Some Five

1940 Words
"I found this. Is it yours?" tanya Radit menyodorkan dompet yang ia temukan kemarin, terkekeh saat melihat gadis di depannya menatap dompet itu dengan tatapan mendamba. “Punya kamu?” tanya Radit sekali lagi membuat gadis itu menganggukan kepala cepat. Deeva menatap dengan tatapan mendamba saat melihat benda yang ia ributkan tadi pagi dengan Reyhan dan seluruh keluarganya sekarang berada di depannya. "Ketemu!" pekiknya senang menerima dompet itu dari Radit. Ia meremas kesenangan dompet itu dengan kedua tangannya lalu melompat kesenangan tanpa memperdulikan pandangan Radit. Tawa Radit kembali menyadarkan Deeva. “Aduh ... makasih banget, Pak, saya nggak tau harus gimana lagi kalau dompet ini beneran hilang. Benda ini sudah kayak hidup dan mati saya,” ujarnya lebay. Radit menggelengkan kepala mendengar ucapan panjang lebar yang gadis itu ucapkan. Dia terlihat begitu menggemaskan. Matanya yang memandang penuh binar saat ia menyodorkan dompet itu membuatnya dan pria lain akan terpesona. "Kalau gitu saya ke kantor dulu," pamit Radit. "Pak tunggu!" panggil Deeva membuat Radit berhenti dan membalikkan badan. Ia melihat Deeva sedikit berlari mendekatinya. "Saya tau ini nggak pantas tapi, bapak mau ke kantin bareng saya. Saya traktir deh, sebagai ucapan terima kasih," ucap Deeva tersenyum ceria sembari menggoyangkan dompetnya seolah benda itu berisi banyak uang yang bisa digunakannya untuk hidup satu bulan penuh. Radit terdiam, menatap penuh arti pada gadis itu sebelum akhirnya mengangguk, membuatnya kembali memekik kesenangan lalu membawanya ke kantin kampus. Deeva mengajak dosen pengganti dosen terkiller di kampusnya itu ke kantin. Beberapa mahasiswi kedokteran dan beberapa fakultas lain yang berada di sana memandang Radit tanpa kedip seolah dia adalah santapan bagi mereka yang sedang kelaparan. "Maaf ya Pak. Saya cuma bisa traktir di kantin kampus. Maklum, mahasiswi duitnya terbatas karena masih minta," ucap Deeva ceria duduk di salah satu kursi panjang kantin membuat Radit kembali terkekeh. "Saya beneran setua itu ya. Sampai kamu tetap manggil saya Pak, walaupun sudah saya larang." Wajah Deeva bersemu saat Radit tersenyum menatapnya. "Rasanya nggak enak aja manggil nama. Kan, bagaimanapun juga bapak dosen di sini." Deeva menundukkan wajahnya tak ingin dosen muda ini melihat wajahnya yang memerah. "Saya hanya dosen pengganti. Saat kita berdua, kamu bisa manggil saya Bang, mas, atau Kak Radit. Umur kita tidak terlalu jauh," ucapnya ramah membuat Deeva mengangkat wajahnya dengan binar. "Beneran? Jangan nurunin nilai saya karena saya nggak sopan ya, kak," ujar Deeva membuat wajah lucu. “Saya bakalan minta mahasiswa yang lain ikut memanggil saya dengan panggilan itu. Rasanya umur saya tidak terlalu jauh dari kalian.” Radit kembali terkekeh melihat mimik wajah yang diperlihatkan gadis cantik di depannya. Matanya tak dapat berpaling, terus melihat gadis itu yang sedang memesan makanannya, sembari beberapa kali tertawa pada anak dari pemilik kantin seolah mereka sahabat dekat. "Mau pesan apa Pak, eh kak?" tanyanya membetulkan ucapannya. Masih belum terbiasa memanggil dosennya dengan panggilan akrab. "Samain aja," ucap Radit pada anak pemilik kantin yang langsung mengangguk. "Sering makan di sini?" "Saya?" tanyanya menunjuk dirinya sendiri lalu mengangguk. "Lumayan. Saat kelaperan karena nggak sempet sarapan di rumah dan saat perlu menenangkan diri setelah kelas terkejam dr. Riska." "Dia sekejam itu," kekeh Radit melihat wajah kesal Deeva. "dr. Riska itu kalau udah di kelas kejamnya ngalahin lucifer. Pokoknya sekeras apapun mahasiswanya mencoba, dapat nilai A di mata kuliah beliau tu bagaikan mancing di tengah laut pake pancingan yang terbuat dari bambu. Bisa, tapi susah mendapatkan ikan besar." Gelak tawa Radit yang awalnya ditahan akhirnya keluar. Tak tahan mendengar celetukan-celetukan yang Deeva lontarkan, terutama saat mendengar perumpamaan tak masuk akal yang dengan santainya Deeva keluarkan. Radit memperhatikan Deeva dalam diam, sifatnya yang ceria bisa membuatnya yang biasanya antipati dengan makhluk yang berjenis kelamin peempuan, akhirnya bisa membuat pengecualian. "Pak Radit, eh kak Radit kenapa bisa gantiin dr. Riska? Kak Radit dokter juga? Dokter apa? Residen atau masih internship?" "Wooow. Satu-satu pertanyaannya." "Ini kan pertanyaan yang bisa dijawab dengan satu jawaban panjang, kak," dengus Deeva membuat Radit kembali terkekeh. "Masih menyelesaikan internship di rumah sakit yang sama dengan dr. Riska. Beliau meminta tolong mengantikan jadi dosen pengganti, sementara beliau mengikuti beberapa seminar yang waktunya berdekatan." "minta tolong atau dipaksa?" Celetukan Deeva kembali membuat Radit tertawa. Beberapa mahasiswi yang sedari tadi menahan napas melihat senyum Radit langsung memekik melihat senyum mempesona dosen muda itu. "Kamu sepertinya tau banget tentang dr. Riska?" Deeva mengangkat bahunya, bersikap seolah ia tau segalanya. Obrolan mereka terhenti saat Anis, anak pemilik kantin mengantarkan pesanan mereka. Deeva menatap Radit diam-diam, meneliti bagaimana tampannya pria yang berada di depannya ini. Mata indah sedikit berada di dalam, tertutupi dengan hidung mancung dan rahang tegasnya. Senyum menawan dengan sedikit lesung pipi di bagian bawah bibirnya tampak menampah pesona yang pasti membuat semua kaum hawa klepek-klepek. "Hai, Honey!" teriak seseorang diselingi tawa mengerikan dari cabe-cabean di sekitarnya membuat Deeva menghentikan obrolan dengan dosen muda itu. Wajah ceria dan senyum ramah yang ia perlihatkan berubah menjadi kesal saat melihat Reyhan Arka Yusuf, musuh sekaligus sahabat terbesarnya mengangkat tangan, berusaha menyapanya dengan senyuman lebar yang membuat Deeva semakin eneg. "Lo kira gue lebah main panggil honey-honey aja," dengus Deeva kesal menatap tajam. Reyhan melepaskan rangkulan cabe kampus itu, lalu merangkul bahu Deeva. Mendekatkan bahu Deeva ke dadanya, memberikan sikaf defensive, sembari menatap dosen muda itu dengan tatapan yang tak bisa dikatakan bersahabat. "Han..lepasin ah. Sana ngumpul sama lebah-lebah yang suka gerayangin lo." Deeva meronta mencoba melepaskan rangkulan Reyhan. Matanya menatap para cabe-cabean yang perlahan menjauh, seolah mengerti bahwa Reyhan tidak akan meladeni mereka jika sudah bersama sahabatnya. Deeva bergedik ngeri saat semua pengikut ajaran sesat Reyhan itu menatapnya tajam seolah ingin menikam dan memakannya hidup-hidup. "Bagi gue lo ratu lebah yang dengan senang hati gue terima kalau gerayangin gue." "Najis LO!" pekik Deeva mendorong Reyhan sehingga membuatnya hampir terjungkal. "Sadis banget sih, Lo Dee.., gue bantu nyari dompet pink kesayangan lo, deh." Deeva tersadar sedang bersama dengan Radit saat Reyhan mengungkit masalah dompet. Ia tersenyum malu mulai kembali merubah image sangar yang ia perlihatkan kepada Reyhan menjadi image gadis baik-baik dan ceria seperti sebelumnya. Melihat Radit yang menatap ia dan Reyhan dengan rasa ingin tau. "Telat lo, udah ketemu. Han... Kenalin dia Kak Radit, yang ngembaliin dompet gue." "Kak Radit, kenalkan dia Reyhan. Orang paling nyebelin di dunia ini," dengus Deeva memperkenalkan balik Reyhan. Radit berdiri menjulurkan tangannya kepada Reyhan yang terkejut menyadari bahwa Deeva tidak sendirian. Pandangannya berkelana menilai penampilan cowok yang bisa dikatakan seperti pria yang usianya menuju dewasa yang ada di depannya. "Radit." "Reyhan." "Rey... Sini!" Reyhan mengalihkan pandangan menatap beberapa teman satu prodi memanggilnya dan menyuruhnya untuk bergabung bersama mereka. "Senang bertemu dengan anda. Saya permisi dulu mau ngumpul dengan yang lain,” ucap Reyhan datar seolah tak suka dengan keberadaan pria bernama Radit yang mencoba mendekati Deeva. ***** Reyhan mendesah. Badannya penuh dengan keringat, bahkan pakaian untuk bermain basket yang ia kenakan sudah basah. Kamis sore seperti ini jadwalnya bermain basket dengan anak laki-laki sekitar komplek perumahan mereka. Diteguknya air mineral dingin yang ia bawa hingga tandas. Mood-nya bermain basket tidak sebagus biasanya saat mengingat pertemuannya dengan Radit. Dosen pengganti yang akan mengantikan mamanya yang sedang sibuk dengan berbagai seminar kesehatan yang harus beliau hadiri beberapa bulan ini. Dadanya bergemuruh cepat. Ada rasa tak rela saat melihat bagaimana tawa yang Deeva perlihatkan pada pria itu. Tawa yang seharusnya hanya Deeva perlihatkan kepadanya, namun dengan mudahnya diperlihatkan kepada orang lain membuat dadanya panas. Dia tak ingin mengatakan bahwa dia cemburu. Dia meyakinkan dirinya sendiri bahwa dia tidak cemburu. Sebagai seorang sahabat, dia hanya tak suka membagi tawa ceria Deeva yang dulu hanya Deeva perlihatkan kepadanya. Reyhan meremas botol air mineral itu lalu melemparnya sembarangan. Botol itu terbang tinggi, hinga sampai ke ke kepala seseorang "ADUHHH!" pekikan keras Deeva menggema membuat Reyhan tersadar. Bergegas dia berlari memasuki halaman rumah tetangganya dan meringis saat melihat Deeva terduduk dengan memegang kepala. Ember yang Deeva bawa sudah tergeletak begitu saja, di sampingnya. Untung hanya berisi kain lap, sabun sachet dan sikat kecil, tanpa berisi air yang akan membuat penampilan Deeva semakin mengenaskan. "Lo nggak papa?" ucap Reyhan berhati-hati. "Lo ngelempar botol sialan itu ke gue ya?!" pekik Deeva kesal. Matanya menyalang melihat pria menyebalkan ini di depanya. Reyhan sedikit menjauhkan tubuhnya, mengerti dengan kebiasaan sahabatnya itu yang akan berteriak sekencang mungkin. Ditatapnya Deeva takut-takut. takut bahwa sahabatnya itu akan membalas apa yang dia lakukan dengan pukulan keras. "Sakit tau, Han..,” rengeknya mengusap kening, matanya mulai berkaca-kaca membuat Reyhan salah tingkah. "Sorry..gue nggak liat elo." "Lo ngapain buang sampah sembarangan sih, di rumah orang juga." Deeva berdiri tegap, mengambil dengan kasar ember beserta isinya itu lalu menyodorkannya ke Reyhan. "Bantuin gue nyuci mobil daddy." "Loh, kok gue." "Hukuman karena lo udah bikin 'INI'." Pekik Deeva membuka poninya dan memperlihatkan keningnya yang mulai memerah. Reyhan menatap kesal namun tetap saja mengambil ember penuh dengan peralatan mencuci mobil dari tangan Deeva. "Kenapa masih nyuci mobil bukannya dompet lo udah ketemu?". Reyhan menatap Deeva yang terlihat begitu santai hanya mengenakan kaos tipis berwarna biru muda dan celana pendek rumahan. Rambut panjangnya kembali ia cepol sembarangan sehingga memperlihatkan tengkuknya yang putih bersih. "Sayang kalau uangnya dibalikin ke mommy. Lumayan buat tambahan uang jajan yang lo palak kemarin." "Palak?! Enak aja gue cuman minjem." "Iya, minjem dengan maksa. Udah ah, lo harus tanggung jawab udah bikin gue kerja rodi selama 2 minggu ini. KERJAIN SANA!" perintah Deeva mendorong Reyhan mendekati mobil Alfian yang terparkir. Reyhan hanya bisa mendesah, tanpa bisa menolah perintah sahabatnya ini. "Bantuin dong, jangan cuma leha-leha sambil mandorin gue kayak gitu," sungut Reyhan menyodorkan selang air membuat Deeva terkekeh. Senyumnya mengembang sempurna, mengambil selang air itu lalu mulai memyiram mobil daddy-nya. Sedangkan, Reyhan masih saja menggerutu sembari mengusap bagian yang sudah Deeva siram dengan busa sabun. "Han..." "Ehm." "Menurut lo kak Radit gimana orangnya?" Aktivitas Reyhan membersihkan mobil terhenti, lalu menatap Deeva yang sedang menyiram bagian samping mobil yang lumayan kotor. "Gimana apanya?" Reyhan mencoba bersikap biasa-biasa saja, menatap Deeva yang tersenyum-senyum sendiri. "Ya..gimana gitu kesan pertama lo ke dia?" "Mana gue tau. Itu pertama kalinya gue kenal dia coba," ucap Reyhan sedikit ketus kembali menggosok kap mobil ayah Deeva dengan kuat. "Dasar laki-laki nggak peka. Ditanya kesan pertama malah nggak tau," omel Deeva sembari terus menyemprotkan air ke arah ban mobil yang kotor. "Menurut lo, dia gimana?" tanya Reyhan memancing. Menatap Deeva yang tersenyum sendiri dengan wajah berbinar. Ia tetap tak rela melihat sahabatnya itu tersenyum untuk pria lain, terutama pria yang baru dua kali ditemuinya itu. "Cakep, pinter, baik lagi," ucap Deeva tersipu, mengingat bagaimana senyum menawan pria itu saat mengembalikan dompertnya. "Lo yakin dia baik?" tanya Reyhan ketus membuat Deeva mengalihkan pandangannya menatap sengit sahabatnya itu. "Ya iyalah dia baik. Orang dia yang ngembaliin dompet gue tanpa kurang satu apapun." "Yakin dia nggak kayak gebetan lo dulu. Yang bikin lo termehek-mehek karena dipermainin." Perkataan Reyhan membuat Deeva mengingat kembali gebetannya sewaktu SMA yang mempermainkannya dan hanya menjadikannya sebagai bahan taruhan. Untung saja, Reyhan saat itu mengetahuinya sehingga membuatnya dengan cepat menyadari sikap kurang ajar cowok itu. "Lo kenapa sih, Han?!" teriak Deeva mulai emosi mendengar nada ketus yang Reyhan ucapkan. Terutama, saat Reyhan kembali mengungkit cinta monyetnya jaman SMA dulu. Ia mendengus menatap Reyhan yang terus saja menggosok tempat yang sama dengan sekuat tenaga. "Gue kan cuma nanya gimana kesan pertama lo tentang dia. Bukan minta comblangin sama dia. Kenapa lo ketus gini?!" pekik Deeva membalikan badan menolak menatap Reyhan. Dia mendumel betapa menyebalkannya Reyhan sekarang, sembari menyemprotkan air ke arah atas mobil. "HAN!" pekik Deeva saat merasakan tangan Reyhan yang masih penuh busa menyentuh lengan, lalu membalikan tubuhnya. Deeva tersentak saat melihat mimik wajah Reyhan nampak begitu serius. Mata jenaka yang sering ia perlihatkan kepadanya berubah tajam seolah meminta Deeva untuk menatap ke dalam matanya. "Kalau gue bilang gue cemburu, lo mau gimana?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD