Some Thirteen

2107 Words
“Aku nggak bisa terus tergantung sama kamu. Ada saatnya kita perlu menjalin hubungan dengan orang lain di luar lingkup pertemanan kita saja.” Kata – kata yang Deeva ucapkan saat di taman rumah tadi terus terngiang sampai sekarang. Dia sedang tiduran menatap langit-langit rumahnya, salah satu tangannya berada di atas dahi guna menutupi cahaya lampu yang belum dia matikan. Tubuhnya lelah, seolah tak ada tenaga. Dia bukan Best Friend complex. Dia meyakinkan dirinya bahwa dia tidak mengidap Best Friend Complex, hanya saja dia belum siap untuk berpisah dengan Deeva. Walaupun sebenarnya, mereka akan terus bertemu saat pulang ke rumah. Dia sudah terbiasa dengan Deeva yang berada di sampingnya saat mengemudi. Tak dapat dia pikirkan bagaimana heningnya mobilnya nanti tanpa celentukan - celentukan Deeva yang terkadang menyebalkan. Dia bangkit dari ranjang lalu duduk dengan tangan mencengkram kedua sisi ranjang. Matanya menatap rumah besar yang ada di samping rmahnya melalui jendela balkon yang memang tak pernah dia tutup. Dia tertuju pada kamar yang ada persis di depan kamarnya. Lampu kamar itu masih menyala, pertanda pemiliknya masih belum tidur. Bayangan bagaimana dia dan pemilik kamar itu sering bermain bersama selama lebih dari lima belas tahun atau bahkan bagaimana dia memiliki perasaan terpendam untuk pemilik kamar itu sejak rambutnya baru tumbuh setelah mengalami kerontokan efek kemoterapi yang gadis itu lakukan hingga akhirnya dia sembuh kembali. Dia selalu menjadi pengagum Deeva dari jauh, menjaga gadis itu dari cowok – cowok b******k yang selalu menggoda Deeva. Cukup sekali, dia melihat sahabatnya itu menangisi cowok b******k yang mempermainkannya saat kelas 3 SMP dulu yang membuatnya trauma dan memutuskan untuk menutup mata abu-abu miliknya dengan softlense berwarna cokelat tua cenderung ke hitam seperti rata – rata masyarakat Indonesia. Haruskah dia menyatakan perasaannya, tapi bagaimana jika hal itu malah membuat persahabatan mereka hancur begitu saja dan membuat mereka jadi orang lain. Reyhan berjalan ke arah balkon kamarnya, duduk di atas kursi kayu yang sengaja diletakan di sana. Tempat ini selalu menjadi tempatnya untuk memperhatikan apa yang gadis itu lakukan. Terkadang, gadis itu duduk di atas ranjang sembari membalas sms dari teman – teman satu genknya, namun tak jarang, dia tiduran di ranjang miliknya, tertawa sendiri, marah – marah atau bahkan menangis karena drama Korea yang dia tonton. Tak ada yang pernah melihat semua itu, hanya dia satu-satunya orang yang selalu melihat sisi Deeva yang absurd. Gadis itu selalu menjaga image ke orang lain, tapi tidak dengannya. Senyumnya tercetak jelas saat melihat Deeva keluar dari kamar mandi dengan mengenakan piyama teddy bear kesayangannya. Rambut ikalnya dia rapikan dengan bando kain berbentuk telinga kucing. Wajahnya terlihat lebih segar dengan bulir-bulir air yang berjatuhan pertanda gadis itu sudah mulai mencuci wajah dan mulai melakukan perawatan malam rutinnya. Reyhan terus memperhatikan, menebak gadis itu akan mengenakan cairan yang dia taruh di kapas, lalu mengusapkan ke wajahnya, lalu menggunakan spray dan menepuk-nepuk wajahnya ringan. Dia tidak pernah mengetahui skincare apa saja yang Deeva gunakan, tapi dia hapal berapa banyak langkah Deeva menggunakan skincare itu dan juga urutannya. Dia mendesah, kenapa wanita mau meribetkan diri dengan menggunakan ten step skincare routine, seperti sahabatnya itu. Apakah tidak cukup hanya cuci muka dan menggunakan krim malam. Senyum simpulnya kembali terlihat saat melihat Deeva menggerakan bahunya ringan jika suasana hatinya sedang riang. Mengambil Laptop dari meja belajarnya lalu duduk di pinggir ranjang. Reyhan tahu aktivitas gadis itu selanjutnya. Dia akan bergadang semalam suntuk untuk menghabiskan jatah drama Korea yang selama senin sampai sabtu sore, dia tahan. Deeva adalah tipe gadis yang kokoh dan tekun. Gadis itu selalu teratur dan sesuai jadwal. Walaupun, terkadang dia juga melanggar jadwal yang dia atur jika moodnya berubah dengan cepat. Seperti saat itu, saat dia menemukan Deeva menangis di lorong kampus. Dering telepon yang dia atur khusus untuk Deeva membuatnya tersadar, “Apaa?” sungutnya berpura-pura kesal kepada sahabatnya itu. “Lu nggak mau mata lu bintitan karenga ngintipin gue kan?” sungut Deeva kesal membuat Reyhan tersadar dan melirik ke arah depan dan melihat Deeva berdiri di atas balkonnya dengan mata kesal. “Sialan,” geleng Reyhan tiba-tiba, “Badan lu kayak papan triplek begitu nggak bakalan bikin Rey J gue bangkit,” canda Reyhan sontak membuat wajah Deeva memerah. “Bangke lu!” decak Deeva kesal. “Body gue bohay, Asem.” Reyhan tertawa keras, menutupi perasaannya yang sedang dia rasakan. Dia menyadari bahwa itu adalah kebohongan. Tubuh Deeva memang tidak di atas rata-rata namun, dia tubuh itu menggoda untuk terus dia peluk. Dia merasa Deeva begitu pas di dalam pelukannya. “Lu mau begadang lagi?” tanya Reyhan mengalihkan pembicaraannya sembari terus menatap Deeva yang berdiri dan menatapnya dengan senyum. “Tentu saja,” kekehnya semangat. “Ada serial baru di netflix yang patut gue tonton.” “Romantis lagi?” tanya Reyhan yang dijawab gelengan Deeva. “Monster.” “Drama Korea tentang monster?” tanya Reyhan mengeryitkan keningnya bingung. “Ooh. Lu kira drama Korea ceritanya tentang cinta mulu. Musim panas gini biasanya dramanya kalau nggak horror, thriller hingga monster kayak gini.” Reyhan terkekeh mendengar penjelasan Deeva yang benar-benar hapal Genre apa-apa saja yang keluar dan menyimpulkannya sesuai dengan musim di Korea sekarang. Dia selalu mengatakan bahwa selama Korea mengalami musim semi, maka drama-drama romantis ringan ataupun komedi romantis yang banyak, saat menuju ke musim panas, maka drama tentang hantu, pembunuhan, kriminal akan banyak lalu saat musim berlalu ke musim gugur dan musim dingin, maka Drama yang banyak akan keluar adalah Mellodrama yang membuat semua penonton termehek-mehek. Seperti Deeva, yang akan menjadi sensitive saat bulan Oktober hingga Desember hanya karena drama korea bergenre sedih itu menghiasi kepalanya. “Han ...  temenin gue nonton dong,” ujar Deeva kembali mengeluarkan rengekan. “Ogah! Mendingan gue tidur dah atau nelepon teman cewek gue buat jalan. Malam minggu gini,” tolak Reyhan membuatnya cemberengut. “Lu nggak bakalan berani jalan dan ninggalin Danira sendirian, selama Bonyok lu pergi,” ujar Deeva mengetahui kebiasaannya yang tak akan pernah nongkrong di malam minggu jika Ibu dan Ayahnya tidak berada di luar. “Yuk, Ah. Han ... temenin gue nonton. Gue sudah nyediain proyektor. Nggak seru gue nonton sendiria. Please ....” rengeknya membuat Reyhan mendesah tak dapat menolak permintaan Deeva. “Gue ganti baju dulu. Ini aman kan?” tanya Reyhan dijawab Deeva dengan anggukan. “Mommy sama Daddy sudah tidur dari tadi, lu naik dari balkon aja ya,”  ujar Deeva membuatnya berhenti melangkah lalu membalikan badan kesal dengan tindakan semena-mena yang Deeva lakukan. Reyhan meruntuki dirinya yang kini berdiri persis di bawah. Kenapa dia terus saja menuruti kata-kata sahabatnya ini. Sejak dulu, dia memang tidak bisa menolak permintaan Deeva jika gadis itu sudah mengeluarkan satu kata andalannya Please .... Deeva adalah satu-satunya orang yang dapat membuatnya menurunkan ego yang bahkan kedua orang tuanya sendiri tidak dapat melakukannya, itulah mengapa, Mama atau Ayahnya selalu meminta Deeva membujuknya untuk melakukan sesuatu. Reyhan melirik ke arah pintu kaca berharap kedua orang tua Deeva dan adik sok tahu kembaran Danira itu sudah tidur dan tak akan memergokinya menaiki tembok rumah mereka untuk sampai ke kamar Deeva. Perlahan, dia mengambil ancang-ancang, kemudian berlari dan menendang tembok sebelum kemudian melompat dengan cepat. Tak butuh waktu lama untuknya naik ke atas balkon sahabatnya itu, Dia melirik ke arah Pintu melihat Deeva sedang meyiapkan proyektor dan berbagai makanan yang akan mereka gunakan untuk Saturday movie marathon. Dia mengetuk pintu balkon dan melihat sahabatnya itu tersenyum dengan cepat membuka pintu. “Cepet banget, jangan – jangan kamu latihan parkour dulu biar bisa cepet naik ke kamar aku ya,” tuduh Deeva membuat Reyhan mendengkus lalu menjitak kepala Deeva membuat sahabatnya itu meringis. “Duduk dulu, gue mau ngambil minum. Lu Cola, Gue Fanta,” kata Deeva memutuskan sendiri apa yang akan Reyhan minum, Dia hanya menggelengkan kepala saat gadis itu perlahan keluar kamar. Reyhan menatap kagum kamar Deeva. Tak salah memang kalau sahabatnya itu mempunyai keluarga yang menakjubkan. Ayahnya salah seorang direksi perusahaan, Tantenya yang pertama adalah seorang Designer Interior dan bersuamikan seorang Arsitek terkenal, tantenya yang kedua juga seorang Fashion Designer dunia yang mempunyai suami seorang Celebrity Chef yang cukup terkenal di Indonesia. Sehingga membuat Deeva bisa mendapatkan sesuatu dengan begitu mudah seperti paviliun kecil milik mereka berdua atau bahkan kamar ini. Kamar yang terlihat seperti memiliki dua ruangan yang berbeda. Kamar tidur Deeva didominasi dengan suasana matahari yang ingin tenggelam dengan d******i warna merah, orange, dan ungu, sedangkah dibagian yang dipisahkan oleh dua tangga kecil itu layaknya langit malam bertabur bintang dengan warna-warna galaksi. Jika bagian malam di matikan, maka warna putih itu akan mengeluarkan warna layaknya bintang-bitang yang berkerlip. Menonton film di ruangan ini seolah memberikan suasana yang menakjubkan, seolah mereka akan menoton film sekaligus camping. Reyhan duduk di sofa bed berlapis empuk menghadap ke salah satu dinding yang kini telah terdapat lambang N berwarna merah dari pantulan proyektor. Reyhan menoleh ke atas lalu terkejut saat melihat ada kaca berbentuk kotak di sana yang menampilkan pemandangan langit malam. “Keren kan kamar gue?” tanya Deeva membawa nampan berisi beberapa kaleng fanta dan Coca cola serta ice bucket yang sering digunakan untuk mendinginkan wine. “Itu Daddy kamu nggak marah kamu make itu?” tanya  Reyhan bergerak mengambil nampan itu dari tangan Deeva lalu meletakannya ke bawah. Dia yang awalnya duduk di sofa, beralih duduk lesehan di lantai. Kebiasaan mereka saat memutuskan untuk menonton film bersama. “Ice bucket itu? Sudah jarang dipake semenjak Mommy ngebuang semua koleksi Wine Daddy.” Reyhan mengangguk lalu kembali menoleh ke arah atas, terseyum cerah saat melihat bulan sabit yang terlihat dari kaca jendela itu. “Jendela itu kapan dibuat. Kok aku nggak tahu,” tanyanya membuat Deeva mendengkus. “Lu kelamaan nggak pernah lagi masuk ke kamar gue sih. Saking sibuknya sama gebetan-gebetan lo yang banyak itu. Kapan ya ... kalau nggak salah waktu kita liburan terakhir saat SMA.” Reyhan hanya ber ‘oh’ ria. Menyadari bahwa dia terlalu lama menghindari untuk masuk kembali ke kamar Deeva sejak dia menyadari perasaannya kepada gadis itu. Dia tak ingin membuat sesuatu yang di luar akan sehatnya jika masuk ke dalam kamar gadis itu. Dan hari ini, entah mengapa dia tidak bisa mengelaknya lagi. Deeva duduk di sampingya, memberikan mangkuk kaca besar berisi caramel popcorn yang dia buat lalu menatap Reyhan dengan mata membulat. “Lu jangan takut sama teriak kenceng sama mepet – mepet gue cuma karena ngelihatin itu monster ya. Awas lu!” ancam Deeva mengacungkan jari telunjuknya ke arah Reyhan membuatnya gemas lalu mengigit ujung telunjuk itu sehingga membuat Deeva memekik tertahan lalu memukul bahu Reyhan kesal. “Jorok banget, Ah.” rengek Deeva membuat Reyhan tertawa. “Ya elu lagian ... sok-sokan saja bilang kayak gitu. Tahunya lu ntaran yang mepet – mepet sama gue,” celetuk Reyhan membuat Deeva mendelik, tidak membalas apa-apa hanya menekan tombol play lalu duduk menyandar di sofa yang ada di belakang mereka. Senyum Reyhan tidak dapat dia tutupi saat Deeva seolah menelan kata – katanya sendiri. Awalnya cerita itu terlihat baik saat seseorang memberikan ikan busuk kepada satpam penjaga apartemen, lalu berganti ke seorang pria yang terlihat begitu introvert baru pindah ke apartemen tua di salah satu distrik kumuh di kota Seoul, hingga akhirnya saat – saat yang sudah mulai tegang dan monster sudah mulai bermunculan. Deeva semakin merapatkan tubuhya mepet ke arahnya. Dia menggelengkan kepala. Memikirka bahwa sahabatnya itu sebenarnya penakut namun tetap saja menyukai drama bergenre seperti ini. Drama Korea itu sebenarnya bukanlah drama horor yang menakutkan, melainkan lebih ke drama  yang membuat orang tegang dengan bagaimana tokoh-tokoh dalam drama itu bisa bertahan hidup di sebuah apartemen yang sudah dikepung oleh manusia – manusia yang menjadi monster. “Dee ...” “Sstt ...” decit Deeva yang telihat tegang semakin memepetkan dirinya hingga lengan Deeva menyentuh salah satu sisi tubuhnya. Tanpa sadar, Reyhan menunduk saat melihat Wajah Deeva bersembunyi menutupi mata dengan lengannya. Gemuruh di d**a kirinya semakin kencang saat melihat Deeva mencengkram tangannya. Dia yakin kini wajahnya memerah dan memanas akibat apa yang Deeva lakukan. “Ehem ... ehem ...” Reyhan berdehem mengatur emosinya lalu tanpa sengaja mengambil Fanta punya Deeva lalu meneguknya. “Han ... Punya gue,” rengek Deeva menyadari Reyhan meminum Fantanya. “Sorry,” ujarnya meminta maaf kemudian mengambil cola miliknya, kembali menikmati drama Korea yang tidak pernah Dia sangka ternyata Out Of The Box. Hingga tiba – tiba saja, tubuhnya menegang saat Deeva memeluk tubuhnya dari samping. “Dee ...” panggil Reyhan mencoba menahan tubuh Deeva namun yang dipanggil tidak mendengar malah semakin mempererat pelukannya. Reyhan mendesah saat merasakan Deeva sudah tertidur dengan dengkuran halus. Dia menudukan kepala lalu mengusap puncak kepala Deeva lembut. Inilah kenapa aku terus menolak untuk masuk kembali ke kamarmu, Dee ... Desah Reyhan berusaha kembali fokus menonton drama Korea di depannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD