dua

959 Words
Life sucks. Percaya hal itu? Mungkin bagi yang belum pernah merasakan bagaiaman alam bercanda, akan mencibirku. Lain lagi dengan mereka yang senasib, aku yakin tidak akan pikir dua kali untuk menepul pundak dan berusaha menguatkanku. Mengapa aku mengatakan bahwa life sucks? Nyaris satu tahun berjalan normal, 'hubunganku' dan Mas Agra sepertinya akan bubar dan aku kehilangan segalanya. Coba lihatlah, di hadapan kami, Bhadra sudah bersedekap, bersandar di sofa dengan kaki bersilang, sesekali ia menggosok sudut bibir sambil terus menatap aku dan Mas Agra bergantian. Tata, life is not always great. At times it may not even feel okay. And now, my life simply and honestly sucks. Aku ingin kabur dari apartemen orang asing ini. Aku ingin mengguyur kepala dengan air hangat dan berendam sedikit lebih lama dadi biasanya. Dan, aku ingin segera bertemu dengan empuknya kasur. Namun, jelas saja itu cuma boleh dibayangkan, karena realita mematahkan. Bhadra kembalu berujar, "Tata." Aku menatapnya, malas. "Bukan cuma saya yang bisa melihat bakat itu," senyumnya tipis. "ternyata Mas Agra juga dan dia malah sudah ..." Kepalanya menoleh pada Mas Agra. "sampai tahap mana, Mas? Pengalihan harta gono-gini? Kamu temenan sama pengusaha itu ya, makanya kepikiran buat nyimpen satu yang kayak Tata?" Astaga ...! Aku ingin merobek mulut Mas Agra agar tak hanya diam. Jawab kek, bela diri kami agar tak terlalu memalukan seperti ini, tetapi, Mas Agra akan tetap menjadi Mas Agra. Yang nggak akan pernah...   "Tata cuma sebagai teman curhat Mas. Dia bukan seperti yang kamu bayangkan, Dra." "Masa? Apa emangnya yang aku bayangin? Hm? Dibayanganku tuh Tata ini kalau lagi naked, pasti seksi banget." Anjrit! Mataku seketika membeliak, tetapi dengan senyuman sinis, Bhadra melanjutkan. "Lihat dari bentuk bibir, kayaknya dia passionate banget kalau ciuman ya, Mas? Gimana, Mas? Oh jangan lupa, dia kalau pake dress, betisnya mulus banget. Tipikal perempuan yang nggak geli buat dipijat di rumah kecantikan." "Bhadra...." Yang dipanggil mengabaikan, malah mencondongkan wajah ke arahku. "Kamu pakai kontraspesi, kan? Enggak kemakan kibulan laki-laki kalau keluar di luar nggak akan bisa bikin hamil, kan?  Karena kalau-kalau kamu belum tahu fakta ini, Tata: Mas Agra paling nggak suka ada sesuatu yang menghalangi kelaminnya di saat dia harusnya cuma perlu ter---" "Bhadra!" Aku memejamkan mata, sedetik setelah melihat ada pukulan keras yang melayang pada wajah Bhadra. Seharusnya ini tidak akan terjadi kalau saja aku pulang naik taksi. Astaga, tolong! "Mas Agra---" "Kamu tahu, Dra.... Kamu nggak mengenal Tata. Jadi, saran Mas adalah, kamu diam. Jangan terlalu berlebihan. Hubungan kami nggak seperti---" "Nggak seperti kasus perselungkuhan di luar sana, iya? t***l itu aku namanya kalau sampe percaya!" Bhadra berdiri tepat di depan sang kakak. "Aku mengalah bukan buat ini, Mas. Bukan buat lihat kamu hancurin dia. Bukan buat bikin kamu bisa mematahkan bayangan pernikahan indah buat dia. Bukan itu. Dan, aku bersumpah, sekali lagi aku lihat kalian berdua masih main gila ... aku ambil apa yang memang seharusnya nggak menjadi milikmu." Apa maksud ucapan Bhadra? Apa yang seharusnya menjadi miliknya? Apa yang ... tubuhku berjengit kaget saat dengan kasar Bhadra menarik daguku, memaksa aku ikut berdiri. Sekuat mungkin aku berusaha lepas dan mengulurkan tangan meminta bantuan Mas Agra, tetapi laki-lami di depanku ini lebih dulu menendang kakaknya. "Dan kamu ... butuh uang berapa?" Aku masih diam, membuat cengkraman di daguku semakin menguat. "Tata ... saya tanya, kamu butuh uang berapa? Kalau untuk menghidupi kamu di apartemen sini, makan, minum dan apa? Clubbing? Saya bayarin, tapi tolong, jangan rusak rumah tangga orang." "Bhadra ...." "Jangan membela perempuan seperti ini, Mas! Perempuan yang bahkan nggak bisa memghormati diri sendiri dan memaksa orang lain buat ikut menganggapnya rendah! Dibandingkan Lolita, perempuan ini bahkan nggak lebih beharga dari kotoran istrimu itu, Mas Ag---" Aku nggak bisa menahannya lagi, nggak bisa mengontrol diri lebih lama. Tanganku sudah melakukan tugasnya dengan baik. Membuat kulit pipi putih itu memerah dan telapakku sendiri pun terasa panas. Namun, aku tidak menyesal. Sama sekali tak ada rasa bersalah. Dia ... Bhadra ini berhak mendapatkannya. "Kamu pikir kamu siapa berhak mengatakan semua itu? Kamu pikir kamu siapa berhak membandingkanku dengan kotoran perempuan bodoh itu?" "Jangan berani menyebutnya---" "Apa sebutan yang pantas untuk perempuan yang nggak bisa menahan suami agar tetap tinggal di rumah?!" Bhadra diam. Memejamkan mata. Aku tidak mau keliru menafsrikan ini tetapi kenapa yang kutangkap adalah aura frustasi menyelimuti wajahnya. Helai rambut itu semakin berantakan saat ia berteriak sambil mengacaknya, lalu menjatuhkan tubuh di sofa. Sementara di samping, Mas Agra membawa tubuhku agar ikut duduk di sebelahnya. Diraihnya tanganku dan kulihat ia meniupi telapak tangan yang memerah. "Sakit banget?" Aku menggeleng. "Maaf." "Ngapain?" "Seharusnya nggak bawa kamu dalam masalah ini." "Kamu memang membukakan pintu, tapi aku yang memutuskan buat melangkah masuk, Mas." Aku memberinya senyuman. "Lagipula, itu karena adikmu yang nggak jelas." "Tata...." Aku melirik malas pada Bhadra. "Kalian berdua harus berakhir. Harus berakhir sebelum kubikin kalian nggak berani lagi buat nunjukkin muka di luaran. Dan, Mas Agra, ini terakhir kali aku liat kamu dan dia berdua. Dan, kamu Tata, saya akan bayar kamu kalau mau berhenti." "Saya nggak butuh uangmu!" "Tapi kamu butuh uangnya Mas Agra!" Bagaimana aku mengatakannya kalau semua ini bukan seperti yang ia pikirkan. Aku bersama Mas Agra, awalnya memang karena merasa kasihan, lalu terbiasa dan sekarang semuanya sudah terasa benar. Mas Agra akan menjadi kacau kalau dia kehilanganku. Dan ... aku akan kehilangan uang. Bebel bilang, mencari yang seperti Mas Agra sangat tidak mudah. Dan, aku percaya itu. Sangat mempercayainya. "Saya bayar dua kali lipat kalau kamu mau berhenti. Menjauh dari Mas Agra." Aku tertawa. Dia lucu. "Yakin? Seminggu ini yang saya lihat kamu cuma bolak-balik keluar-masuk apartemen, seberapa banyak uang yang kamu punya, Bhadra?" Beginilah harusnya melawan orang-orang seperti Bhadra. Jangan memperlihatkan kelemahan, tetapi tunjukkan sesuai apa yang dia pikir, atau justru lebih buruk dari itu. "Berapa kamu dibayar Mas Agra?" to be continued ...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD