Some Nine

2273 Words
Deeva menghentakan kaki kesal berjalan masuk ke dalam toko buku, mall terdekat dari kampusnya. Matanya mendelik menatap Reyhan yang berjalan santai di sampingnya tanpa rasa bersalah, “Seharusnya, lo bangunin gue!” decak Deeva kesal karena Reyhan membiarkan dia tertidur tanpa membangunkannya, padahal dia tau bahwa mereka akan pergi ke suatu tempat yang memiliki waktu yang terbatas. Tempat yang selalu bisa membuatnya merasa nyaman setelah semua peristiwa tak mengenakan yang ia rasakan tadi. “lo tidur kayak gitu. Mana tega gue bangunin. Pake ngorok pula.” “SIAPA YANG NGOROK?! Pekik Deeva tanpa sadar, tak terima dengan ucapan Reyhan yang tak mendasar. Selama ini dia selalu tidur cantik dan tak pernah mengeluarkan suara-suara aneh itu. Dia yakin cowok menyebalkan di depannya ini sedang membuat lelucon. “Sttt...” Desisan dari orang-orang di sekitar membuat Deeva mengigit ujung bibirnya pelan. Tak sadar bahwa mereka sudah masuk ke dalam toko buku dan mengganggu beberapa pengunjung di sana yang sedang berjuang untuk membaca buku gratis. Dengan cepat, Deeva menundukan kepala, meminta maaf sembari menarik tangan Reyhan yang tertawa geli. “Jam besuk udah mau habis, Han..” bisiknya kesal mengambil buku anak-anak yang tersusun rapi di rak depan, lalu mendorongnya ke d**a Reyhan sehingga membuat sahabatnya itu kewalahan. “Itu udah tau. Daripada lo ngomel nggak penting kayak gini mendingan cepet,” jawab Reyhan mengambil beberapa buku anak-anak di depannya tanpa memilih lalu menarik tangan Deeva menuju kasir. Reyhan menatap kedua tangannya yang penuh dengan plastik putih berisi beberapa buku cerita dan mainan yang Deeva beli sebelumnya. Pandangannya beralih menatap Deeva yang berjalan di sampingnya. Kacamata baca bulat yang sengaja Deeva tinggalkan di mobilnya tadi sudah terlepas begitupula lensa kontak hitam yang kadang-kadang dia gunakan untuk menutup iris mata abu-abunya yang menakjubkan. Matanya masih terlihat sembab efek menangis tadi. Diam dan mengantarkan Deeva ke suatu tempat yang sering dia kunjungi di saat suasana hatinya buruk seperti ini adalah hal yang paling tepat dan juga yang paling Deeva butuhkan sekarang. “Han... kita kesana sebentar,” tunjuk Deeva saat melihat stand kecil yang menjual aksesoris perempuan. “Buat siapa?” Reyhan terdiam saat memandang sahabatnya itu terdiam. Deeva mengambil jepit rambut berbentuk pita berwarna ungu, menatap jepit rambut itu dalam kemudian mengangkat kepala ke arah Reyhan. “Mirip hadiah pertama yang daddy beri waktu aku di rumah sakit dulu,” ucapnya lirih seolah mengingat kembali rasa sakitnya. “Berapa mbak?” Tanya Reyhan tiba-tiba mengambil jepit rambut itu dari tangan Deeva. “Hadiah dari aku sekarang. Ayo pergi. Katanya jam besuk mau habis.” Reyhan menjepitkan jepit rambut ungu itu ke rambut Deeva, lalu membawa dua kantong plastik putih itu dengan tangan kirinya lalu mengandeng tangan Deeva seolah memberinya semangat untuk melupakan rasa sakit yang dulu dia rasakan. ***** Deeva menghela napas dalam menatap bangunan besar di depannya. Hal yang pertama yang selalu dia lakukan saat kembali memasuki tempat yang mempunyai ruang tersendiri di pikirannya. Ruang kelam yang ingin dia ubah menjadi terang dan penuh warna dengan memori lain yang ingin dia coba buat di sini. Dia menatap rumah sakit tempatnya di rawat dulu dengan perasaan yang campur aduk. Tempat ini hampir tak pernah berubah sejak dia pertama kali di rawat dulu. Taman rumah sakit, tempat dia pertama kali bertemu dengan Daddy-nya dulu masih terlihat sama. Bunga-bunga berwarna – warni yang menghiasi taman itu kembali membawa ingatan masa lalu ke dalam pikirannya. Deeva sedikit tersentak merasakan tangan kanannya digenggam seseorang. Dia mengangkat kepala dan terdiam saat melihat Reyhan menatapnya penuh kelembutan seolah memberinya semangat dan mengatakan bahwa masa lalu kelamnya itu telah berhasil dia lewati. Senyuman cerah yang Reyhan perlihatkan membuat perasaan Deeva kembali tenang. Deeva menghembuskan naasnya dalam, memegang jepit rambut ungu yang tadi Reyhan berikan kepadanya sejenak, sebelum akhirnya melangkah riang masuk ke dalam rumah sakit itu. “Sore...” sapa Deeva ceria pada beberapa wanita berseragam putih dengan ornamen hijau di depan sebuah meja administrasi. “Jam besuk sudah mau habis, kamu baru datang,” kekeh Fatmi, salah seorang perawat yang sudah begitu mengenalnya membuat Deeva memainkan hidung. Perasaannya sudah jauh lebih baik saat melihat beberapa perawat yang dulu merawatnya, begitu pula perawat yang sudah mengenalnya sedang berkumpul bersama membicarakan sesuatu. “Sibuk kali, Tante,” kekeh Deeva diselingi canda membuat perawat senior itu tertawa  “Ini buat tante dan kakak – kakak cantik semua.” Deeva menyodorkan satu kotak kue sus dan risoles ke hadapan suster jaga yang disambut hangat mereka. “Ciye baik banget,” celetuk Rima, salah satu suster muda di rumah sakit ini yang dekat dengannya. Umurnya yang tidak terlalu jauh, begitupula dengan kesukaan mereka dengan semua hal yang berbau Korea membuat mereka sering pergi nonton konser Kpop ataupun ikut Fan Greeting bersama. Yah, walaupun aktivitas itu sering membuat Reyhan mendumel karena harus menjadi supir pribadi mereka. “Ye.. kak Rima, baru tau kalau Deeva baik, ckckck..” ucapnya bangga sembari sedikit mengangkat bahu berpura-pura sombong, kembali membuat semua orang terkekeh sembari menggelengkan kepala melihat tingkah ajaib gadis cantik itu. Hampir semua suster jaga, dokter, pasien bahkan cleaning service bangsal pediatri ini mengenal Deeva. Dia sering mengunjungi bangsal dimana dia menghabiskan separuh masa kecilnya ini untuk kembali mengingat bahwa dia dulu pernah merasakan apa yang dirasakan para pasien anak di bangsal ini. Dia ingin semua pasien anak di tempat ini tahu bahwa mereka masih memiliki harapan untuk tetap hidup dan melanjutkan hidup mereka dengan penuh tawa dan keceriaan seperti yang dia rasakan sekarang. “Kamu sendirian?” Deeva menggeleng, “Nggak, tadi sama...”  ucapan Deeva terhenti saat menyadari Reyhan tak berada di dekatnya. Keningnya berkerut, kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri mencari keberadaan cowok menyebalkan itu, hingga tatapannya berhenti di suatu titik. “Ish....”Dengusannya terdengar keras, tatapan bingung yang tadi dia perlihatkan berubah bosan saat melihat Reyhan kembali dikerubungi banyak perempuan. Bukan cabe-cabean seperti yang Deeva lihat di kampus melainkan para perawat muda yang akan menghabiskan masa internship di rumah sakit ini. Deeva mendelik  bosan saat beberapa perawat itu terlihat tertawa dan menggodanya. Bukan seperti para cabe-cabean kampus memang yang menggodanya dengan penuh hasrat terpendam, perawat intern ini terlihat lebih bermoral dengan melakukannya secara halus, seperti memujinya. Yah, walaupun pujian yang sayup-sayup terdengar, terlalu berlebihan untuk menggambarkan sosok menyebalkan seperti Reyhan. “Wuidih...” decak Rima mendorong tubuhnya ke depan dengan kedua tangan menggenggam ujung meja administrasi. “Baru kamu tinggal dikit aja udah di godain sama cewek tetangga, Va...” Ledeknya lagi menatap wajah Deeva yang terlihat bosan, lalu terkekeh. “Dasar Playboy cap Kabel, nggak bisa liat colokan nganggur, main nyamber aja.” Deeva menggelengkan kepalasambil mencibir. “Hei… Den bagus datang juga. Mami lagi nggak ada lo, nggak bisa ngerengek minta uang jajan ni…” ledek Rima dengan sedikit keras mempermalukan Reyhan. Tawa Deeva meledak saat melihat tatapan kagum yang diperlihatkan para perawat magang itu berubah terkejut. Bahkan, beberapa dari mereka berbisik satu sama lain. Tawanya semakin meledak, tangannya menghapus air yang keluar dari sudut matanya. Deeva yakin setelah ini, beberapa perawat itu mengundurkan diri dari daftar tunggu cewek – cewek yang ingin menjadi pacar Reyhan, begitu beransumsi bahwa Reyhan adalah anak mami yang selalu merengek minta uang jajan hingga ke rumah sakit. “Puas..” desis Reyhan memandang kesal kepadanya. Deeva kembali mengulum senyum kemudian mengerlingkan mata, “Pake banget…” katanya geli. “Biar semua wanita yang mengerubungi lo, tau gimana lo sebenarnya, Baby boy.” Deeva menepuk bahu Reyhan yang menatapnya tak terima, kemudian sedikit berlari dengan tawa yang masih terbahak menuju bangsal anak yang berada tak jauh dari meja adiministrasi yang sekarang dipenuhi gelak tawa ledekan untuk Reyhan. Tawa Deeva berubah bergantikan dengan senyuman lemah saat melihat ke arahjendela kaca salah satu ruangan yang memperlihatkan beberapa anak sedang asyik bermain. Ruangan itu tidak seperti ruangan lain di rumah sakit yang terlihat mengerikan dengan warna putih polos. Dinding ruangan itu di d******i warna hijau, biru dan orange muda dengan tempelan-tempelan wallstiker berbagai bentuk yang membuat ruangan itu penuh warna. Rak penuh dengan buku bacaan dan beberapa mainan yang tersusun rapi sengaja disediakan untuk pasien anak-anak agar mereka tidak bosan berada di rumah sakit setelah pemeriksaan dan perawatan panjang yang harus dirasakan beberapa dari mereka. Deeva membuka pintu geser ruangan itu dengan sedikit bersemangat, membuat mereka yang sedang asyik bermain menghentikan aktivitas mereka. “KAK DEEEVAAA!” pekik mereka keras bersamaan menyambut Deeva yang berdiri di depan pintu. “Ya…” kekeh Deeva geli saat Tino, pasien anak bertubuh tambun yang dirawat paska operasi amandel yang dijalaninya mengambil salah satu plastik berisi mainan yang Deeva bawa. “Kak Deeva, bawa semua ini untuk kita juga, kan,” balas anak itu membuat Deeva menggelengkan kepala, kemudian mengusap rambut anak itu sebelum akhirnya menyodorkan plastik penuh mainan itu. “Woi! DAPAT MAINAN LAGI?!” pekiknya keras membuat kembali tertawa terbahak melihat tingkah menggemaskan anak laki-laki tambun itu. Dia tersenyum riang saat beberapa anak yang berlari riang, saling berebut mainan itu satu sama lain. Senyum riang Deeva perlahan hilang bergantikan ke senyum tipis saat matanya melihat anak perempuan berada di salah satu sudut ruangan menatap lemah kerumunan orang di sana. Deeva mengigit ujung bibirnya, menatap anak perempuan itu dengan pandangan mata berkaca. Pakaian pasien yang kebesaran membungkus tubuhnya yang ringkih, topi rajut yang menutupi kepalanya membuat Deeva menahan napas. Yakin bahwa topi rajut yang dikenakan gadis kecil itu untuk menutupi rambutnya yang mulai rontok efek dari kemoterapi menyakitkan yang harus dia jalani untuk bertahan hidup. Melihatnya berdiam diri dan hanya bisa menatap teman seusiannya yang asyik berebut mainan membuat hati Deeva kembali teriris. Air matanya ingin kembali terjatuh. Gadis kecil itu seperti refleksi dirinya. Dia juga pernah mengalami hal yang sama dengan gadis kecil itu. Bagaimana rasa sakit yang dia alami, mengikis sedikit demi sedikit keceriaannya dan membuatnya harus berpura-pura tegar mommy-nya tak menangis. Deeva mengusap butiran air mata yang tak dapat dia tahan sebelum akhirnya menghela napas dalam. Tak ingin gadis kecil itu tau bahwa dia menatapnya dengan tatapan iba. Dengan langkah perlahan, Deeva mendekati gadis kecil itu lalu duduk di sampingnnya. “Nggak pengen rebutan mainan kayak yang lain?” gadis kecil itu terkejut melihat kedatangan Deeva yang kini sudah berada di sampingnya. Dia mengangkat kepala sejenak, lalu mengalihkan pandangan ke arah teman-teman seusianya yang mulai bermain, sebelum kemudian menggeleng. “Kata dokter, Fanny nggak boleh main boneka sama lari-larian dulu.” Deeva tersenyum pedih saat gadis kecil itu menyebutkan namanya. Tiffany, nama gadis itu. Dia yakin bahwa kedua orang tua gadis kecil itu ingin anaknya selalu ceria dan berkilau layaknya perhiasan yang diberi brand nama yang sama dengan namanya. “Dokter takut Fanny muntah lagi kayak kemaren waktu main lari-larian, terus kata dokter, debu yang nyangkut di boneka bisa buat d**a Fanny sesak, makanya Fanny cuma bisa diam di sini aja,” ucapnya panjang lebar sembari terus menatap iri teman-temannya yang sedang bermain dengan riang. Deeva menatap gadis kecil itu lekat, dadanya terasa nyeri saat melihat bayangan dirinya kecil menggantikan Tiffany di sampingnya. Ternyata rasa sakit yang dia pikir sudah dia lupakan masih terperangkap dalam ingatannya. Dipejamkan matanya sejenak sebelum akhirnya mengusap kepala gadis itu lembut. “Dokter minta kamu seperti itu biar kamu cepet sembuh,” ucap Deeva lembut membuat Fanny mengarahkan pandangan kepadanya. Iris mata berwarna hazel milik Fanny, bertemu dengan iris mata abu-abu miliknya, “Menurut kak Deeva, Fanny bisa sembuh?” Tanya Fanny dengan mata berbinar. “Tentu saja,” jawab Deeva cepat dengan nada riang. “Kak Deeva juga pernah ngalamin kayak kamu, tapi lihat sekarang. Kak Deeva udah sembuh dan cantik kayak gini.” Deeva berdiri dan memutar tubuhnya dengan riang membuat wajah sedih yang tadi Fanny perlihatkan hilang bergantikan rona cerianya. “Fanny beneran bisa jadi kayak kak Deeva? Rambut Fanny bakalan panjang lagi, kan kak? Terus Fanny bisa Makai jepit rambut kayak punya kak Deeva itu lagi kan?” Tanya riang penuh semangat membuat Deeva terkekeh. Deeva berjongkok di depan Fanny lalu menggenggam tangannya erat. Dia mengambil jepit rambut yang Reyhan berikan, lalu menjepitkannya ke topi rajut Fanny. “Pasti…” mengambil cermin kecil yang selalu dia bawa, “Lihat,” unjuk Deeva kepada Fanny. “Kamu aja sudah cantik dengan jepit rambut ini di topi, apalagi nanti kalau kamu sudah sembuh dan rambut kamu panjang lagi. Kak Deeva yakin kamu nggak akan pernah mau motong rambut kamu sampai kapanpun.” Deeva memperhatikan saat Fanny melihat wajahnya yang terpantul dari cermin kecil miliknya. Senyum manis yang diperlihatkan Fanny menularkan happy virus yang membuatnya mau tak mau ikut tersenyum. Perasaannya sedikit lega saat melihat wajah cantik gadis kecil itu mulai memancarkan cahaya. Tak ada lagi tatapan lesu dan tak bersemangat yang Fanny perlihatkan di awal pertemuan mereka tadi. “Jepit rambutnya buat Fanny?” Tanya gadis kecil itu disambut anggukan Deeva. “A… makasih kak Deeva!” pekiknya memeluk Deeva erat. Perasaan Deeva menghangat. Pelukan yang berikan Fanny memberikan perasaan lain untuknya. Berpikir, mungkin inilah yang dirasakan Daddy-nya saat pertama kali, dia memeluk daddy-nya dulu. Mungkin perasaan inilah yang membuat daddy-nya berubah menjadi orang yang berbeda dari sebelumnya. “Jam bermain udah habis loh, kenapa kamu masih di sini?” Suara familiar terdengar dari arah belakang membuat Deeva terdiam. Dia merasakan Fanny melepaskan pelukannya. “Om dokter!” pekik Fanny riang. Deeva berdiri, penasaran siapa Om dokter yang dimaksud Fanny sehingga bisa membuat gadis kecil itu memekik riang hanya dengan mendengar suara beratnya. Dan juga entah mengapa suara pria yang ada di belakangnya itu terdengar begitu familiar di telinganya. Dengan cepat, dia membalikan tubuhnya dan terkejut saat melihat seseorang yang baru dia kenal berada di depannya, menggendong Fanny dengan satu tangan. Tunggu dulu! Deeva terperanjat saat melihat jas putih yang dikenakan orang itu, “B-bapak..eh, k-kakak, dokter di sini?!” pekiknya tak percaya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD