Some Feeling in Teenage

2067 Words
tujuh tahun yang lalu ... “Bagaimana?” tanya Reyhan yang masih menggunakan seragam putih biru berdiri menyambut Deeva yang baru saja keluar dari mobil yang dikendarai oleh Mommy-nya. Revan yang masih berumur delapan tahun, mendelik ke arah Deeva sembari karena kakaknya itu membuatnya gagal pulang degan cepat. Reyhan terlihat terkejut saat melihat sahabatnya itu mengenakan kacamata yang cukup tebal. Deeva tak membalas pertanyaannya, berjalan menghentakan kaki menuju teras rumahnya lalu menghempaskan pantatnya ke kursi yang ada di teras. Kening Reyhan berkerut namun tetap mengikuti langkah Deeva, saat dia melihat wajah sahabatnya itu masam bergegas, dia berjalan menuju dapur rumah sahabatnya itu. “Mau buat apa, Rey?” tanya Tante Rani yang baru saja mengganti pakaian dengan pakaian santai melihat ke arahnya. “Buat Deeva, Tante ... kesel banget kayaknya,” kekeh Reyhan mengambil gelas dari kabinet bawah, sebelum kemudian mengambil sirup jeruk kesukaan Deeva dari kulkas, mengambil es dan menuangkan sirup, es dan menambahkan air. Sudah berteman selama 8 tahun dengan sahabatnya itu membuatnya tahu apa kesukaan Deeva jika sedang kesal seperti ini, Jika tidak Greentea maka gadis itu minimal harus meminum sirup jeruk sedingin mungkin. Melihat dua gelas sirup jeruk yang dia buat membuatnya dengan cepat berjalan ke arah depan, melewati tante Rani yang sudah terbiasa dengan tingkahnya dan Deeva. Mommy Deeva itu sudah terbiasa melihatnya seliweran di rumahnya, masuk ke dalam dapur hanya untuk membuat minuman atau mengambil snack yang memang selalu tersedia di sana. “Hati-hati Deeva mengaum ya, Rey ... Dia kesel habis dari dokter mata tadi,” canda Tante Rani membuat Reyhan terkekeh. “Ini makanya Rey bikin sogokannya dulu, tante ...” kekeh Reyhan. Dia keluar dengan dua tangan penuh dengan es jeruk untuknya dan Deeva. Dia menghentikan langkahnya saat melihat wajah sahabatnya itu melamun. Sementara, di meja sampingnya ada kacamata yang baru dia kenakan tadi. Dia mengurungkan niatnya untuk berjalan keluar, kembali masuk ke dalam rumah. Berjalan ke arah pintu samping lalu kembali keluar. Langkahnya berubah menjadi mengedap saat melihat tubuh Deeva yang membelakanginya. Tangan kanannya yang memegang gelas dingin itu bergerak dan menempelkan ke pipi Deeva sehingga membuatnya memekik. “Kunyuk!” pekik Deeva kesal hampir saja memukul Reyhan, namun tak jadi saat melihat tangan Reyhan membawa es jeruk kesukaannya. Dengan cepat, dia menyabar es jeruk itu lalu menghela napasnya dalam. Kembali menghempaskan pantatnya, lalu tatapannya berubah sendu saat melihat kacamata yang ada di meja itu. “Han ... kata dokter gue harus pake kacamata ...” Rengek Deeva kesal dengan wajah yang memerah. Matanya berkaca, namun sekuat mungkin dia tahan, “Katanya mata gue Min, harus pakai kacamata. Gue nggak mau ...” rengek Deeva kini mulai mengeluarkan tangisnya sehingga membuat Reyhan bingung. Dia meletakan minuman untuknya ke meja, lalu menarik kursi ke dekat Deeva. Dia duduk di depan Deeva sembari membiarkan sahabatnya itu menangis untuk membuang kekesalan yang dia rasakan. Reyhan menunggu dengan tenang, tanpa bicara sedikit pun, sembari tersenyum pilu melihat sahabatnya itu terus mengeluarkan air mata. Setelah menunggu hampir 10 menit dia melihat Isakan Deeva mulai reda. Dengan cepat, dia mengeluarkan tisue kecil dari tas Deeva -Dia tahu sahabatnya itu selalu membawa tissue kecil di tasnya sejak SD. “Sudah nangisnya?” tanya Reyhan saat Deeva mengambil tissue yang Reyhan sodorkan kepadanya, lalu menghapuskan air mata yang membasahi wajahnya itu, sembari menarik cairan hidungnya yang mulai meler. Deeva tahu bahwa dia tampil begitu mengertikan di depan Reyhan, namun dia tak peduli. Sahabatnya itu sudah mengetahui sisi paling jelek dari dirinya, dan dia tak peduli. “Emangnya pakai kacamata kenapa? Daripada dengan pakai kacamata lu nggak bakalan tanya-tanya gue lagi, tulisan di papan tulis apaan,” kata Reyhan membuat Deeva mendengus. “Tapi kan ... gue bakalan jelek kalau pakai kacamata,” rengeknya. Reyhan yang mendengar ucapan Deeva itu terkekeh, namun dengan cepat mengalihkan pandangan dan membuat rautnya menjadi biasa. Mengambil kacamata milik Deeva yang ada di atas meja, lalu memakaikan ke wajah sahabatnya itu. “Sama saja ...” ujar Reyhan memperhatikan wajah Deeva seksama dengan wajah yang serius membuat Sahabatnya itu mengangkat kepalanya dan membalas tatapan Reyhan. “Apanya yang sama?” tanya Deeva saat kedua tangan Reyhan menangkup wajahnya. Reyhan mulai mengeluarkan seringai, lalu dengan cepat menekan kedua pipi chubby Deeva. “Sama-sama jeleknya, pakai kacamata atau nggak,” ledek Reyhan lalu melepaskan tangannya dari wajah Deeva sebelum kemudian berlari. “BANGKE!” pekik Deeva kesal kemudian berlari mengejar sahabatnya itu yang berlari menghindarinya setelah meledeknya seperti itu. Dia terus mengejar Reyhan yang berlari menghindar, mulai dari masuk ke dalam rumah, terus berlari menyusuri lorong menuju ruang persembunyiannya lalu menutup pintu dengan cepat. “HAN, BANGKE LU! BUKA NGGAK?!” pekik Deeva kesal menggedor pintu tempat persembunyian mereka namun, sahabatnya itu tidak menggubrisnya. “Nggak. Lu kalau gue buka bakalan mukul gue. Gue Cuma jujur. Kan kita nggak boleh bohong?” ujar Reyhan terus menahan pintu yang ingin di dobrak Deeva itu dengan tubuhnya. “Buka nggak!” “nggak!” pekik Reyhan terus menahan pintu mendengar gedoran Deeva yang semakin menggila. Namun, entah mengapa gedoran itu akhirnya berhenti, bukannya lega Reyhan malah semakin ketakutan. Tanpa sadar, matanya menatap ke arah pintu yang satu lagi. Brak! Benar saja, Reyhan memekik kaget saat melihat pintu itu terbuka lebar, dengan memperlihatkan Deeva di sana dengan tangan di pinggang. Tatapannya terlihat kesal, membuat Reyhan ketar ketir. Dia mengangkat tangannya dengan tubuh yang luruh ke lantai saat melihat Deeva dengan cepat menyambar bantal sofa lalu berjalan ke arahnya. “DEE!!! Sooorrryyy! Gue Cuma bercanda sumpah!” pekik Reyhan memekakkan telinga saat Deeva mulai melancarkan pukulannya kepada Reyhan yang terus berteriak meminta ampun. ***** Deeva menghempaskan kembali bantal sofa kesal sembari menatap Reyhan yang sudah luruh ke lantai dengan tangan yang terus menahan pukulannya. Dia mendelik sebelum kemudian berjalan ke arah sofa yang ada di tengah ruangan itu lalu menghempaskan tubuhnya, matanya mendongak menatap ke arah jendela yang ada di atasnya. Jendela itu terbuat dari kaca film, sehingga sinar matahari tidak terlalu menyengat dan bisa membuat mereka berlama-lama menatap awan-awan yang berarak saat siang dan taburan bintang saat malam harinya. Sudah hampir delapan tahun sejak bangunan ini di bangun. Dan mereka berdua tak pernah bosan untuk berada seharian di tempat ini. Semakin hari, barang-barang di tempat ini semakin penuh dengan barang-barang milik mereka berdua. Kedua orang tuanya bahkan kedua orang tua Reyhan tidak pernah masuk ke dalam ruangan ini. Tanggung jawab atas kebersihan tempat ini menjadi tanggung jawab mereka sejak dulu. Reyhan yang selalu rapi akan memarahi Deeva yang biasanya cenderung berantakan. Mungkin, dia bisa mengalah tentang apapun, namun tidak dengan masalah kebersihan. Dia akan selalu marah jika Deeva kembali memberantakkan tempat ini. Deeva mendengus saat melihat Reyhan berjalan takut-takut ke arahnya, mengembalikan posisi bantal sofa dengan rapi, sebelumnya duduk di sebelahnya. Dia meringis saat Reyhan mengusap lengan korban pemukulannya tadi, dia sadar bahwa pukulannya tadi cukup keras sehingga membuat lengannya memerah. “Sakit ...” ujar Reyhan mengusap lengannya. “Rasain!” decak Deeva kesal membuat Reyhan hanya bisa terdiam. Deeva menarik napas dalam, sebenarnya dia mengerti candaan yang Reyhan lontarkan tadi adalah untuk mengubah moodnya, dan Reyhan selalu berhasil dengan itu, walaupun akhirnya dia akan berakhir dengan hal yang sama. Bagian lengan dan bahu yang memerah karena pukulan Deeva. Tapi, sahabatnya itu tidak pernah marah ke arahnya. Kesedihannya karena diharuskan dokter menggunakan kacamata, perlahan menghilang. Dia menatap Reyhan yang kini duduk di sampingnya sembari mendongak ke atas. “Beneran nggak terlalu jelas ngelihat ya Dee?” tanyanya membuat Deeva mengikuti arah pandangannya, lalu mendesah. “Kayak kabur begitu. Kata mommy karena gue kebanyakan nonton deket banget sama TV, tapi kata Dokter juga karena keturunan. Mommy dulu matanya juga sama kayak gue, minus parah, terus di lasik pas 17 tahun, baru normal,” ujarnya mendesah. “Gue 17 tahun masih 3 tahun lagi...” lirihnya menundukan kepala. “Jadi selama tiga tahun ini gue harus pakai kacamata, atau nggak kata dokter harus pakai lensa kontak. Gue ngeri ngebayangin harus pakai benda itu di mata, kalau keculek bagaimana?” Deeva mengambil kaca kecil di dinding yang ada di belakang mereka, lalu melihat wajahnya. Hormon pertumbuhan yang tak normal membuat wajah mulutnya cem p****t bayi berubah menjadi berjerawat besar-besar. Dia melirik ke arah Reyhan yang terus berteman dengannya dan tak meninggalkannya, berbeda dengan teman-teman baru yang awalnya menggejeknya, perlahan berubah menjauhi bahkan meledeknya. Deeva tak dapat membayangkan bagaimana dirinya jika tak memiliki sahabat seperti Reyhan. Permasalahannya bukan hannya masalah wajah, namun juga karena iris mata abunya itu. Beberapa kali, dia mendapat pembullyan karena warna matanya berbeda dengan orang Indonesia kebanyakan. Jika saat SD banyak orang yang kagum dengan warna mata cantiknya, berbeda saat dia mulai masuk SMP. Teman sekolahnya sering mengira dia kegatelan karena mengira dia pergi ke sekolah dengan menggunakan lensa kontak, bahkan beberapa gurunya terlihat tak suka dengannya dan terus mengatakan hal-hal yang tak seharusnya dikatakan oleh guru. Sebelum akhirnya, Deeva yang hanya diam memberitahu Daddy dan membuat Ayahnya itu datang ke sekolah. Bukannya marah-marah, karena anaknya dibully. Daddy melakukan hal yang elegan sehingga membuat guru-guru tak berkutik dan meminta maaf secara langsung atas kata-kata mereka yang menyakitinya. “Gue SMA mau yang jauh dari rumah,” ujar Deeva ke arah Reyhan yang duduk di sampingnya. “Tadi, sebelum ke dokter mata, Mommy ngajakin gue ke dokter kecantikan untuk melihat penyebab muka gue yang ancur ini,” lirihnya. “Gue nggak mau ketemu sama ‘mereka’” lirih Deeva membuat Reyhan mengernyitkan kening mendengar ucapannya sebelum kemudian mengerti dengan kata ‘mereka’ yang diucapkan oleh Deeva. Setelah insiden Deeva menangis kejer karena dipermainkan oleh Kakak kelas yang melakukan taruhan hanya untuk membuktikan warna mata Deeva itu asli atau tidak. Deeva memang dimusuhi hampir semua oranng. Dan mungkin itu membuat sahabatnya ini trauma. Dia mengerti kenapa Deeva menangis saat dokter memintanya untuk menggunakan kacamata karena takut bahwa dia akan kembali di rundung oleh teman satu sekolah lagi. “Hei ... jangan takut. Kan lu masih punya gue,” ujar Reyhan membuat Deeva yang awalnya mendongak kembali menatap Reyhan. Walaupun dia cowok tapi tubuh Reyhan masih belum berkembang dengan sempurna, berbeda dengannya yang mulai meninggi, tubuh Reyhan beberapa sentimeter di bawahnya sehingga membuat pria itu terlihat mungil. Kadang ini yang membuatnya meledek sahabatnya itu, dan itu adalah salah satu cara untuk membuatnya senang. Baginya keberadaan Reyhan di sisinya, sudah cukup membuatnya bermakna. Dia tidak membutuhkan teman lain, yang bisa dijadikan tempat sampah. Cukup Reyhan yang mengetahui semua seluk beluk dirinya. “Kita tinggal satu semester lagi kan? Kamu sanggup bertahan?” tanya Reyhan membuat Deeva terdiam sebelum menghela napas dalam, bingung ingin menjawab apa. “Mau nggak mau aku harus bertahan kan? Selama dua setengah tahun terakhir ini, aku sudah cukup bertahan dengan segala perlakukan yang mereka lakukan. Apa salahnya aku bertahan sedikit lagi,” desah Deeva. Reyhan yang melihat wajah lemah sahabatnya itu menarik tangan Deeva lalu menggenggamnya erat. Membuat Deeva terkejut saat jemari Reyhan menaut jemarinya. Senyum Reyhan yang manis, menatapnya dengan lembut membuat semua kesedihannya perlahan menghilang. “Lu tahu kalau gue selalu ada di samping lu kan. Lu mau sekolah kemana juga ntar bakalan gue temenin, tenang saja,” kekeh Sahabatnya itu kemudian mengacak rambut Deeva sehingga membuatnya mendengus. “Bangke!” pekik Deeva merapikan rambutnya sebelum kemudian melepaskan tangannya dan kembali memukul lengan Reyhan sehingga membuat Sahabatnya itu tertawa, Dia bangkit dari tempat duduknya, lalu mengacak pinggang menatap ke arah Deeva yang mendongak menatapnya bingung. “Sudah ah galaunya. Gue laper ... makan yok, Tadi gue liat tante Rani masak ayam goreng.” Ujar Reyhan menarik tangannya agar keluar dari tempat persembunyian mereka menuju rumahnya. Deeva menggelengkan kepala melihat kelakuan Reyhan bagaimana mungkin dia terlalu nyaman dengan keluarganya, sampai lebih mengerti mommy yang memasakkannya ayam goreng daripada dirinya sendiri. “Tante Riska nggak pulang lagi?” tanya Deeva membuat Reyhan mendengus. Mengingat Mamanya adalah seorang dokter yang sukses membuatnya jarang bertemu dengan beliau. Sahabatnya ini lebih sering makan siang di rumah tetangganya yang tak lagi adalah rumah Deeva/ “Biasa, masih di rumah sakit,” desahnya. “Lalu Danira?” tanya Deeva menyebutkan adik Reyhan yang hanya berbeda beberapa bulan dengan Revan itu. “Danira dibawa ke rumah Eyang. Mama sama Papa bakalan nggak pulang sampai malah soalnya.” “Terus lu ... kenapa nggak ikut ke rumah eyang?” “Males. Nggak bisa ngapa-apa juga di sana. Kalau di sini kan gue masih punya lu,” ujar Reyhan cepat membuat senyum malu-malu Deeva kembali terlihat mendengarkan bagaimana sahabatnya itu lebih mementingkan untuk bermain bersamanya daripada harus pergi ke rumah eyangya bersama Danira.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD