bc

I'm Anything But Interested in You

book_age18+
311
FOLLOW
1.6K
READ
family
sensitive
independent
confident
dare to love and hate
heir/heiress
drama
twisted
royal
enimies to lovers
like
intro-logo
Blurb

Sydney mencintai tunangannya, Sebastian Kainer. She always do and always will be. Sydney selalu mencintai pria itu—tanpa syarat.

Sydney hanya tidak tahu, bahwa tindakannya itu membawa Bash—tunangannya, semakin menjauh darinya. Semakin Sydney mencintai Bash, semakin dia mengikatnya, Bash semakin tidak bisa dijangkaunya.

Hingga Louis Basset—seorang bangsawan Inggris, bertemu dengannya dan memintanya untuk menyelamatkan diri dari sepupunya yang akan membunuhnya.

“Sorry, My Lord, but I’m anything but interested in you.”

“But, I burn for you, Sydney.”

chap-preview
Free preview
Bagian 1
“Sydney, di mana dia?” “Sebentar lagi dia datang, Mama. Bisa acaranya sedikit terlambat untuk menunggu dia? Aku sudah berjanji untuk menunggunya.” Tavie tersenyum pada anaknya dan mengusap pipi kanan Sydney seolah anaknya yang kini berusia dua puluh lima tahun itu, masih seorang remaja. “Fine. But, this is your night, yang seharusnya mengatur kapan dimulainya acara adalah kamu, bukan tunanganmu.” Sydney mengangguk mengerti. “Tapi aku sudah berjanji padanya, Mama.” Sydney tidak tega jika harus memulai acaranya tanpa Bash—tunangannya. Tavie mengendikkan kedua bahunya. “Mama mengerti. Mama dan yang lain akan menunggu di bawah, okay?” Hari ini adalah ulangtahun Sydney yang kedua puluh lima. Awalnya dia hanya ingin merayakannya dengan kedua orangtuanya dan juga dengan Sebastian, namun Tavie—Ibunya, menginginkan pesta untuk Sydney. “Sydney, sepertinya para tamu sudah mulai bosan.” Taviella, Ibunya, kembali menemuinya di kamarnya. Sydney menghela napas. Dia mengambil ponselnya dan men-dial nomor Bash. “Halo?” “Bash, di mana kamu?” Terdengar helaan napas dari seberang sana. “Celeste terus menangis, Sydney. Dia tidak mau diajak kemana-mana. Mungkin kamu bisa—” “Apa kamu ingin aku ke sana?” Tavie yang mendengar ucapan anaknya, mengeryitkan dahinya. Kemana? Tavie bertanya tanpa suara, yang dijawab gelengan pelan oleh Tavie. “Apa? Bukankah acaranya sudah dimulai?” Sydney melirik Ibunya. Dia menengguk ludahnya, tanda dia gerogi. “Hm...aku bisa...menundanya, Bash.” Tavie melotot. What? Dia tidak percaya dengan apa yang dikatakan anaknya. “Jika kamu tidak keberatan, Sydney, Celeste hanya bisa diam jika bertemu dengan kamu.” Nada suara Bash terdengar memohon. Sydney menganggu—walaupun Bash tidak bisa melihatnya. “Aku akan segera ke sana.” Sydney menutup teleponnya. Dia bergegas mengambil tasnya. “Kamu akan kemana, Sydney? Acaranya akan mulai sebentar lagi,” ujar Ibunya menahan tangan Sydney. Kali ini Tavie sudah hampir kehilangan kesabarannya. “Celeste menangis dan Bash kesulitan menenangkannya. Mungkin jika aku pergi ke sana, Celeste bisa diajak kemari, Mama.” Tavie menghela napas. “Lalu, siapa yang akan menghadapi tamu-tamu itu?” Sydney mengendikkan kedua bahunya. “Kanaya? Anneliese? Banyak sepupu aku yang bisa diandalkan, Mama,” ujar Sydney. Dia mengecup pipi Ibunya. “Sampai jumpa, Mama.” Tavie tidak membiarkan Sydney pergi begitu saja. “Dia sudah lebih dari tiga tahun mengasuh anaknya sendiri, dan ketika kamu datang, dia menjadi tidak bisa menangani anaknya begitu saja?” Sydney terdiam. Ucapan Ibunya sangat menohok hatinya, walaupun sebenarnya bukan ditujukan untuknya. Sydney menarik napas dalam-dalam dan masih sempat melemparkan senyuman pada Tavie. “Bye, Mama.” *** Sydney tidak perlu lagi menekan tombol apartemen Sebastian karena dia sudah terlampau sering berkunjung ke sini, terlalu sering hingga tertangga apartemen Bash mengira mereka sudah berkeluarga. “Bash?” Sydney mencari tunangannya itu. “Sydney,” ucap Bash. Pria itu baru saja keluar dari kamar Celeste, dengan wajahnya yang kusut. “Di mana Celeste?” Bash menghela napas. “Dia rewel, terus menangis dan memanggil kamu.” Sydney menghela napas, dan dia melemparkan senyumannya pada Bash. “Aku saja,” ujarnya dan mengusap pelan pipi Bash. Sydney masuk ke kamar anaknya—maksudnya, anak Bash—dan mendapati Celesta sedang membaringkan tubuhnya. Badan Celeste membelakanginya sehingga anak itu tidak mengetahui kedatangannya. “Celeste?” “Hm?” Anak berusia lima tahun itu membalikkan badannya dengan gesit ketika mendengar suara Sydney. Kedua alisnya terangkat dengan antusias. “Mama!” Celeste segera turun dari ranjang dan menghampiri Sydney dengan berlari. “Mama,” ucapnya lagi ketika berada di pelukan Sydney. Anak itu memeluk Sydney dengan sangat erat, seolah takut Sydney pergi jika dia tidak memeluknya. “Celeste, ada apa? Papa bilang kamu tidak ingin pergi ke rumah Mama?” Sydney menanyakan dengan nada sangat lembut, seraya mengusap rambut Celeste. Celeste mengangguk. “Papa menyebalkan.” Celeste mendelik ke Ayahnya sendiri yang berdiri di ambang pintu kamarnya. “Celeste—” Sydney menoleh pada Bash, dan hanya dari tatapannya saja Bash tahu Sydney menyuruhnya untuk diam. “Kenapa? Apa yang Papa lakukan?” “Dia mengatakan Mama tidak akan datang ke sini, padahal aku ingin Mama kemari dulu.” Sydney menghela napas. Dia sudah biasa menghadapi emosi Celeste yang terkadang turun naik—tipikal anak enam tahun. “Maafkan Mama, okay? Mama harusnya datang ke sini dulu agar kita bisa berangkat bersama, begitu maksud Celes?” Celeste mengangguk. Dia kembali memeluk Sydney. “Aku lebih sayang, Mama.” Celeste berbisik seraya mendelik kembali ke arah Ayahnya. Sydney tertawa. “Sekarang, Celeste ingin pergi dengan Mama? Pasti Celeste senang karena semua orang sudah menunggu kamu di sana.” Sydney meregangkan pelukannya, dan mengusap rambut anaknya. Celeste mengangguk pelan. “Maaf sudah merepotkan kamu, Sydney,” ujar Bash ketika mereka sudah berada di mobil, hendak kembali ke rumah Sydney. Celeste berada di belakang dan asyik memainkan iPad milik Ayahnya. Sydney berdecak. “Kamu tidak perlu mengatakan maaf, aku senang kamu membutuhkan aku. Lagipula, Celeste juga anakku.” Bash tersenyum. Sebelah tangannya mencari tangan Sydney untuk digenggam dan setelahnya, dia mengecup punggung tangan Sydney. Rasanya selalu berbunga-bunga setiap kali Sydney mengatakan Celeste adalah anak mereka. “Aku cinta kamu, Sydney.” “Aku juga.” Sydney tertawa kecil. Hubungan yang sudah terjalani selama dua tahun ini rasanya masih menjadi mimpi untuk Sydney. Dia tidak pernah menyangka bahwa kehidupan percintaannya akan semanis ini. *** “Ah syukurlah, you’re here,” ujar Kanaya ketika melihat Sydney kembali bersama Bash dan Celeste. “Aku dan Anne tidak bisa menjadi host dadakan di acara ulang tahun kamu sendiri, we are done enough.” Sydney tertawa kecil mendengar keluhan sepupunya yang berbeda satu tahun lebih tua darinya. “Thank you, Kanaya.” Sementara itu, Bash diam saja di tempatnya. Sungkan untuk menyapa Kanaya lebih dulu. Lagipula, wanita itu terlihat sama sekali tidak tertarik untuk memulai obrolan dengannya juga. Seperti biasa... “Ayo, Bash.” Sydney menyadarkan Bash dari lamunannya. Dia menuntun Celeste untuk masuk ke dalam mansion keluarga Wijaya yang sangat megah. Jangankan Celeste, Bash saja masih sama terpukaunya melihat interior di mansion ini. “Kamu bisa duduk di sana dengan Ayahku dan yang lainnya, okay? Aku akan menyapa tamu-tamu dulu.” Sydney melayangkan kecupan di pipi Bash sebelum meninggalkannya. Bash melemparkan senyuman padanya dan membiarkan tunangannya pergi. Lalu, dia menoleh ke arah yang dimaksud Sydney tadi. Ayah Sydney, Zendra, berada di sana dengan anggota keluarga yang lain. Bash menghela napas. Dia sungkan ingin bergabung, tapi dia juga tidak mungkin diam saja di keramaian pesta ini, yang ada semua orang akan menganggapnya tamu tidak diundang. Bash melangkahkan kakinya pelan menghampiri Zendra. Yang mana di sampingnya ada Regan Wijaya, sepupunya, dan Dean, sepupunya juga. Sisanya beberapa pria yang tidak Bash kenal. “Pak Zendra,” ucap Bash seraya menundukkan badannya. Zendra yang awalnya bercengkrama dengan temannya, akhirnya menoleh dan seperti terkejut melihat kedatangan tunangan anaknya. “Oh, Sebastian,” ucapnya seadanya. “Duduklah.” Bash kembali menunduk dan duduk—masih dengan canggung—di samping Zendra. “Nice to meet you again, Sebastian.” Bash tersenyum. “The honor is all mine, Pak Zendra.” Ada kecanggungan yang sangat memekakkan telinga. Seperti biasanya. ***  

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Siap, Mas Bos!

read
13.6K
bc

Tentang Cinta Kita

read
190.6K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
206.2K
bc

My Secret Little Wife

read
98.7K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.7K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook