5. Menata Ulang

1013 Words
Ahin semangat belajar setelah kubilang akan ke Jakarta, dia sudah pandai membaca hingga membuat para tetangga heran. Pasalnya anak biasa bisa membaca di usia 5 - 7 tahun. Namun Ahin belum genap 4 tahun sudah lancar. Orang-orang menjuluki Ahin sebagai anak jenius. Saat hamil aku tidak tahu akan melahirkan anak genius, Ahin lahir dengan berat 3,1 kg di usia kandungan 9 bulan, sangat normal. Bude juga tidak perlu membawaku ke rumah sakit, cukup lahiran di bidan setempat. Mendengar aku melahirkan, Ezhar langsung datang dari Singapura, membatalkan semua jadwal manggungnya, dia sangat senang seolah Ahin adalah anak kandungnya sendiri. "Wo you sui ciao," kata Ahin membaca sembari menunjukkan tulisannya padaku. "Ahin, you sui ciao?" "Shi," jawabnya. Aku melihat jam dinding, memang waktunya Ahin tidur. Aku juga banyak pekerjaan. Bocah itu menguap, ia menutup buku belajarnya dan menumpuk dengan buku yang lain. Hal yang selalu aku ajarkan padanya adalah membereskan barang-barangnya sendiri, mainan dan buku belajar. "Ayo tidur," kataku sembari mengulurkan tangan. Dia menyambutnya dengan mata mengantuk. Aku menggendong Ahin menuju ranjang, membaringkan dan menyelimuti, bocah itu terlihat sangat nyaman meskipun hanya memiliki ibu tanpa Ayah. "Dongeng," ucap Ahin. "Ahin mau denger dongeng apa?" tanyaku, hendak memberikan dongeng seperti biasanya. "Ain mau kancil." Aku mengambil buku dongeng di nakas, membalik halaman, dari Ahin masih di kandungan sampai sebesar ini, cerita kancil sudah aku bacakan ratusan kali. Tapi dia tetap tidak pernah bosan. Malam itu aku membacakan dongeng kancil untuk Ahin sembari berpikir, siapakah yang akan membacakan dongeng untuk putraku setelah aku tiada? Apakah dia bisa tidur nyenyak seperti sekarang tanpaku? Aku takut Yumna memperlakukan Ahin dengan buruk, bagaimana jika Ahin tidak akur dengan anak Wikra yang lain? Apakah aku bisa berpesan kepada Tante Zara supaya Ahin tidak tinggal serumah dengan ayahnya? Apakah boleh begitu? Pasti Ahin sedih jika dia terlihat berbeda dengan anak Wikra yang lain. Hal yang paling aku takutkan adalah Wikra menyakiti Ahin, sama seperti dia tidak mengakuiku sebagai istri pada rekan kerjanya, aku takut Wikra tidak mengakui Ahin sebagai anaknya. Aku bisa menanggung semua luka yang Wikra berikan, tapi Ahin terlalu kecil untuk terluka. Apakah lebih baik aku percayakan Ahin pada Ezhar? Tidak, itu terlalu egois. Mana ada wanita yang mau menikah dengan Ezhar dan mengurus Ahin. Endingnya Ezhar akan memiliki anak sendiri dan ntah istrinya mau mengurus Ahin atau tidak. "Bunda nggak takut mati, tapi bunda takut meninggalkanmu sendiri." Aku mengecup keningnya. Almarhum orang tuaku sudah memanggilku, merindukan untuk segera berkumpul kembali. Aku tidak masalah mati. Tapi aku tidak rela meninggalkan Ahin sendirian di dunia ini. Tanpaku, dia sama siapa? Aku takut Ahin terlantar. Aku takut Ahin menderita. Tiba-tiba hidungku mimisan, aku segera mengelap mimisan dengan tissue. Lalu mengambil obat di dalam laci. Hanya pereda rasa sakit dan tidak menyembuhkan. "Tuhan, beri aku waktu sedikit lagi untuk menitipkan Ahin, supaya aku bisa pergi ke sisimu dengan tenang." Sekali lagi aku memandang wajah Ahin yang tertidur pulas, dialah cintaku dan hidupku. Satu-satu hal yang aku khawatirkan sebelum meninggalkan dunia ini. Berulang kali aku ingin minta maaf padanya karena tidak bisa mendampingi lebih lama. Dia akan kehilangan banyak momen bersama ibunya. Pasti dia akan tumbuh dengan rasa iri ketika melihat anak lain diantar ibunya ke sekolah. Aku sungguh menyesal dan minta maaf. Namun, aku sudah berusaha semaksimal mungkin untuk sembuh, aku juga ingin hidup lebih lama untuk Ahin. Aku ingin mendampinginya sampai dewasa. Tapi Tuhan berkehendak lain atas hidup kami. Aku kembali ke meja kerja, masih harus menyelesaikan pekerjaan sebelum ke Jakarta. Ada buku bahasa Mandarin yang harus diterjemahkan. Penerbit meminta selesai akhir bulan ini. Setelah itu kami bisa berangkat ke Jakarta tanpa beban pekerjaan. Duduk di meja kerja selama dua jam membuatku pegal, aku membuka laci, di sana ada ponsel lama. Kartunya sudah mati tapi masih terdapat nomor keluarga Wikra. Aku takut goyah kalau mendapatkan bujukan mereka, Tante Zara, Om Firman dan Reina. Mereka orang-orang baik yang menyayangiku. Maka dari itu aku memilih mematikan ponsel lama. Ponsel tua itu hidupkan, mengambil nomor Tante Zara. Aku mengirim pesan ke Tante Zara. Menanyakan kabar dan menunggu beberapa saat. Belum ada balasan. 4 tahun berlalu, apa saja yang sudah terjadi? Aku membasahi bibir. Jantungku berdebar kencang. Pasti mereka semua marah karena tindakanku yang tiba-tiba menghilang, apapun kemarahan mereka akan aku terima. Aku memang salah dan pantas dihukum. Bisa dibilang aku adalah orang yang tidak tahu terimavkasih. Ponselku tiba-tiba berdering, membuatku terkejut dan Ahin hampir bangun. Aku segera mengambil ponsel tersebut dan pergi keluar. Di halaman rumah aku melihat nama yang tertera. "Yifei! Apa kamu baik-baik saja?" tanya Tante Zara sedikit berteriak. Padahal tadi aku yang bertanya duluan tentang kabarnya, tetapi dia langsung menelepon dan bertanya balik. Nada suaranya sangat mengkhawatirkan ku. "Aku baik-baik saja Tante, kalau Tante sendiri gimana?" "Tante hampir mati karena merindukanmu, si bodoh Wikra membuatmu pergi. Selama ini kamu pasti sangat menderita." Tante Zara masih sama seperti dulu, lebih mengkhawatirkanku dari pada Wikra, anaknya sendiri. "Aku beneran nggak papa, Tante. Itu udah masa lalu. Oh ya gimana kabar Om sama Reina?" tanyaku mengalihkan pembicaraan dari Wikra. Ntah kenapa aku tidak ingin mendengar kabar dari mantan suamiku itu. Terlalu menyakitkan kalau diingat. "Mereka juga mencemaskanmu, sekarang kamu di mana?" tanya Tante Zara, beliau tidak marah sama sekali padaku. "Aku di Lampung, akhir bulan nanti boleh nggak aku mampir ke rumah? Ada yang mau aku bicarain." Menghubungi Tante Zara memang lebih baik dari pada menghubungi Wikra. "Kirim alamatmu, biar kami jemput kamu sekarang." Ah, keluarga Tante Zara masih sama. Mereka juga langsung datang ketika mendengar kabar bahwa orang tuaku meninggal. Mereka adalah orang pertama yang khawatir padaku. "Nggak usah, Tante. Aku masih ada kerjaan di sini. Nanti aku aja yang ke sana." "Baiklah kalau gitu, pokoknya jangan hilang kontak lagi. Hubungi Tante tiap hari, ngerti?" "Iya, Tante aku ngerti. Makasih banyak ya?" "Tante sudah kayak Mama kamu, jangan pernah sungkan. Pulanglah kapan aja, pintu rumah bakal selalu terbuka lebar untuk kamu." Walaupun sudah memiliki menantu baru, Tante Zara tetap memperlakukanku dengan baik. Aku sadar bahwa kasih sayangnya begitu tulus. Bagaimana bisa aku menceritakan penyakitku nanti? Pasti beliau sangat sedih jika tahu hidupku tidak lama lagi. Sungguh, aku sulit membayangkannya. Aku takut menyakiti hati mereka.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD