya. Padahal ayah kandungnya kaya raya, pemilik stasiun televisi dan parabola, tapi anaknya malah kesulitan menonton TV hanya karena parabolanya sudah lawas belum diganti. "Ahin malam ini belajar lebih awal ya, kemarin kan Ahin udah pinter ngapal perabot rumah pake bahasa Mandarin. Hari ini Bunda mau liat Ahin bicara pakai bahasa mandarin." Sebenarnya aku ingin mendidik Ahin nanti, tapi anak itu terlalu cerdas dan selalu ingin tahu. Tak ada miripnya denganku sedikitpun. Mungkin kecerdasannya menurun dari ayahnya. "Lo Ain bisa, Om Es ulang?" Bocah berusia 3,5 tahun itu sangat menyukai Ezhar. Menganggap bahwa Ezharion adalah ayahnya. Sejak Ahin lahir, Ezhar memang sering berkunjung. Katanya kasihan kalau Ahin tidak merasakan kasih sayang ayah. Namun, aku tidak suka Ahin menganggap Ezhar sebagai ayah, itu akan membebani Ezhar. Dia masih muda, tidak perlu pura-pura menjadi ayah dari anakku. "Om Ez sibuk, nanti kita yang ke Jakarta ngunjungin Om Ez sambil liat Monas, Ahin mau 'kan?" Kepala kecilnya mengangguk, bibirnya tersenyum lebar. "Ain mau." Wajahnya sangat mirip Wikra ketika tersenyum, pipinya merah alami dan matanya seperti garis. Kecerdasannya juga mirip Wikra. Di usianya ini Ahin sudah bisa membaca huruf, aku bahkan memberikan belajar tambahan bahasa Mandarin karena dia terlalu cepat belajar. Pernah suatu hari dia melihat tetangga membuat layangan, Ahin hanya mengamatinya beberapa kali lalu meminta sisa bambu yang tidak terpakai. Di rumah bambu itu dibuat layangan sendiri hingga tangan kecilnya berdarah. Hasilnya memang bagus dan sampai membuat kami semua tercengang. Hanya saja aku marah melihatnya terluka. Aku harus extra membimbingnya, sadar bahwa dia lebih cerdas dari anak seusianya. Rasa ingin tahunya besar, terkadang bisa membuat dia sendiri terluka. Ahin adalah hartaku satu-satunya dan alasanku bertahan hidup sampai detik ini. Semangatku untuk sembuh setelah divonis kanker tak lain hanya karena Ahin. "Apa kamu mau ke Jakarta?" tanya Bude setelah Ahin pergi. Aku melihat punggung kecil itu goyah ke kiri dan kanan karena bahagia, ia belum pernah ke Jakarta dan hanya diceritakan oleh Ez bahwa Monas itu tinggi dan besar. Anak kecil yang memiliki rasa ingin tahu besar sangat menyukai cerita-cerita dari Ezhar, pasalnya Ezhar adalah penyanyi sekaligus aktor papan atas. Sering keliling dunia dan memberikan banyak cerita untuk Ahin. "Aku udah mikir semalaman, Ahin akan aku titipkan ke neneknya. Beliau orang yang hangat dan pasti bisa menyayangi Ahin." Orang tua Wikra sangat baik, selalu memperlakukan ku dengan penuh kasih, aku percaya mereka pasti bisa menerima Ahin sebagai cucu. Perlahan Bude mengambil tanganku, membuatku sedikit menunduk menatap matanya yang sayu. Paham apa yang ingin disampaikan. "Maafin Bude, kalau seumpama Bude masih muda. Pasti Bude bisa merawat Ahin." Bude sudah berusia senja, sudah seharusnya beliau istirahat tanpa mengurus apapun. Apalagi Ahin yang masih kecil dan sangat aktif. Aku juga paham hal itu. Tidak ingin membebaninya. "Bude mau menampung kami di sini saja aku sudah sangat berterima kasih, emang sekarang waktunya Ahin ketemu sama ayahnya." Sejauh apapun aku memisahkan Ahin dengan Wikra, mereka tetap terikat hubungan darah yang kental, tidak bisa dipisahkan oleh jarak ataupun waktu. Apalagi Tuhan pasti sudah mengatur semua ini, tidak mungkin selamanya aku menyembunyikan keberadaan Ahin dari Wikra. Lambat laun anak itu juga pasti akan mencari tahu sendiri siapa ayah kandungnya. "Apa Ezhar tahu keputusanmu?" Aku menggeleng, Ez sedang berada di Eropa untuk syuting film. Bulan depan baru pulang. Dia berjanji membawaku berobat ke Amerika setelah pulang. Kupikir pengobatanku sudah sangat terlambat, kalau pun bisa maka kemungkinan mati malah lebih besar. Aku tidak ingin menyia-nyiakan waktu. Apalagi dokter bilang waktuku hanya sekitar 9 bulan lagi. Terlalu singkat untuk melihat Ahin tumbuh besar, aku ingin memberi kenangan indah pada anak itu sebelum pergi. Supaya yang dia ingat bukan ibu sakit-sakitan melain ibu yang selalu tersenyum hangat. "Ezhar pasti mau mengurus Ahin, dia tidak akan keberatan menjadi ayah untuk anakmu." Sekali lagi aku menggeleng, Ezharion baru berusia 25 tahun. Sekarang adalah puncak karirnya. Mana bisa aku merepotkan dia lebih dari ini. Dari kita SMP, aku tahu betul betapa dia ingin menggapai mimpi sebagai penyanyi. "Ahin berhak tahu keluarga ayahnya, dia juga berhak kenal ayahnya. Sebelum aku mati, aku ingin memberikan hak itu pada Ahin." Bude mengembuskan napas berat, wajahnya terlihat sedih. Beliau sudah aku anggap ibuku sendiri, membantuku dari saat hamil, melahirkan sampai membesarkan Ahin. Katanya Ahin mirip putranya yang sudah meninggal, makanya dia sangat menyayangi bocah itu. Hidupnya yang sunyi setelah suami dan anak meninggal menjadi lebih berwarna setelah kedatangan kami. "Pokoknya kalau bapak kandungnya Ahin masih sama wanita simpanannya, jangan mau serahin. Ketemu pun jangan dibolehin." Bude memberi peringatan. "Iya, aku tahu kok. Yumna nggak bakal bisa sayang sama Ahin. Tapi Wikra punya adik perempuan, kami sangat dekat. Aku harap Ahin bisa disayang Reina, jadi nggak perlu Ahin ikut ayah kandungnya." "Bukannya apa, Fei. Bude cuma takut Ahin disakiti ibu tirinya, apalagi kalau Wikra punya anak lain dari istri barunya. Ahin akan tersingkir. Kasihan, nggak tega bude bayanginya." Jangankan bude, aku saja tidak tega. Aku takut kehadiran Ahin membuat rumah tangga Wikra dan Yumna terganggu, lalu melampiaskannya ke Ahin. Kasihan sekali anakku yang tidak tahu apapun itu. Hal yang lebih aku takutkan adalah Ahin menuntut kasih sayang dari ayahnya, itu hal yang mustahil diwujudkan, pasalnya Wikra membenciku, bisa jadi dia juga membenci Ahin. "Kalau seumpama Ahin tidak betah dan merasa tertekan di keluarga ayahnya, aku akan minta Ezhar untuk mengambil Ahin kembali. Gimanapun sebenarnya aku lebih percaya sama Ezhar." "Iya, kamu benar. Gimanapun Ezhar lebih bertanggung jawab dari pada ayah kandungnya Ahin. Dia bisa menjaga Ahin." Aku mengangguk, keputusan sudah final. Aku akan segera menyiapkan keberangkatan kami ke Jakarta secepatnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD