Some Seven

2530 Words
“Han...” “ASTAGFIRULLAH!!!!” pekik Reyhan terkejut saat Deeva sudah berada di depan pintu mobilnya saat ia baru saja keluar. Pandangan matanya berubah kesal saat melihat wajah sahabatnya itu ada di depannya Menatapnya dengan tatapan sayu. Ingatan tentang sahabat gilanya menanyakan pertanyaan sensitive itu kembali menyeruak. Tanpa belas kasih, Reyhan sedikit mendorong tubuh Deeva sehingga membuatnya menyingkir. Bergegas ia berjalan menuju ruang kelas, namun tertahan oleh tangan Deeva yang menggenggam tangannya. “Haaaannnn...” rengeknya mengubah genggaman itu menjadi cengkraman saat Reyhan berusaha melepaskannya. “Maafin gue dong,” rengeknya dengan wajah cemberut. Reyhan yang tak peduli dengan rengekan Deeva berusaha melepaskan cengkraman tangannya sembari terus berjalan membuat Deeva menarik tangannya. “Hannnn... maafin gue dong. Masa lo sensi banget sih sama pertanyaan itu,” rengeknya terus menarik tangan Reyhan yang tak memperdulikannya. “HAANNNNN.” Rengekan Deeva semakin keras sehingga membuat beberapa mahasiswa yang masih berada di parkiran menatap ke arah mereka. “Lepasin. Malu tau nggak?” ucap Reyhan risih melihat sikap Deeva. Dengan setengah paksaan, dia berhasil melepas cengkraman tangan Deeva dan berusaha menjauh saat gadis manja sahabatnya itu berusaha merubah cengkraman tangannya dengan memeluk kaki kanannya persis seperti anak kecil yang merajuk meminta sesuatu pada ayahnya. “Lepasin...” Reyhan menatap sekelilingnya malu dengan tingkah Deeva yang terkadang tak tau malu. “Gue nggak bakalan lepasin kaki lo sebelum lo maafin gue. Hann....” rengeknya menatap Reyhan dengan mata memelas seperti kucing bersepatu boots dalam serial Shrek. Reyhan seakan tak peduli, terus saja berusaha melangkah membuat Deeva semakin merengek. “Han... maafin gue. Lo kan tau kalau nggak ada lo nggak ada yang ngaterin gue. Masa lo tega sih buat gue ikut daddy terus tiap pagi. Lo kan tau daddy perginya pagi. Gue jarang ada kelas pagi, masa lo tega ngelihat gue kayak gembel pagi-pagi di kampus tanpa ngelakuin apapun,” ucapnya cerewet membuat Reyhan ingin tersenyum geli namun ia tahan. Reyhan kembali memasang wajah tak peduli. Terus saja berjalan sehingga membuat Deeva terseret. Deeva berusaha sekuat tenaga menahan langkah kaki Reyhan hingga saat tenaganya sudah mulai terkuras habis, “gue janji bakalan ngelakuin apapun buat nebus kesalahan gue,” ucapnya cepat membuat Reyhan menghentikan langkah dan menatap Deeva dengan senyum kemenangan. Get it. Deeva meneguk air liur menyesali kata-kata terakhir yang dengan sembarangan dia ucapkan. Senyum kemenangan yang Reyhan perlihatkan menyatakan bahwa cowok menyebalkan sekaligus sahabatnya ini akan melakukan hal-hal yang akan merugikannya nanti.Dia menahan napasnya, saat Reyhan berhenti melangkah dan menundukan kepala menatapnya dengan seringai misterius, “Lo beneran mau ngelakuin apapun?” Deeva melepaskan pelukan pada kaki kanan Reyhan, berdiri sembari mengibaskan bagian belakangnya yang berdebu. Helaan napasnya kembali terdengar berat, sadar bahwa seringai ini akan memberikan petaka untuknya, seperti yang sudah – sudah. “Lo mau apaan?” tanya Deeva merajuk membuat senyum Reyhan semakin lebar. “Ehmmm...” Reyhan berpura-pura berpikir. “Entar deh gue pikiran. Gue laper jadi nggak bisa mikir apapun. Gue dari malam tadi belum makan apapun,” ucapnya memberi kode pada Deeva. Deeva memainkan hidungnya kesal, mengerti apa yang Reyhan mau, “Ya udah kita ke kantin. Gue traktir,” rengutnya. Reyhan menatap perubahan rona wajah Deeva, melihat wajah kesal sahabatnya membuatnya sedikit melupakan kejadian sore kemarin. Sepertinya akan menarik jika ia mengerjai Deeva sekarang. “Nggak iklas?” tanyanya. Reyhan membalikan badan berpura kesal “Ya udah, gue...” “Iklas kok.” Deeva menarik tangan Reyhan menghentikan kepergiaannya. “Gue beneran iklas kok.” Reyhan tersenyum cerah, “beneran?” kekehnya melihat Deeva menampilkan senyum terpaksa. “Good girl. Ayok..gue dah laper,” ucapnya merangkul bahu Deeva. “Ah lupa...” ucapnya melepaskan rangkulan bahunya lalu berjalan ke arah mobilnya dan membuka pintu belakang. Deeva mengernyitkan kening melihat Reyhan mengambil sesuatu dari kursi belakang mobilnya. Dia mengangguk kecil saat sahabatnya membawa maket bangunan rancangannya dengan kedua tangan. Seolah tak peduli dengan apa yang Reyhan lakukan Deeva berusaha meninggalkan Reyhan yang membawa maket itu. “Tunggu!” ucap Reyhan dengan nada perintah mau tak mau membuat Deeva menghentikan langkah. Reyhan berjalan ke arah Deeva lalu menyerahkan maket bangunan itu ke tangan Deeva. “Bawain!” “Kok gue?!” pekik Deeva tak terima disuruh-suruh mengembalikan dengan paksa maket itu ke tangan Reyhan. “Owh gitu. Nggak mau. Ya udah. Anggap permintaan maaf lo tadi nggak pernah ada,” kata Reyhan dengan nada datar mengambil kembali maket dari tangan Deeva kemudian berjalan. Deeva terlihat panik. Dengan cepat, dia mengambil maket bangunan itu kemudian berjalan mendahului Reyhan. Biarlah untuk saat ini dia mengalah dan membawakan maket sialan itu, daripada Reyhan masih tetap ngambek dan membuat harus kehilangan supir pribadi untuk beberapa hari ke depan. “Cuma sampe kantin, kan?” tanyanya sedikit kesusahan membawa maket bangunan besar dengan kedua tangannya. “Liat nanti,” ucap Reyhan memainkan dahi. Dia memasukan kedua tangannya ke dalam saku jaket bomber yang ia kenakan lalu berjalan meninggalkan Deeva dengan lagak seorang tuan muda kaya raya. Deeva mencengkram tangannya, kesal dengan sikap senga yang diperlihatkan Reyhan. Jika saja ia tidak melakukan kesalahan kepada pria itu. Ia pasti akan meremas wajah sok tampan yang Reyhan perlihatkan tadi. ****** Deeva masuk ke dalam kelas dengan menggerutu. Mood-nya benar-benar berantakan karena sikap semena-mena yang Reyhan perlihatkan tadi. Pria itu kembali menghabiskan uang saku pengganti yang Rani berikan hanya untuk sarapan pagi yang porsi makannya lebih banyak dari memberi makan sepuluh orang kuli bangunan. Dasar Kebo, hewan memamah biak! “Kenapa sih cyiin, pagi-pagi udah manyun aja?” tanya Nisa membawa buku tebal kedokteran miliknya lalu duduk di samping Deeva. Melihat orang yang sudah berteman dengannya sejak masa orientasi mahasiswa baru itu merengut. “Biasa. Ada yang jarah harta berharga gue,” celetuk Deeva kesal. Putri dan Angga yang baru saja masuk ke ruangan dan mendengar ucapan kesal Deva hanya bisa tertawa geli, mengerti maksud ucapan Deeva. Mereka iri melihat persahabatan Deeva dan Reyhan yang terlihat begitu dekat, bahkan tak ayal mereka terlihat seperti orang yang sedang kasmaran, ketimbang menjadi sahabat. Walaupun, mereka yakin bahwa salah satu di antara mereka nanti akan melanggar garis tak terlihat yang sengaja Deeva dan Reyhan buat “Skripsi lo gimana?” tanya Putri mencoba mengalihkan pembicaraan, namun malah membuat Deeva semakin murung. Teringat kembali dengan skripsi yang sedang dia kerjakan. “Jangan ditanya. Gue lagi muak sama data-data yang gue susun,” ucapnya tak semangat. Entah apa yang ada dipikirannya dulu dengan memilih jurusan kedokteran sebagai cita-citanya. Dia tau bahwa profesi yang akan dia jalani begitu berat, tapi dia tak pernah menyangka bahwa jalan yang dia lalui untuk mendapatkan title dokter di depan namanya akan begitu panjang. Bahkan hanya untuk mengerjakan skripsinya dia harus melakukan berbagai penelitian yang sesuai dengan topik yang ia ambil. “Hari ini kita ngapain?” tanya Deeva akhirnya duduk di tempatnya. Angga yang sedari tadi sibuk dengan handphonenya mengangkat kepala, “Diskusi kelompok,” ucapnya singkat sebelum akhirnya kembali menatap benda tipis itu. “Katanya asdos tampan itu mau diskusi tentang kanker,” ucap Putri berbinar memainkan pulpen bulu-bulu warna pink miliknya. Membayangkan bagaimana asisten dosen  itu akan berdiri di depannya dan menjelaskan pelajaran dengan wajah tampan dan d**a bidang yang terlihat jelas. Deeva mendesah melihat rona berbinar yang Putri perlihatkan, tau apa yang ada di pikiran temannya itu. Yakin bahwa teman centilnya ini hanya akan memandang penuh kekaguman pada Radit dan tak akan mendengarkan penjelasan asisten dokter tampan itu. “Pagi...” sapa Radit. Wajah Deeva tanpa sadar sedikit merona saat melihat pria tampan itu tersenyum kepadanya. Pekikan Rosy saat melihat senyuman yang sama menyadarkan Deeva. Dasar cewek rese. Batinnya kesal menatap Rosy yang menghancurkan suasana. Radit melihat ekspresi kesal yang diperlihatkan Deeva saat mendengar pekikan mahasiswi yang tak ingat ia namanya, sedikit terkekeh melihat wajah Deeva yang tersipu saat tanpa sengaja mata mereka bertemu. Wajah cantik dengan iris mata Abu miliknya membuat Radit tak dapat menutupi kekagumannya. Dia berdehem pelan melupakan kekagumannya dan merubah raut wajahnya menjadi serius sembari memandang mahasiswa yang akan ia ajar untuk beberapa minggu ke depan. “Seperti yang saya katakan pada pertemuan sebelumnya. Buat kelompok beranggotakan 4 sampai 5 orang. Kita akan studi kasus.” Deeva duduk di kelilingi para partner in crime-nya. Sejenak matanya menyalang menatap Rosy yang terus memandangnya dengan rasa tak suka. Dendamnya karena dulu Deeva pernah menghancurkan rencana jalannya dengan Reyhan membuat wanita itu terus memusuhinya. Deeva menatap tak peduli. Diambilnya ikat rambut yang berbentuk gelang miliknya lalu mulai mencepol rambut panjangnya. “LEUKIMIA.” Gerakan tangan Deeva berhenti saat melihat pada layar proyetor terlihat tulisan besar. Dadanya bergemuruh saat kembali mendengar penjelasan Radit tentang leukimia. “Sekarang perhatikan ke depan. Saya akan memutarkan film berjudul My sister’s keeper. diskusikan masalah yang terjadi di dalamnya dan menurut kalian sebagai calon dokter, sudah tepatkah tindakan yang terjadi di film itu untuk pasien leukimia dan orang-orang di sekitarnya,” ucap Radit mulai menghidupkan aplikasi pemutar film. Lampu yang awalnya menerangi ruangan perlahan redup. Deeva kembali meneguk air liur, berusaha menonton film yang akan kembali memutar ingatannya tentang penyakit yang ia derita dulu. Adegan pertama yang memperlihatkan tokoh cantik yang bernama Anna sedang bermain di halaman rumah bersama kakaknya yang sedang duduk di sun lounger sembari meniup balon sabun. Wajah Deeva perlahan membeku. Pandangan matanya memandang film itu dengan tatapan tak fokus saat melihat bagaimana aktris perempuan yang memerankan Kate harus memakai penutup kepala untuk menutupi kepalanya yang botak seperti dirinya dulu. Deeva menggigit ujung bibirnya guna menahan tangisnya yang ingin keluar saat melihat Kate harus mengalami hal yang sama dengannya pasca kemoterapi. “Va...” panggil Nisa membuatnya tersadar. “Kamu nggak papa?” tanyanya melihat wajah Deeva yang memucat dengan keringat dingin membasahi wajahnya. Deeva mengambil tissue dari tasnya lalu mencoba tersenyum menatap Nisa. Dihembuskan napasnya sekali lagi sembar mengatakan pada dirinya sendiri bahwa dia bisa menonton film ini sampai selesai. ***** Suasana yang berubah menjadi terang pertanda film telah selesai diputar. Deeva kembali menghela napas dalam. Wajahnya masih saja sendu memikirkan apa yang terjadi pada Kate akan terjadi padanya suatu hari nanti. Dokter memang menyatakan bahwa ia sudah sehat. seperti Kate yang terus membutuhkan donor dari adik bungsunya. Deeva hanya melakukan transplantasi sumsum tulang belakang saat ia masih kecil. sumsum tulang belakang yang diberikan oleh Daddynya beradaptasi dengan baik. Tubuhnya sudah bersih dari sel kanker yang menggeroginya beberapa tahun yang lalu. Tapi, ketakutan akan munculnya sel kanker sekunder terutama pasca terapi radiasi dan kemoterapi yang ia lakukan dulu menghantui hidupnya. “Dari film yang barusan kalian tonton. Menurut kalian, apakah tindakan Sara untuk menyelamatkan hidup Kate sudah benar?” tanya Radit berjalan ke depan meja lalu duduk dengan satu kaki menggantung sembari menatap ke arah mahasiswa kedokteran yang sedang fokus memperhatikan. “Salah.” Perkataan Rosy memecah keheningan yang terjadi. Dengan muka angkuh karena telah berhasil menjadi orang pertama yang merespon membuatnya berbangga diri. Ditegakkan bahunya sembari menatap ke semua orang dengan penuh percaya diri. “menurut saya, apa yang dilakukan Sara itu salah. Bagaimana mungkin ia melakukan rekayasa genetik hanya untuk menciptakan anak yang akan menjadi ‘spare part’ untuk kakaknya?” Suara riuh menjadi pertanda persetujuan dari mereka semua yang mendengarkan penjelasan Rosy. Deeva hanya berdiam membiarkan Rosy mengutarakan pendapatnya. Melihat reaksi dari yang lain membuat Rosy semakin besar kepala, “Menurut saya, Sara tidak pantas menjadi seorang ibu.” “Lalu menurut kamu, tindakan apa yang lebih pantas dilakukan Sara untuk menyelamatkan anaknya?” Semua orang terkejut mendengar ucapan Deeva, termasuk dirinya sendiri. Tak pernah menyangka bahwa dia bisa membantah pendapat Rosy, mengingat selama ini dia selalu berdiam diri dan menerima perlakuan Rosy kepadanya. Tapi, dia sudah tak tahan dengan semua ucapan angkuh Rosy yang menyalahkan tindakan Sara. “Sara melakukan semua hanya untuk menyelamatkan anaknya yang terkena penyakit mematikan,” ucap Deeva membuat semua orang menatap interaksi yang terjadi di antara dia dan Rosy. “Termasuk menciptakan anak yang DNAnya mirip dengan Kate agar anak itu menjadi spare part untuk Kate?” “Jika itu satu-satunya jalan untuk menyelamatkan Kate, aku yakin apa yang dilakukan Sara sudah benar.” Ucapan Deeva membuat suasana menjadi riuh. Teman-temannya yang lain terlihat tak setuju dengan ucapan Deeva. Berbisik tentang Deeva yang tak punya hati nurani karena setuju dengan tindakan Sara yang menurut mereka tidak masuk di akal. Deeva mencoba tak mengindahkan mereka. Tindakan Sara mengingatkannya akan Rani. Dia yainMommy-nya juga melakukan hal yang sama untuk menyelamatkannya. Tau bahwa Mommy-nya mengalahkan egonya untuk menemui daddy-nya dan terpaksa memohon untuk meminta donor sumsum tulang belakang, padahal Deeva tau bahwa hubungan mommy dan daddy-nya dulu tidak bisa disebut sebagai hubungan antar suami istri yang normal. “sudah benar?” kekeh Rosy penuh kemenangan saat mendengar suara ricuh yang menguntungkannya. “Membiarkan Anna yang masih kecil harus merasakan jarum sebesar ‘ini’ melubangi tulang belakangnya ...” ucap Rosy memperlihatkan kelingkingnya untuk menunjukan besar jarum, “...yang harus siap sedia memberikan organ tubuhnya jika organ tubuh Kate mengalami kegagalan pasca radiasi dan kemoterapi?” “lalu bagaimana dengan Kate?” tanya Deeva menatap satu persatu teman-temannya yang tadi menyorakinya. “Kalian pernah membayangkan bagaimana sakitnya Kate harus menahan penyakit yang menyerang tubuhnya? Menahan rasa sakit paska kemoterapi atau menahan rasa sakit saat sel kanker itu kembali menyerang organ tubuhnya yang lain?” tanya Deeva dengan suara bergetar menahan rasa sakit yang menggerogoti hatinya saat mengingat keadaan Kate. Matanya mulai berkaca, namun beberapa kali ia pejamkan guna menahan air matanya yang mulai terjatuh. “Ayolah Deeva, Kate sudah menyerah akan penyakitnya.” “TAPI BUKAN BERARTI KITA SEBAGAI DOKTER JUGA MENYERAH UNTUK MENYEMBUHKANYA!” pekik Deeva berdiri dari kursinya. Suaranya menggebu mengejutkan teman-temannya yang lain. Emosi yang sedari tadi ia pendam akhirnya ia keluarkan membuat semua orang menatapnya. “Kalian nggak pernah tau bagaimana Kate berjuang melawan penyakitnya selama bertahun-tahun sebelum akhirnya menyerah akan hidupnya,” ucap Deeva nanar membuat Radit yang sedari tadi memperhatikan perdebatan mereka terdiam. “Ayolah Deeva, ini hanya film,” ucap Rosy santai membuat Deeva berdecak. “Film?” desis Deeva tertawa menyakitkan, “mungkin ini film bagi kalian. Tapi, ini juga adalah kenyataan yang harus dihadapi oleh para penderita Leukimia.” “Jangan berbicara seperti kamu pernah mengalaminya,” kekeh Rosy membuat mata Deeva menyalang. “Karena aku memang pernah mengalaminya!” teriak Deeva keras membuat semua orang terperanjat. “Aku juga mengalami hal yang sama dengan Kate. Berjuang melawan penyakit yang sama, juga pernah merasakan bagaimana sakitnya jarum sebesar jari kelingking kalian melubangi tulang belakangku atau merasakan rasa sakit paska kemoterapi yang menggerogoti tubuhku.” Air mata yang akhirnya ia tahan perlahan keluar saat kenangan masa lalu yang seharusnya ia lupakan kembali menguak layaknya rol film yang terus memutar menampilkannya dalam ingatan. Deeva menghapus air matanya yang keluar lalu kembali menatap Rosy dan teman-temannya yang lain, “Seharusnya sebagai dokter yang harus kalian lalukan adalah mencari cara untuk menyembuhkan Kate, bukan malah menyerah hanya karena pasien yang kalian obati sudah menyerah akan hidupnya. Seharusnya kalian....” Deeva tak dapat melanjutkan kata-katanya saat air matanya jatuh dengan deras. Dengan cepat, ia merapikan alat tulisnya lalu pergi meninggalkan ruangan tanpa kata-kata lainnya. Radit menatap punggung Deeva yang berjalan keluar ruangan dengan nanar. Raut kesedihannya terlihat jelas mendengar apa yang Deeva ucapkan tadi. Tak pernah menyangka, gadis yang ia lihat selalu ceria dan menampilkan senyum manisnya ternyata menyimpan rasa sakit yang tek pernah bisa ia bayangkan sebelumnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD