Deeva menghela napas seraya menghempaskan pantatnya ke sofa ruang keluarga rumahnya. Hawa panas yang ia bawa dari luar masih terasa membuatnya mengipasi wajahnya yang memerah. Ruangan ber-Ac tempatnya berada sekarang tak dapat menghentikan keringatnya yang keluar.
Matanya memincing, bibirnya menampilkan rengutan sebal saat melihat Reyhan dengan santainya berjalan dari arah dapur membawa satu tempat penuh dengan Es krim Green tea miliknya.
“Han! Es krim gue!” pekiknya kesal tak digubris Reyhan. Tanpa rasa bersalah, cowok berperawakan tinggi, bermata sedikit sipit dan berwajah oriental layaknya bintang drama Korea itu duduk di samping Deeva sehingga membuat pemilik Es krim menatapnya tajam.
“ES KRIM GUE SINIIN!” teriaknya kesal memukul paha kanan Reyhan sehingga membuatnya berteriak kesakitan.
“Pelit banget deh lo,” decak Reyhan meletakkan es krim itu di paha Deeva, lalu hanya bisa mendengus mengambil paksa sendok dari tangan Reyhan.
“Biarin! Lo kalo nggak dipelitin ngelunjak orangnya,” balas Deeva menjulurkan lidahnya membuat Reyhan mengacak rambut Deeva gemas.
Deeva menyendok es itu dalam jumlah besar lalu memakannya sekaligus, tanpa risih karena sendok yang ia gunakan bekas Reyhan. Tubuhnya menggigil kesenangan saat dinginnya es krim itu mulai lumer dalam mulutnya.
Reyhan yang melihat kelakuan Deeva hanya bisa menggeleng geli. Tangannya bergerak mengusap ujung bibir Deeva yang kotor karena sisa es krim, lalu menjilat jarinya itu. Seolah mereka terbiasa melakukannya, dan sama seperti Deeva, dia tak risih memakan bekas gadis itu.
“Gue minta dong, Dee...” rengek Reyhan membuat Deeva memincingkan mata, sebelum akhirnya terkekeh melihat rengutan ala Reyhan yang begitu menggemaskan.
“Nih.” Deeva menyodorkan es krim itu dalam porsi sangat kecil membuat Reyhan semakin merenggut.
“Lagi dong, Dee... Ehm..”
“Ya udah. Nih..”
“Thank you,” ucap Reyhan senang saat Deeva memberinya satu sendok penuh es krim kegemaran mereka itu. Seakan terbiasa seperti ini, Deeva meletakkan es krim itu ke paha Reyhan, lalu memakannya bergantian dengan sendok yang sama. Dia tersenyum cerah saat Reyhan mulai menyuapinya.
“Oh Gosh... melihat kalian seperti ini seharusnya kalian pacaran saja,” decakan seseorang dari arah tangga membuat Deeva dan Reyhan menghentikan aktivitasnya. Revan datang dengan wajah jijik melihat kemesraan yang diperlihatkan kakaknya dnegan sahabatnya ini yang menurutnya terlalu dekat sehingga dilihat orang yang tak mengenal mereka sebagai perfect couple. Walau sebenarnya, tingkah mereka jika digabungkan terlalu somplak.
“L-lo apaan sih. Kita nggak mungkin pacaran. Iya nggak, Han..” Deeva menatap adiknya kesal lalu mencoba santai menyuap es itu, kemudian menggantungkan sendok itu di mulutnya sembari menatap Reyhan yang terdiam.
“Han...” panggil Deeva pelan membuat Reyhan tersadar.
“Kita nggak mungkin pacaran, kan?” tanya Deeva membuat Reyhan mengulum senyumnya pelan sebelum akhirnya mengangguk lemah.
Deeva yang melihat perubahan raut wajah Reyhann merenyitkan kening bingung. Sebelum akhirnya pandangannya berganti menatap sebal remaja tanggung yang sedang berdiri senga di depannya.
“Ngapain?!” ucap Deeva ketus.
“Minta duit. Gue mau beli bakso di depan komplek,” balasnya tanpa tahu malu mengulurkan tangan meminta duit kepada kakak perempuannya itu.
“Uang jajan lo mana? Bukannya juga baru dikasih sama Daddy minggu lalu?” tanya Deeva menatap adiknya kesal.
“udah abis gue beliin sepatu baru kemarin.”
Deeva menghela napas geli menatap kedua cowok menyebalkan yang ada di sampingnya. Bagaimana mungkin kedua orang ini sama-sama menghabiskan uang saku bulanan mereka hanya untuk benda tak penting yang mereka anggap sebagai hobi mereka.
“Nggak ada.”
“Ayolah Va, cuman dua puluh ribu juga,” paksa adik menyebalkannya itu.
“Nggak ada. Lo makan masakan Mommy aja.”
“Mommy nggak masak. Dia langsung pergi ke Cafe-Resto Tante Ora tadi tanpa sempet masak. Ayolah Adeeva Valerie Abiyaksa..gue beneran kelaparan ini...”
Deeva menatap adiknya kesal sebelum akhirnya mendengus. “Kenapa gue bisa deket dengan dua cowok menyebalkan yang bakalan manggil nama panjang gue kalau sudah ngerengek minta uang,” Dengus Deeva membuat Reyhan dan Revan yang ada di depannya pura-pura tak mendengar.
Deeva mengambil tas selempang yang ia letakkan begitu saja di samping sofa tempat ia duduk. Tangannya mencari dompetnya di tumpukan buku – buku kedokterannya.
“Nggak ada,” ucap Deeva tiba-tiba mengagetkan Reyhan dan Revan yang sedang bicara.
“Apanya yang nggak ada?” tanya Reyhan menatap Deeva bingung.
“Dompet gue nggak ada..”
‘Beneran?!” pekik Reyhan sontak berdiri.
Deeva tak mengherankan pertanyaan Reyhan. Dengan cepat, ia mengeluarkan semua isi tas selempangnya di meja, menghamburkan semua buku-buku dan peralatan kuliahnya mencari benda panjang berwarna pink yang selama ini selalu setia mengisi tasnya.
“Nggak ada,” ucap Deeva panik terus berusaha mencari keberadaan dompetnya.
“Lo terakhir buka dompet lo di mana?” Revan kali ini membuka suara melihat kepanikan kakaknya. Gerakan Deeva terhenti, matanya menatap Reyhan yang menatapnya kebingungan.
“Kampus,” ujarnya pelan. “HAN! LO HARUS GANTI DOMPET GUE YANG HILANG...” Rengek Deeva kencang.
******
“Han, lo harus ganti dompet gue yang hilang.”
Ini sudah 100 kalinya Deeva mengucapkan kata-kata yang sama. Matanya menatap kesal Reyhan yang sedang asyik memakan sarapan paginya di rumah Deeva.
“Lo harus ganti dompet gue beserta isinya,” ujar Deeva sembari mengambil nasi gorengnya dengan kesal sehingga membuat suara detingan antara piring dan sendok.
“Kenapa harus gue?” tanya Reyhan tak terima. Mulai jengkel karena selalu disalahkan Deeva atas apa yang terjadi padanya. Deeva kehilangan dompetnya itu karena kecerobohannya sendiri, bagaimana mungkin dia harus mengganti hal itu.
“Karena semuanya emang salah elo,” ucap Deeva kesal mengacungkan pisau yang ia gunakan untuk mengoleskan selai ke depan wajah Reyhan. “kalau lo nggak maksa gue buat minjemin duit itu ke lo. Dompet gue nggak bakalan hilang. Pokoknya lo harus gantiin dompet gue plus bayar semua utang lo.”
“Gue kan baru minjam sehari masa lo udah tagih gini.”
“Lo bukan cuma pinjam sehari tapi berbulan-bulan.”
“Ya ampun Dee... pelit banget sih lo jadi orang,” decak Reyhan kesal.
Revan dan Danira hanya bisa menghela napas bosan mendengarkan pertengkaran saudara mereka masing-masing. Setiap hari jika mereka sarapan atau makan malam bersama, pertengkaran seperti ini seolah menjadi menu wajib kakak-kakak sulung mereka.
“Gue nggak mau tau. Pokoknya lo harus bayar kalau nggak Belt – belt mahal lo beneran gue jual ke second hand’s store atau sekalian gue loakin.”
“Jangan berani ya lo Dee... lo nggak kasihan sama gue dan Danira yang ditinggal pergi sama Mama dan Papa.”
“Nah... Seharusnya lo bisa dong bayar gue. Tante Riska sama Om Yusuf nggak mungkin nggak ninggalin uang berlebih buat lo. Lagipula, lo sama Danira juga bakalan sarapan sama makan malam di sini, nggak bakalan ngeluarin uang sedikitpun. Makanya bayar,” paksa Deeva menyodorkan tangannya sehingga membuat Reyhan berhenti menyuap sarapannya dan berusaha membalas Deeva.
“Ehem..” Deheman Rani menghentikan pertengkaran kedua sahabat itu. “Va.. kamu bisa, nggak nagih utang saat kita sarapan. Biarkan Reyhan makan dengan tenang.”
“Nggak bisa, Mi. Dia kalau nggak ditagih nggak bakalan mau bayar. Deeva lagi butuh uang. Dompet Deeva hilang.”
“Hilang dimana?” tanya Alfian akhirnya membuka suara. Menatap teduh putri sulungnya yang terlihat seperti merengek di matanya.
“Kampus mungkin .... Nggak tau. Pokoknya terakhir kali Deeva buka dompet saat cowok sialan ini maksa buat minjem uang,” ucap Deeva kesal.
“Va ... Mulut ....” tegur Rani saat mendengar Deeva mengumpat Reyhan.
“Sooorrryyy,” ujar Deeva pelan menutup mulutnya. “Pokoknya Han. Lo harus bayar. Masa gue harus nggak punya uang di awal bulan kayak gini. Gimana gue bisa belanja nanti...” rengek Deeva sebelum akhirnya menatap Mommy-nya mengandalkan Puppy Eyes yang dulu sering ia perlihatkan saat mengingkan sesuatu.
“Don’t try to flirt me with those eyes,” ancam Rani mengalihkan pandangan dari Deeva sehingga membuat anak gadisnya itu merenggut.
“Miii... Gantiin uang saku Deeva dong..,” rengek Deeva.
“Nggak ada,” ucap Rani tegas membuat Deeva tambah merenggut.
“Masa mommy tega ngelihat Deeva kelaparan pas jam makan siang.”
“Bawa bekal aja biar nggak kelaparan.”
“YA AMPUN MIII!” pekik Deeva menatap Rani tak percaya. Masa dia sudah sebesar ini harus membawa bekal dari rumah seperti anak TK. “Mommy kira Deeva masih anak Sd yang harus bawa bekal ke sekolah. Daddyyy... masa tega ngelihat aku bawa bekal,” rengek Deeva berubah haluan menatap Daddy-nya dengan puppy eyes andalannya, berharap ayahnya itu akan membantunya.
Alfian menarik napas panjng saat menatap mata abu mirip dirinya yang menatap penuh permohonan. Dia mendesah, putri sulungnya itu memang selalu tau bahwa dia tak akan pernah tahan tatapan itu. “Kasih aja, Ran,” kata Alfian menatap Istrinya dengan tatapan teduh.
Rani menatap suaminya yang menatapnya teduh lalu menyunggingkan senyum menawannya sehingga akhirnya membuatnya akhirnya ikut menghela napas
“Ya udah mommy ganti. 10% uang bulanan kamu.”
“Mommy pelit banget masa cuma 10%, 90% dong, Mi... 10% dapat apa.” Rengekan Deeva mulai kembali mendramatisir suasana agar Mommy nya bisa memberikan uang lebiih
“30%” ucap Rani lagi.
“70% dong mi.. Yah.. Yah..,” rengek Deeva lagi membuat Rani menghela napas.
“50% atau nggak sama sekali,” tawar Rani mulai kesal sehingga membuat Deeva kelabakan.
“Oke. Deal,” ucapnya cepat.
“Kata siapa Deal. Mommy bakalan kasih uang itu kalau kamu janji bakalan ngebersihin rumah sama taman dua minggu ini. Kebetulan Mbok Nah lagi pulkam.”
“What?!” pekik Deeva membulatkan mata menatap Rani. “Mommy mau gantiin uang Deeva atau nyari pembantu pengganti sih?!” pekiknya kesal.
“Kalau bisa dua-duanya kenapa nggak. Kamu mau nggak. Give and take,” ucap Rani mengangkat sebelah alisnya menatap Deeva membulatkan mata Abunya yang mirip dengan suaminya.
“Kamu bisa mulai hari ini.” Rani meletakkan beberapa lembar uang berwarna merah di atas piring Deeva yang telah kosong.
Deeva menatap uang itu sebelum akhirnya mengacak rambut panjangnya kesal dan membuat seluruh orang di meja makan tertawa menatapnya.
*****
Rengutan dan hentakan kaki Deeva menemaninya memasuki lorong kampus. Gumaman – gumaman omelan yang terus ia keluarkan membuat Reyhan yang sedari tadi memperhatikan Deeva terkekeh.
“Udahlah Dee... udah diganti juga sama Tante Rani kenapa kamu ngomel terus.” Reyhan melingkarkan tangannya di pundak Deeva yang sedang kesal, berusaha melepaskan tangan Reyhan, masih marah dengan cowok slengean, tukang tebar pesona di sampingnya. Bagaimana cowok tak tau malu ini masih bisa bersikap santai dan bercanda di saat ia sedang kesusahan.
“Dee..”
“BODO.”
Deeva kesal menatap wajah menyebalkan Reyhan yang terus menampilkan senyum menawannya, terlebih saat suara beratnya memanggil namanya dengan begitu lembut. Deeva menghentakkan tangan Reyhan yang masih melingkar di pundaknya dan berjalan menjauh. Dia muak dengan perlakuan itu. Ingin rasanya dia memukul kepala cowok menyebalkan itu dengan buku – buku besar kedokteran yang selalu dia bawa, jika saja sekarang mereka tidak berada di kampus dan akan beresiko tinggi, mengingat banyaknya cabe-cabean, penggemar Playboy cap badut Korea ini.
“Nanti gue bantuin nyari dompet Hello Kitti elo deh,” ucap Reyhan yang sudah berada di depan menghalanginya.
“Rey!” suara beberapa perempuan yang memanggil Reyhan menghentikan Deeva yang ingin menghardik cowok menyebalkan ini. Matanya menatap mata Reyhan yang berbinar saat melihat beberapa mahasiswi dengan pakaian yang kekurangan bahan yang sedang melambai manja kepadanya.
“Gue kesana dulu ya Honey ... bye... bye sahabat sehidup semati,” ucapnya mengacak rambut Deeva.
“MATI AJA LO SANA!” pekik Deeva kesal merapikan rambutnya yang berantakan. “Pastiin lo nemuin dompet gue, kalau nggak siap-siap belt kesayangan lo bakalan gue loakin!” teriak Deeva membuat Reyhan mengacungkan genggamannya, kemudian merangkul kedua orang mahasiswi itu.
Deeva mendesah kesal menatap Playboy cap kadal satu itu yang kini beralih berada di kerumunan cabe-cabean kampus. Sebenarnya apa yang ada dipikiran para cewek-cewek berbaju kekurangan bahan dan mengenakan lipstick merah menyala bagaikan cabe merah keriting itu. Mereka kira kampus ini klub malam.
“Deeva?”
“Iya,” jawab Deeva spontan saat ada suara lembut memanggilnya. Sontak saja ia membalikan tubuh dan terkejut saat melihat siapa yang berada di depannya. Lelaki tampan yang membuat fantasi para mahasiswi ingin menjadi pacar bahkan selingkuhannya. Celana kain fit yang terlihat menggantung di kakinya yang panjang, kemeja putih Fit body dengan lengan yang sudah ia singsingkan hingga ke siku hingga 2 kancing kemeja yang sengaja ia lepas, membuatnya terlihat super duper tampan.
“Deeva?” panggil laki-laki itu lagi membuat Deeva tersadar.
“Eh, iya Pak,” ucap Deeva gugup membuat laki-laki itu tertawa,
“Apa saya setua itu untuk dipanggil Pak?” tanya laki-laki itu menghapus air mata gelinya yang keluar. “Panggil saja saya Radit dan Ehm... I Found this.”
Radit, Asisten dosen yang baru saja menggantikan dr. Riska menyodorkan benda panjang berwarna pink yang membuat Deeva tak dapat menyembunyikan senyumya