Some Eight

1325 Words
Langkah Deeva berjalan cepat menyusuri lorong kampus. Tangisannya pecah, air matanya terus mengalir membuatnya menunduk menutupi tangisnya dari mahasiswa lain yang dia yakin menatap dengan penuh keingintahuan. Sadar yang dia lakukan terlalu kekanak-kanakan. Berteriak bahkan meninggalkan kelas saat pelajaran belum selesai membuatnya terlihat tak sopan. Tapi, ia benar-benar sudah tak tahan dengan pemikiran picik Rosy. Bagaimana mungkin sebagai calon dokter, wanita itu bisa dengan santainya mengucapkan hal yang demikian? Rosi memang tipe wanita egois, tapi dia tak pernah menyangka bawa wanita itu bisa berpikir licik seperti itu.  Langkahnya berjalan semakin cepat, saat melihat kerumunan mahasiswa yang baru saja keluar dari kelas. Dia ingin cepat menjauh dari tempat ini dan menyembunyikan tangisnya. “Hey ...” langkahnya terhenti saat merasakan kepalanya mengenai sesuatu. Dia mengangkat kepalanya sejenak, sebelum akhirnya kembali menunduk dan menutupi wajahnya untuk menyembunyikan tangisnya dari Reyhan. “Lo kenapa?” tanya Reyhan panik saat melihat wajah sahabatnya dipenuhi air mata. Mengalihkan pandangan ke sekeliling melihat banyaknya mahasiswa lain yang melihat tangisan sahabatnya itu. Dilepaskan jaket bomber yang ia kenakan lalu menutupi wajah Deeva dengan jaketnya. “Ikut aku.” Ajak Reyhan membawa Deeva menjauh dari kampus. Dia tahu bahwa sahabatnya ini tidak sedang baik-baik saja dan ingin menyembunyikan diri dari orang-orang sekarang. Deeva hanya bisa terdiam saat Reyhan menggenggam tangannya dan menariknya menjauh dari tempat ini. Dia sudah tak bertenaga sekarang, yang dia butuhkan sekarang hanyalah tempat yang sunyi untuk tempatnya bersembunyi dan menghilangkan tangis dan kekesalan yang sedang dia rasakan. ***** Reyhan menghela napas berat melihat Deeva. Wajahnya masih tertutup jaket bomber miliknya, namun gerakan bahu dan isakan yang perlahan terdengar memperlihatkan Deeva sedang menumpahkan semua tangis dan emosinya. Sebagai seorang sahabat yang menghabiskan waktu bersama Deeva selama lebih dari 14 tahun, dia tau apa yang Deeva inginkan sekarang.  Menangis sepuas mungkin untuk mengilangkan rasa sakit dan sesak yang dia rasakan. dan setelah itu, Sahabatnya itu akan kembali tersenyum seakan tak terjadi apa-apa. Mereka sekarang berada di dalam mobil Reyhan, bersembunyi dari dunia luar agar Deeva bisa menangis sepuasnya. Walaupun, ada rasa penasaran akan alasan di balik tangis yang Deeva perlihatkan, Reyhan memilih untuk diam. Dia tak ingin memaksa Deeva untuk bercerita. Dia sadar, bahwa jika Deeva sampai mengeluarkan tangisnya seperti ini, berarti ada yang sudah membuka rasa sakit yang selama ini dia simpan atau seseorang yang sudah membuatnya benar-benar kesal. Yang bisa Reyhan lalukan sekarang hanyalah berdiam diri dan membiarkan Deeva tenang dengan sendirinya. Deeva bukan tipe wanita cengeng yang sedikit - dikit akan menangis. Deeva adalah salah satu dari beberapa wanita yang kuat menghadapi situasi apa pun. Tingkahnya memang terkadang meledak-ledak, ucapannya terkadang memang tajam, tapi hati sahabatnya ini begitu lembut dan penuh perhatian. Deeva menghempaskan jaket Reyhan ke pahanya sehingga membuat Reyhan yang sudah menurunkan jok kursi mobilnya menegakkan badan. Wajahnya terlihat mengerikan, rambut yang dia banggakan terlihat berantakan, matanya sembab dan memerah, bahkan dengan cairan yang keluar dari hidungnya. “Itu ingus, dilap dulu napa?” ucap Reyhan memecah kesunyian, menyodorkan tissue yang akhirnya diambil Deeva dengan dengusan. Deeva dengan cepat mengelap ingusnya lalu menatap kesal ke arah Reyhan. Entah mengapa, melihat seringai mengejek yang diperlihatkan Reyhan membuat perasaaanya menjadi lebih tenang. “Udah puas nangisnya?” tanya Reyhan yang dijawab anggukan Deeva. Dia sudah lebih tenang setelah mengeluarkan semua emosi dan tangisnya. Dihela napasnya dalam sebelum akhirnya menatap ke arah depan. Melihat Reyhan yang sudah menjalankan mobilnya dan meninggalkan kampus membuat perasaannya sedikit tenang. Rasa sesak saat melihat seluruh teman sekelasnya menatapnya penuh rasa kasihan membuatnya muak. Dia tak perlu rasa kasihan dari mereka. Hidupnya tak akan lebih baik hanya dengan tatapan menyedihkan itu. Deeva menghela napas, matanya melirik ke arah Reyhan yang masih saja diam dan fokus dengan jalan yang ada di depannya. Dia tau Reyhan ingin menanyakan apa yang sebenarnya terjadi, namun cowok itu menahannya. Deeva tersenyum tipis, inilah yang dia inginkan. Dia tak ingin mengatakan semua yang terjadi hari ini kepada Reyhan dan membuat sahabatnya itu menatapnya dengan tatapan kasihan yang sama. Dia akan mengatakan semuanya kepada Reyhan, setidaknya tidak sekarang. “Han...” “Ehm...” dehem Reyhan tanpa mengalihkan pandangan dari jalan. “Mau nemenin gue ke suatu tempat?” tanya Deeva membuat Reyhan menatapnya lekat. “Tempat itu?” tanya Reyhan tau tempat yang Deeva maksud dari nada suara Deeva. Dihelanya napas dalam sebelum kemudian mengangguk. “nggak keberatan ke tempat itu setelah sholat jum’at, kan? Lo tau mama bakalan mencak-mencak kalau tau putra satu-satunya bolos sholat jum’at,” ucapnya santai membuat Deeva terkekeh, mengingatkan Deeva kan mamanya yang seakan seperti seorang dukun yang tahu bahwa dia tidak sholat jumat. Dia bahkan berani bertaruh, bahwa mamanya memiliki kesaktian yang selalu mengetahui bahwa dia bermain PS setiap bolos sholat jumat dan akhirnya akan selalu menyindirnya selama satu minggu penuh sehingga membuatnya tak berani bolos sholat jumat untuk kedua lalinya.  Reyhan bisa tersenyum lega setelah mendengar kekehan Deeva. Mobilnya masuk ke dalam kawasan mesjid terdekat, diambilnya peralatan sholat yang selalu dia bawa saat hari jum’at yang berada di kursi belakang. Sekali lagi menatap ke arah Deeva, “mau nunggu di sini atau ikut sholat juga?” tanya Reyhan khawatir. “Gue lagi dapet. Udah ah sana,” usir Deeva mencoba mengeluarkan Reyhan dari mobil. “Dasar,” desis Reyhan kesal. “Apus tu ingus, yeyek banget gue,” ucapnya menggeraklan bahu berpura jijik membuat Deeva berdecak dan menghapus cairan itu dari hidungnya. “Sialan,” decak Deeva kesal disambut tawa Reyhan. Deeva menatap Reyhan yang menutup pintu lalu berjalan menuju toilet mesjid untuk berganti pakaian. Wajah kesalnya perlahan berubah menjadi senyuman. Dia beruntung memiliki Reyhan yang selalu ada di sampingnya dan mengerti dirinya apa adanya. Deeva kembali menghela napas, mengambil kotak kecil yang ada di tasnya lalu melepaskan softlens min yang ia gunakan. Matanya lelah dan tak nyaman mengenakan benda itu terlebih setelah semua tangis yang ia keluarkan. Tangannya membuka dashboard mobil Reyhan dan mengambil kacamata bulat miliknya yang sengaja ia letakkan di sana. Deeva membuang tasnya ke kursi belakang sebelum akhirnya mendesah keras melihat penampilannya yang mengerikan. Dia kesal, bukan hanya kepada Rosy, tapi juga kepada dirinya yang terlalu terbawa perasaan hanya karena sebuah Film. Tapi, film itu mengingatkannya kepada dirinya dulu. Jika saja, Sumsum tulang belakang Ayahnya dulu juga tidak cocok untuknya, mungkin saja kedua orang tuanya akan melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan oleh orang tua Kate. Dia menarik napas dalam membuang pikiran itu. Sekarang dia sudah sehat, dan tidak kurang satu apapun. Tak perlu merisaukan semua kemungkinan buruk yang bahkan belum terjadi itu. **** Reyhan melepaskan peci yang ia kenakan lalu berjalan menuju mobilnya dengan masih mengenakan baju koko dan sarung berwarna merah marun. Penampilannya sekarang tak ayal layaknya seorang santri yang berada di lingkungan pesantren. Dia yakin Deeva pasti akan terbahak melihat penampilannya seperti sekarang. Dihela napasnya dalam sebelum akhirnya membuka pintu mobil, “jangan keta...” ucapan Reyhan terhenti saat melihat Deeva tertidur. Reyhan terdiam melihat penampilan Deeva. Kacamata bulat berbingkai tipis yang ia gunakan untuk menutupi wajah sembabnya terlihat terturun hingga di lekukan hidungnya. Mulutnya yang menggigit ujung jempolnya memperlihatkan kebiasaan Deeva saat sedang tidur. Dengan pelan, Reyhan duduk di kursi kemudi. Tangan kanannya bergerak ragu untuk merapikan anak rambut Deeva yang menutupi wajahnya, “Celaka...” desis Reyhan pelan, “...dia bahkan terlihat cantik saat tertidur dan mengenakan kaca mata bulat ini,” lanjut Reyhan menjatuhkan punggung ke sandaran kursi, menghela napas dalam mencoba menenangkan detak jantungnya yang berdetak keras melihat penampilan Deeva sekarang. Pikirannya melayang saat mereka memasuki tahun pertama mereka di SMA. Mata Abu-abu Deeva selalu menjadi olok-olokan zaman SD dan SMP membuat sahabatnya itu memutuskan untuk menggunakan softlense berwarna cokelat tua untuk menutupi warna mata aslinya yang abu-abu indah. Saat itu, Dia merasa Deeva sudah terlihat cantik dengan warna mata cokelat miliknya. Tapi, hari ini dia merasa Deeva bahkan lebih cantik mengenakan kaca mata bulat yang bagi sebagian orang terlihat kuno itu. Tangannya bergerak merapikan anak rambut Deeva yang menutupi wajah cantiknya, “bisakah aku terus menahan perasaanku, Dee?” gumam Reyhan mendongakan kepala mencoba menghentikan debaran jantungnya yang semakin menggila.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD