Some Eleven

1041 Words
  Reyhan memberi kode kepada Deeva sesaat setelah memarkirkan mobil. Gadis itu menatap sahabatnya dengan tatapan berkerut sebelum akhirnya mengikuti langkah Fabian menyusuri jalan setapak di dekat komplek perumahan mereka. Pohon-pohon besar yang membuat jalan menjadi teduh selalu menjadi Favoritenya. Bukan hanya itu, aroma rumput dan pohon setelah hujan selalu bisa menenangkan perasaannya yang awalnya buruk. Perasaan kesal yang sedari di kampus dia rasakan, perlahan menghilang. Ketenangan yang Reyhan berikan, anak-anak di bangsal anak terutama Fanny, dan juga pertemuannya dengan asisten dosen kampusnya yang juga dokter di rumah sakit itu. Senyumnya tak dapat dia tutupi saat mengingat pertemuannya dengan Radit. Pria itu adalah tipe pria ramah dan murah senyum, berbeda dengan Reyhan yang tersenyum kepada siapa saja. Radit hanya tersenyum pada orang-orang tertentu. Dia selalu memperhatikan asdosnya itu dan menyadari bahwa dia adalah satu dari segelintir orang yang beruntung bisa mendapatkan senyuman dari pria itu. “Cepetan jalannya. Lelet banget si lu,” keluh Reyhan membuatnya menggerutu. Dia mendelik kesal kepada sahabatnya yang kini berjalan menjauh. Dia mempercepat langkah kakinya mengejar Reyhan yang sudah lumayan jauh di depannya. “Lu kenapa sih dari tadi cemberut saja?” tanya Deeva kesal saat sudah bisa menyamakan langkah mereka. Dia mendongak, melihat wajah Reyhan yang masih saja kaku. Keningnya mengerenyit tak mengerti kenapa cowok di depannya ini macam cewek yang lagi PMS. Moodnya terlalu swing. Jomplang. Baru saja, Reyhan bisa membuat perasaannya jauh lebih baik, namun sejenak kemudian cowok itu yang moodnya jatuh ke bawah. “Han kok nggak dijawab, sih?” hardik Deeva yang hanya dibalasnya dengan angkatan bahu. “Pikir saja sendiri,” ujarnya membuat Deeva menatapnya kesal lalu berjalan melewati Reyhan dengan sengaja menghempaskan pundak sahabatnya itu. Dengan sedikit kesusahan, Deeva berusaha melewati semak-semak rimbun menuju tempat persembunyian mereka yang pertama. Senyum puasnya terlihat saat danau kecil yang dulu menjadi tempat persembunyiannya dengan Reyhan terpampang indah di depannya. Ingatan bahwa dulu mereka sering bersembunyi di tempat ini memenuhi pikirannya. Dia terkekeh saat mengingat bagaimana seluruh keluarganya dan kedua orang tua Reyhan panik dan mengira mereka di culik, padahal mereka saat itu hanya ketiduran setelah kekenyangan memakan bekal yang dibuatkan oleh mamanya dan Mama Reyhan. Hobbynya dulu setelah bertemu dengan Reyhan adalah melakukan piknik di pinggir danau. Walaupun, akhirnya mereka dimarahi habis-habisan dan tak pernah kembali ke Danau itu hingga SMP. Pelariannya dari patah hati pertamanya saat SMP ke tempat ini, dan Reyhan selalu menjadi orang pertama yang menemukannya menangis, sama seperti tadi. Dia mendongak menatap Reyhan yang jauh lebih tinggi darinya, memperhatikan wajah Reyhan yang sering disebut sebagai perpaduan antara Wajah Indonesia dan Korea. Bahkan, teman-teman SMAnya dulu sering menyamakan Reyhan dengan salah satu member Boyband Korea. Tak perlu orang lain untuk menyadarinya, dia sedari kecil sudah menyadarinya. Dan itupula lah yang membuatnya memanggil Reyhan dengan sebutan ‘Han’ berbeda dengan orang  lain yang memanggilnya dengan sebutan Rey. Reyhan terlihat tak banyak bicara, berjalan menuju pinggir danau, melepaskan kemeja kotak-kotak berwarna merah yang dia kenakan lalu menghamparkan ke tanah. Deeva tersenyum, inilah yang dia sukai dari Reyhan. Cowok ini walaupun terkadang sangat menyebalkan, tapi dia selalu mengerti apa yang dia inginkan bahkan sebelum dia ucapkan. Dengan cepat, Deeva menduduki kemeja Reyhan lalu menatap ke arau danau cantik sehabis hujan seperti ini. “Dee ...” “Ehm ...” Deeva terdiam saat melihat wajah Reyhan yang menatapnya dengan tatapan yang tak dapat dia artikan. “Lo kenapa sih daritadi kayak Anak cewek lagi PMS saja sumpah.” Dia tersenyum saat melihat Reyhan mendelik mendengar ucapannya. “Are you okay?” tanyanya masih mengkhawatirkan apa yang terjadi dengannya tadi. Deeva menarik napas dalam sebelum kemudian kembali menampilkan lesung pipi cantiknya yang selalu bisa membuat Reyhan terpana. “Better,” ujarnya singkat. Deeva kembali mengalihkan pandangan ke arah pohon-pohon besar yang ada di depan danau kecil itu. “Aku tadi hanya terbawa suasana saat menonton film tentang anak yang terkena Kanker, sama sepertiku dulu.” Wajah Kaku Reyhan berubah menjadi khawatir membuat Deeva menghela napas dalam, “Han ... stop looking at me like that. Aku nggak suka kamu melihatku dengan tatapan kasihan seperti itu,” desah Deeva membuat Reyhan dengan cepat mengubah raut wajahnya lalu tersenyum menenangkan. “Aku sehat sekarang. Kamu tahu itu, walaupun saat kelas empat SD Kanker itu kembali dan hampir kembali merenggut jiwaku.” “Dan membuatku menangis selama berbulan-bulan karena takut kehilangan sahabatku yang menyebalkan,” kekeh Reyhan membuat Deeva ikut terkekeh dan mengangguk. Dia melihat Reyhan yang menekuk kakinya ke atas, lalu menaruh kedua tangannya di atas lekukan itu. Deeva bergerak mendekati Reyhan lalu menyandarkan kepalanya di lengan Reyhan sembari menatap ke arah langit yang awalnya berwarna biru muda berubah menjadi merah keunguan. Dia menyukai hal ini, duduk di pinggir danau dan menghabiskan waktu dengan Reyhan seperti ini. Terkadang mereka bercanda dan berbicara tanpa tema sepanjang hari atau bahkan mereka terkadang seperti ini, duduk berdampingan tanpa bicara dengan pikiran yang masing-masing menyelimuti mereka. Hal yang membuat persahabatannya dengan Reyhan bertahan seperti sekarang adalah Reyhan yang selalu ada untuknya, selalu menjadi orang yang menghapuskan tangis dan air matanya, dan juga selalu menjadi orang pertama yang menyadari perubahan kecil yang terjadi dengannya melebihi dirinya sendiri. Kepala Deeva terangkat, menatap wajah Reyhan yang terlihat jauh lebih dewasa dari sebelumnya, Wajah tengil dan kekanak-kanakan yang sering dia perlihatakan dulu, entah mengapa beberapa bulan terakhir berubah menjadi lebih serius. “Han...” panggil Deeva mengetuk-ngetuk lengan Reyhan dengan jari telunjuknya sehingga membuat sahabatnya itu mengalihkan pandangan dan menaikkan salah satu alisnya, kebiasaanya jika sedang bingung dengan kelakuan Deeva yang kadang Absurd. “Always be by my side ya .... As a best friend,” Ujar Deeva menampilkan senyum indahnya. Untuk pertama kalinya, Reyhan tidak membalas ucapan Deeva. Pikirannya berkecamuk. Hatinya nyeri saat Deeva memintanya untuk itu. As a best friend. Tak bisakah hubungan mereka berlanjut lebih dari itu. Dia menarik napas dalam, Hatinya terasa berat. Dia terpaksa mengangguk, walaupun akhirnya dia merasa bimbang. Dapatkah dia berada terus di sisi gadis itu sebagai sahabat selamanya? Reyhan tersentak saat merasakan tangan Deeva kembali merangkul lengannya lalu menyandarkan kepalanya di bahunya. Dia menarik napas dalam, sebelum akhirnya melirik ke arah gadis itu, memikirkan kapan Deeva akan mengerti dan menyadari bahwa perasaannya telah berubah. Bukan lagi menyayangi gadis itu hanya sebagai sahabat. Tapi, ada perasaan cinta yang tumbuh di tengah persahabatan yang terjadi di antara mereka.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD