Some Twelve

2118 Words
  “Lo nggak apa-apa?” tanya Putri saat melihat Deeva kembali masuk ke kampus setelah insiden dia melarikan diri dari kelas. Deeva tersenyum menatap teman-temannya yang menatapnya khawatir. “Sumpah. Gue gedek deh sama itu Mawar. Sok pintar banget kalau sudah di pelajaran Kak Radit. Biasanya saja sama Bu Riska, dianya Cuma diam, boro-boro perhatiin,” dumel Angga meremas buku catatannya lalu menghempaskannya ke meja secara kasar. Jujur, sebenarnya dia dan ketiga temannya itu tidak membenci Rosy hanya saja mereka tidak menyukai cewek itu. Sikapnya terlalu egois dan menyebalkan. Walaupun sebenarnya mereka tahu tidak boleh menilai orang dengan penampilan, namun itu bisa mereka kecualikan untuk mawar berduri di FK kampus ini. Deeva duduk di kursinya dengan ketiga temannya yang menyerubuti. “Lo beneran nggak apa – apa, Va? Sumpah gue khawatir banget lo main nyelonong pergi begitu saja. Gue mau ngejar, inget nilai gue nggak boleh anjlok semester ini,” ujar Nisa perez membuat Angga menoyor kepalanya kesal. “Sakit, Kambe ...” “k*****t lu, ngatain gue Kambe, lu kira gue nggak tahu artinya dalam bahasa Dayak mentang-mentang lu,” tukas Angga kesal yang dijawab dengan uluran lidah Nisa. Dia dan Putri tertawa geli melihat perkelahian Nisa dan Angga yang tak pernah akur, namun bisa terus berteman baik seperti itu. Deeva tertawa keras melihat kelakuan kedua temannya yang bagaikan tikus dan kucing itu. “Lu beneran nggak apa-apa kan Va?” tanya Putri lagi dengan nada khawatir. Dia terkekeh kemudian menggelengkan kepala tak ingin ketiga temannya mengetahui alasannya begitu emosional seperti itu. “I’m Okay. Cuma kemaren gue lagi PMS saja kayaknya, makanya agak tersinggung sama itu omongan mawar berduri,” kekeh Deeva membuat ketiga temannya itu hanya mendesah lalu kembali duduk di kursi mereka saat melihat asisten dokter mereka datang dan mulai menjelaskan materi. Deeva kembali melihat penampilan Radit yang kini terlihat semi formal dengan kaos polo shirt dan celana Chino berwarna cream yang membuatnya semakin tampan. “Itu Kak Radit ngelihatin gue atau lu terus si Va?” bisik Putri yang duduk di sebelah Deeva, melirik ke arah Radit yang tak dapat mengalihkan pandangannya dari Deeva, “Lu kagak ada hubungan sama kak Radit kan Va?” bisik Putri lagi membuat Deeva mengerenyitkan kening lalu menggeleng. Tatapannya tanpa sengaja bertemu dengan tatapan Radit yang ternyata sedari tadi memang terus menatapnya sebelum akhirnya pria itu mengalihkan pandangan. Wajahnya memerah, tangannya tanpa sengaja menekan d**a kirinya, merasakan hal yang aneh dengan jantungnya yang sedari tadi terus berdebar dengan kencang. Entah mengapa, suara bariton Radit yang sedang menjelaskan kini terdengar seksi menyapa pendengarannya. Dia menarik napas dalam sebelum akhirnya menghembuskannya guna menetralkan irama jantungnya yang berlomba, sepertinya dia harus pergi ke dokter spesialis jantung guna memeriksakan organnya itu. Dia merasa ada yang tak beres dengan dirinya. ***** HUfT .... “Sekali lagi lo menghela napas kayak gini, gue tinggal lo di sini, ya ...” ujar Reyhan kesal melihat Deeva terus menghela napas sedari pertama masuk mobil. Deeva tak memperdulikan bacot kosong yang diucapkan Reyhan. Dia tak akan pernah berani untuk meninggalkannya sendirian di tengah jalan seperti ini semenyebalkan apapun dirinya. Dia mengusap tangannya yang sedari tadi basah karena keringat dingin. “Han ... gue kayaknya perlu ke dokter specialis jantung.” “WHAT?!” Pekik Reyhan mengerem mobilnya mendadak sehingga hampir membuat tubuh Deeva berlonjak keluar jika saja tangan Reyhan tidak spontan menahan tubuh Deeva. “Lu mau bunuh gue ya?!” pekik Deeva kesal namun tak Reyhan pedulikan. Dia terus menatap khawatir sahabatnya ini. “Lu beneran nggak apa-apa kan?! Nggak perlu ke rumah skait? Kita pergi ke rumah sakit sekarang ya,” jar Reyhan penuh kekhawatiran membuat kekesalan Deeva perlahan memudar. Reyhan melepaskan sabuk pengamannya, mencondongkan tubuhnya ke arah Deeva lalu dengan telapak tangannya memegang kening Deeva. Tubuh mereka yang tak berjarak membuat Deeva dapat melihat dari dekat wajah Reyhan. Degh ... Jantung  Deeva kembali memburu, wajahnya panas, semburat merah kembali memenuhi wajahnya saat merasakan Reyhan menyatukan kening mereka. Dia menahan napasnya. “Muka kamu merah banget, kita ke rumah sakit ya?” pekik Reyhan panik membuat Deeva tersentak lalu mendorong tubuh Reyhan. “Apaan sih. Deket-deket,” ujar Deeva berpura – pura kesal menutupi perasaan aneh yang dia rasakan saat berdekatan dengan Reyhan. “Katanya kamu sakit, itu muka kamu memerah,” ujar Reyhan lagi membuat Deeva mengipasi wajahnya. “Ini k-kepanasan tahu, lu belum ngehidupin AC,” elak Deeva gugurp lalu menurunkan AC mobil hingga maksimal. “Beneran nggak apa – apa?” tanya Reyhan lagi. “Nggak. Jalan ah cepet, Gue laper .... Mommy masak sop iga hari ini,” dengusnya membuat Reyhan mulai menjalankan mobilnya sembari sesekali menatap khawatir Deeva, takut bahwa penyakitnya dulu kembali kambuh. “Beneran nggak apa – apa kan, Dee?” tanya Reyhan lagi membuat Deeva gemas. “Gue Nggak apa – apa, Reyhan Arka Yusuf... Sudah ah, jalan saja,” geramnya meminta Reyhan untuk melajukan mobilnya. Deeva menghembuskan napas lega saat melihat Reyhan mulai fokus pada jalan saat mulai memasuki jalur yang ramai. Dia menatap jendela mobil sebelahnya sembari terus memegangi d**a kirinya yang masih berdebar. Entah bagaimana, dia merasakan debaran jantungnya menggila dua kali hari ini. Perlahan, dia mencuri pandang ke Reyhan. Satu tangan pria itu memegang stir mobil sedangkan satunya lagi bersandar pada jendela sembari menyentuh dahinya. Deeva mengigit ujung bibirnya, saat menyadari bahwa raut wajah Reyhan mulai berubah, tak ada lagi raut kekanak – kekanakan yang tengil yang selalu mengganggunya dulu. Reyhan kini bertranformasi menjadi pria tampan yang mirip dengan beberapa pemain drama Korea yang dia sukai. Deeva menghela napas dalam berharap persahabatannya dengan cowok di depannya ini tak pernah berubah selamanya. Dia tak akan pernah membayangkan bagaiamana dia bisa menjalani hidupnya setiap hari jika semua itu berubah dan persahabatan mereka hancur pada akhirnya. **** "Assalamu'alaikum!" Pekik Deeva menaruh tas yang dia bawa ke atas sofa ruang tamu lalu berjalan mendekati mamanya yang ada di dapur. "Walaikum salam," jawab Rani tersenyum saat melihat putrinya datang lalu menyalaminya dan mengecup kedua pipinya. Begitu pula dengan Reyhan, Sahabat putrinya sekaligus anak tetangga yang sudah dia anggap sebagai anaknya sendiri melakukan hal yang sama.  "Cuci tangan dulu, baru comot itu tempe!" tegur Rani saat putrinya itu mengambil tempe goreng tepung yang menjadi lauk pelengkap masakannya.  Deeva menampilkan senyum kuda andalannya sebelum beranjak ke arah dapur dan mencuci piring di ekori oleh Reyhan. Rani menggelengkan kepala saat melihat putri sulungnya itu terus menggoda Reyhan dengan memercikan sisa air di tangannya ke arah Reyhan yang membuat pria itu kesal, namun tak membalas perlakuan Deeva. Sahabat putrinya itu hanya mencuci tangan, mengambil tisue untuk melap tangannya sebelum kemudian duduk di meja makan seperti apa yang putrinya lakukan. “Mama kamu kapan pulang Rey?” tanya Rani melihat sahabat putrinya kini sudah duduk manis di meja makan rumahnya dengan sendok dan garpu berada di kedua tangannya, menunggu Deeva selesai mengambil sup iga buatannya. “Masih dua minggu lagi, tante. Tante nggak keberatan kan Rey sama Danira makan terus di sini?” Canda Reyhan membuat Rani tertawa. “Sejak kapan Tante keberatan? Lagipula, itu Putri kesayangannya Om Alfian juga sering menghabiskan makanan kalian, Untung Mama kamu baik nggak pernah protes kalau Deeva sama Revan menghabisi jatah makan kalian selama dua hari hanya dalam waktu setengah jam, ” ujar Rani menunjuk Deeva yang mendengus mendengar ucapan mamanya. Dia memberikan sendok sayur ke arah Reyhan yang terlihat kegirangan melihat makanan favorite - nya. Jika Deeva menyukai Iga bakar buatan Mamanya, Sup Iga buatan Mommy Deeva adalah makanan favoritenya. Terutama Sambal kecap yang terbuat dari potongan bawang merah mentah, cabe, kecap dan perasan jeruk nipis yang menambah kesegaran saat sambal itu tercampur dengan kuah sup iga. “Kamu kapan magang di perusahaan Om Bintang?” tanya Rani lagi saat melihat Reyhan menuangkan sambal kecap ke atas supnya. “Minggu depan kayaknya, Tan. Sudah di Acc sama Dosen.” “Aduh nggak nyangka tahun depan kalian sudah lulus kuliah, Padahal rasanya baru kemarin kita semua ribet saat kalian ikut Orientasi MABA,” desah Rani. “Va kan masih panjang, Mom. Lulus Kuliah Cuma dapet S.Ked. Masih ada Koas, Uji Kompetensi, Internship. Kenapa sih kemaren Deeva milih jadi dokter kalau tahu bakalan sepanjang ini? Belum lagi kalau Deeva mau ngambil spesialis, rasanya capek belajar terus,” dumel Deeva membuat Rani tertawa. “Yang buat keputusan kamu buat kuliah kedokteran kan kamu sendiri bukan Mommy sama Daddy. Jadi terima saja semua konsekuensinya,” tawa Rani membuat Deeva cemberengut. Dia hanya bisa menghela napas dalam sebelum kemudian melihat Reyhan yang terlihat tersenyum bahagia menikmati masakan mamanya. Debaran jantungnya masih terus menggila.Bahkan rasanya, lebih menggila daripada saat Radit menatapnya tadi. Dia menarik napas dalam sebelum akhirnya mulai memakan makanannya dengan pandangan mata yang tak lepas dari Reyhan yang sedang ngobrol asyik bersama mamanya.  Seperti sudah menjadi perjanjian tak tertulis dalam persahabatan mereka bahwa yang numpang makan di rumah masing-masing wajib mencuci piring sebagai balasan dari makanan yang mereka dapatkan, seperti itulah Reyhan lakukan sekarang. “Han ...” “Ehm ...” Reyhan menatap ke arah Deeva yang berdiri di sampingnya dengan tangan masih mencuci piring. Deeva menarik napas, lalu menatap ke arah Reyhan “Lu nggak perlu nganter jemput gue kalau sudah magang di firma Om Bintang.” “Kenapa?” tanya Reyhan memberikan piring yang sudah selesai dia cuci ke Deeva yang dengan cepat melap sisa air di piring itu. “Kasihan Lu harus bolak – balik. Lagipula, kampus sama Firma Om Bintang beda arah.” “Terus lo?” “Gampang lah, Paginya gue bisa ikut Daddy, Pulangnya gue bisa nebeng orang putri, atau nggak tinggal minta jemput Revan. Biar dia berguna dikit jadi adik,” kekeh Deeva membuat Reyhan membalikan tubuhnya lalu bersandar. “Aku nggak merasa direpotin kok, Dee ...” ujarnya lemah menatap ke arah Deeva. “Kamu sudah dari dulu nganterin aku kemana-mana, Han ... Sekarang kayaknya saatnya buat gue mandiri dan belajar kemana-mana sendiri.” Deeva menarik napasnya dalam kemudian tersenyum menampilkan lesung pipi manisnya yang selalu menjadi perhatian pertama Deeva selain matanya. “Sudah saatnya lu resign jadi supir pribadi gue, Han ...” canda Deeva dengan nada yang sok imut membuat Reyhan mendelik kesal. Dia memberikan piring terakhir kepada Deeva, lalu dengan tangan yang masih basah, “k*****t lo!” pekik Reyhan mengusapkan tangannya yang basah ke wajah Deeva, “BANGKE LO. BASAH MUKA GUE!” pekik Deeva mulai mengejar Reyhan yang sudah terlebih dahulu berlari sambil tertawa karena berhasil membuat sahabatnya itu kesal. *****   Reyhan berlari kencang menghindari Deeva yang terus mengejarnya hingga akhirnya dia terhenti di taman lalu duduk di ayunan. Napasnya ngos-ngosan begitu juga Deeva yang kini juga duduk di sampingnya. Dia menatap sahabatnya itu dalam diam, melihat wajah Deeva yang terlihat semakin cantik setiap harinya. Deeva bukan lagi anak ingusan dengan jerawat di mana-mana seperti saat SMP. Bagaimana perjuangannya menghilangkan jerawat itu hingga akhirnya mukanya berubah mulus saat mereka masuk SMA.  Bagaimana saat SMP, Dia menjadi salah satu yang mengejek Deeva karena jerawat hormon pertumbuhannya bersama teman-temannya yang lain, berubah menjadi penjaga Deeva dari para Hyena yang dulu menatapnya sebagai mangsa empuk. Sikap Deeva yang supel dan suka berteman dengan siapa saja membuat hampir semua Cowok dari kelas X sampai kelas XII di sekolahnya menyukai sahabatnya itu, terutama saat dia menampilkan lesung pipi manisnya saat tersenyum. Senyuman itu hampir membuat satu sekolah kejang-kejang dan pingsan karena ayan. Mata Abu-Abu yang selalu dia sembunyikan dari semua orang adalah pesona rahasia Deeva yang selalu membuatnya terpesona. Binar pada mata Abu itu selalu membuat rasa kesal dan sedihnya menghilang begitu saja. Senyum manis Deeva seolah memberikan energi untuknya, itulah mengapa jika dia sedang capek dengan semua tugas kuliahnya, datang ke kampus Deeva dan menggodanya adalah salah satu cara terbaik untuk me-recharge energinya. “Beneran nggak mau aku anterin ke kampus kalau aku sudah mulai magang?” tanya Reyhan lesu. Jujur saja, dia ingin tetap mengantarkan Deeva ke kampus walaupun dia harus putar arah. Rasanya dia tak ingin kehilangan waktu berdua dengan Deeva di pagi hari, kehilangan saat-saat mendengarkan semua rekapan aktivitasnya sehari sebelumnya atau kekesalannya karena Revan tak pernah sekalipun menganggapnya seperti kakak, sama seperti Danira yang terkadang juga tak menganggapnya sebagai seorang kakak dan lebih dekat ke Deeva. Reyhan mendesah saat melihat Deeva mengangguk, “Aku nggak keberatan loh nyisihin waktu buat nganter – jemput kamu setiap hari.” “Aku yang keberatan, Han,” potong Deeva. Dia menarik napas dalam sebelum kemudian tersenyum. “Aku nggak bisa terus tergantung sama kamu. Ada saatnya kita perlu menjalih hubungan dengan orang lain di luar lingkup pertemanan kita saja.” Deg ... Dada Reyhan berasa dihunus oleh samurai panjang sesaat setelah Deeva mengucapkan kalimat itu. Sakit, tapi tak berdarah. Entah mengapa, Reyhan merasa kata-kata yang diucapkan Deeva tadi menjadi pertanda akan ada sesuatu hal yang berubah di persahabatan mereka nanti. Dan ... untuk sekarang, dia tidak tahu itu apa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD