satu

1161 Words
s**t. Seumur-umur menjalani hidup begini, aku belum pernah ada di posisi yang membahayakan. Semuanya berjalan santai, obrolan mengalir di pub, atau kalau memang ingin suasananya yang sedikit romantis, biasanya aku dan siapapun dia bertatap muka di restoran. Selesai. Aku nggak bekerja pada mereka untuk menghasilkan uang. Astaga, aku tidak semurah itu. Semuanya hanya mengalir, karena kebiasaanku dan Bebel yang suka sekali nongkrong di pub dan aku baru tahu kalau banyak laki-laki di sana, sedang menenangkan diri dari penatnya hidup. Baik asmara, karir dan aspek penting lainnya. Lalu, semuanya berjalan begitu saja. Berkenalan dengan mereka, ngobrol santai dan ... entahlah, kenapa pula dengan Mas Agra ini bisa menjadi begini. Diberi uang? Gratis? Tanpa seks? Siapa yang nggak mau bertemu laki-laki bodoh macam dia? Bukankah sudah kubilang, kalau aku sedang tak ingin jatuh cinta, maka kupikir meladeni Mas Agra tak akan buruk. Ternyata, aku malah kebablasan. Menjadi bergantung hingga nyaris setengah tahun. Dan, semuanya terasa wajar, seperti tak ada yang salah. Tidak begini. Adalah perempuan dengan kulit putih bersih, berambut pendek sebahu sedang berjalan dengan begitu tegas, menuju pintu kafe. Aku nggak akan kalang kabut kalau tidak mengenalnya. Wajahnya terlalu familiar meski belum pernah bersemuka langsung. Sebab, laki-laki t***l di depanku ini tidak kenal kata bosan, memperkenalkan bagaimana membahagiakan awal-awal pernikahan mereka. "Sebodoh apa otakmu, Mas, sampai membawa istrimu ke sini di saat aku ada di sini, hm?" "Tata... Aku refleks di telepon tadi. Demi Tuhan aku nggak bermaksud bikin kamu kalang kabut. Maaf, kamu..." Wajahnya pias bersamaan dengan sang perempuan yang mulai memasuki area dalam kafe. "Pindah ke meja sebalah, Ta. Tolong." Sambil mengepalkan tangan di samping tubuh, aku mencondongkan wajah. "Ternyata yang bodoh di sini memang kamu, bukan Mbak Lolita." "Aku tahu," desisnya. "Kita bahas itu nanti, sekarang aku mohon, pindah meja sebelah, Tata." "Kalau aku nggak mau?" "Bukan cuma aku yang hancur, tapi kamu dan keluargamu juga." "Aku bisa cari seribu yang seperti kamu." "Enggak akan bisa kalau dunia tahu siapa kamu." "Bajingan." Ia tertawa kecil, dan aku malah ikut tertawa, lalu dengan cepat berpindah duduk meja sebelahnya, bertepatan dengan kehadiran sang istri. Lucu banget posisi seperti ini. Gila ya, aku pengin terbahak, menertawakan diri sendiri yang bisa-bisanya terjebak dalam situasi konyol. Adakah hal lain yang lebih memalukan daripada duduk sendiri, di samping pasangan yang suaminya adalah sumber uangmu? Well, mari simak siaran langsung dari laki-laki bodoh bernama Agraprana Bayuadjie bersama istrinya. "Kamu tadi kok jauh banget sih, Mas, makan malam di sini? Mendingan dari kantor langsung balik ke rumah. Bisa jagain Dilara." Aku meringis, memilih pura-pura fokus pada mug di tangan, padahal telinga masih bisa mencuri dengar. Harusnya aku kabur. Astaga, Tuhan! "Tadi ada teman di sini. Jadi, sekalian ngopi dulu. Kamu mau pesan sesuatu?" "Enggak deh. Aku sebenarnya tadi mau ke rumah klien-ku di sekitaran sini, makanya begitu kamu bilang lagi di Kuningan, aku mampir. Kayaknya nanti malam aku nggak pulang. Kamu tidur sama Dilara ya?" "Iya. Kamu hati-hati, jangan terlalu lelah untuk sidang lusa." "Kamu juga istirahat di rumah. Yaudah, aku berangkat ya. I love you." "Love you too." Aku pura-pura mau muntah sesaat setelah Mbak Lolita keluar kafe. Di depanku, Mas Agra tertawa kecil sambil menyesap kopinya. "Gimana rasanya, Mas?" "Apa?" "Bilang 'I love you' saat di sampingmu ada perempuan yang suka nemenin malam-malam kacaumu?" "Rasanya ... agak sedikit aneh, tapi cukup mengundang adrenalin." "Gila!" Pasangan yang sangat aneh. Terlihat mewah di luar tapi rusak dalamnya. Menggelikan banget ya dua orang dalam pernikahan itu. Bukan pernikahannya yang kacau, tetapi dua pelaku yang terlibat. Omong-omong, when do you think a person is ready for marriage? Usia dini pun sering kali nggak menjadi patokan pernikahan akan mengerikan, karena banyak bukti yang bisa membawanya adem-ayem. Yang menikah dewasa pun banyak yang gagal juga. Jadi, aku kadang suka bingung dan mendapatkan jawaban dari Mas Agra yaitu, "Saat dia merasa yakin kalau dia sanggup menghadapai segala masalah setelah ijab kabul." "Berarti, Mas menikah di waktu yang nggak siap, itu kenapa nggak bisa mengatasi dan malah mencariku?" Mas Agra yang ramah, tersenyum. "Bukan, Tata. Kamu akan merasakannya sendiri nanti, kalau kamu sudah menjalaninya. Semua terasa indah saat dibayangkan, Merasa sangat yakin, tetapi dunia itu penuh dengan kejutan yang diluar kapasitas kita. Hal-hal sepele, bahkan sering kali menjadi penyakit." Terkadang, aku sungguh bingung. Bagaimana mungkin dua orang yang saling mengutarakan cinta, lalu bisa mencela ketika salah satu di antaranya tak bisa memberi satu hal yang diinginkan? Aku menyalahkan Mas Agra karena dia jelas adalah pria yang tak bisa menerima ketidaksempurnaan sang istri entah dalam kontkes apa pun. Namun, di sisi lain, Mbak Lolita juga keliru. Ia harusnya paham bahwa ketika sudah menikah, bukan hanya ada dia dan tentangnya, tetapi semuanya berputar menjadi apa kebutuhan pasangan. Untuk itu, aku tidak ingin menikah ... setidaknya, saat ini. Tidak ingin. Semuanya terasa rumit. Aku belum menemukan jawaban pasti kapan seseorang sebetulnya siap untuk berumah tangga. Dan, aku sepertinya memang tidak akan siap. Baik karena ketidakpercayaanku lagi akan cinta maupun ketidakmampuanku seperti Mbak Lolita; menyempurnakan diri untuk pasangan. Sekarang, yang perlu kulakukan hanyalah tersenyum, mengirimi uang untuk Tavisha agar tetap lanjut kuliah dan orang tua agar selalu terpenuhi. Itu aja. Aku nggak muluk-muluk minta dinikahi Direktur yang lagi berjalan di sampingku ini, karena aku sudah menekankan pada diri, jangan terlibat dalam hubungan yang akan membuat kepala pening. Jangan sekali-kali. "Mau mampir dulu, Mas?" Kepalanya menggeleng. "Dilara nanti nyariin. Lain kali aku mampir." "Boleh titip salam buat Dilara?" Aku tersenyum geli. "Bilang, 'Dilara sayang, kamu dapat salam dari Tante Tata, teman ngobrolnya Ayah' hahaha." "Lucu ya, Tata. Sana masuk." "No kiss?" Dahinya berkerut, tetapi selanjutnya ada tawa geli yang kudengar. "Enggak. Aku nggak mau jadi gila dengan menginginkan dua perempuan dalam satu waktu. Tugasmu hanya sebagai temanku, Tata, dan aku membayarmu untuk itu." "Ugh," Aku pura-pura menyentuh d**a, memperagakan kalau sedang terluka. "Menyakitiku, Kakanda. Hahaha. Oke, aku masuk. Hati-hati ya." Pelan, aku berjinjit, berbisik di telinganya, "Jangan sampai Dilara tanya 'Ayah, kok wangi parfumnya beda?' nanti, bahaya. Kamu jantungan dan mati, aku jadi tersangka." "Tata...." "Iya, Mas?" "Jangan menggodaku. Aku cukup kuat iman untuk hal satu ini. Aku pernah menunggu berbulan-bulan saat Lolita hamil dulu." Kutepuk pundaknya, mencoba menghilangkan debu tak kasat mata. "Wah, sebuah prestasi yang cukup mengagumkan, Wahai Bapak Direktur. Apakah aku harus menunduk hormat sekarang?" "Kamu hanya perlu masuk, aku pulang dan semuanya beres. Kamu yang keras kepala, jangan sok menggoda laki-laki, kalau balon sungguhan dan balon-balonan pun belum bisa membedakan." "Gemblung dasar!" Kami sama-sama terbahak, momen paling bodoh yang aku tahu ini menjadi salah satu dambaan Mas Agra dan Mbak Loli nggak bisa memenuhi itu saking sibuknya. Semuanya berlangsung begitu saja, sampai sebuah tepukan tangan menyadarkan. Kutoleh ke samping, ada tetangga-messy-hair-ku sedang berdiri, bersandar di pintu unitnya sambil tersenyum lebar. "Mantab! Ini alasan Mas Agra mati-matian tanya spesifik nama gedung apartemen baruku? Ini alasan Mas Agra setiap pergi ke daerah Kemayoran? Punya klien di sini, Mas?" Aku masih melongo di tempat, sementara tetangga itu berjalan mendekat. Kulirik, di sampingku ... kenapa Mas Agra pias? Kenapa tangannya mengepal? "Halo, Tata..." "Bhadra...." to be continued ...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD