part 1

935 Words
  "Aku.... Aku hamil," ucap Dira seraya menundukan kepalanya, jujur saja ia takut melihat reaksi pria yang telah menabur benih di rahimnya. Suasana kafe yang ramai dan tempat duduk mereka berada di pojok, membuat Dira bisa bernapas lega, karena tidak akan ada yang tahu pembicarannya dengan pria di hadapannya itu. Pria itu memandang Dira dengan tatapan tajam, kemudian menghembuskan napas panjang. "Kita, menikah tiga hari lagi." Dira mendongakan wajahnya, matanya membulat sempurana menatap pria di depannya itu. Sungguh ia tidak berpikir sampai di situ, ia berpikir jika pria itu menyuruhnya menggugurkan kandungannya, namun itu sangat jauh dengan kenyataan yang ada. Pria itu mau bertanggung jawab, hal itu membuatnya sedikit senang, jadi anak-nya memiliki seorang ayah. "Kamu, jangan terlalu senang dulu. Saya akan menikahi kamu dengan satu syarat." ucapan Pria itu membuat suasana hatinya kembali getar getir.   Dira meremas ujung kemeja yang dia pakai, sungguh pria itu membuat dia takut.       "A..ap Sya...ratnya??" tanya Dira terbata-bata. Tangan pria itu mengetuk-ngetuk meja di depannya, dia tersenyum penuh arti, tapi hal itu membuat Dira sulit bernapas. "Kita menikah....... Tapi setelah kamu melahirkan anakku. Kita, bercerai!" kata pria itu dengan pelan tapi tegas di setiap kata-katanya. Jleb, Wanita itu menelan saliva-nya susah payah, saat mendengar setiap kata yang keluar dari bibir  pria itu.   " kamu ingin menyampaikan sesuatu? ahh pasti tidak ada  lagi yang kamu sampaikan. Saya pergi dulu dan kita bertemu tiga hari lagi, di depan asrama putri. Setelah kita menikah, baru saya kasih tahu kamu kontranya, kamu akan mendapatkan keutungan yang setimpal," kata pria itu seraya berdiri dari duduknya.   Mulut Dira terasa di lem, sungguh dia masih binggung dan takut di tambah lagi saat melihat reaksi pria itu, sangat-sangat tidak bisa terbaca. Pria itu memakai lagi kaca mata hitamnya dan pergi tanpa berniat mengantar Dira, yang notabennya wanita yang mengandung anaknya.   Dira memandang langit senja dengan tatapan kosong, dia berdiri di balkon kamar asramanya, membiarkan angin sore menerpa tubuhnya. Tanganya mengusap lembut perutnya yang mulai membuncit. Air matanya turun tanpa ia sadari, sungguh takdir apakah ini? Ia sudah berubah, tapi Tuhan berkata lain. Ia terima di usir dari keluarga Sumarjo, dan memulai hidup barunya. Tapi saat ia mulai menata hidup barunya, kejadian yang sama sekali tidak pernah terlintas di pikirannya.  Karena kecerobohanya, ia harus memuaskan napsu b***t senior gila itu, sampai benih lelaki itu mulai tumbuh dan berkembang di rahimnya, tanpa ijin.     Flashback On   Dira, gadis remaja 18 tahun itu. Berlarian dengan tergopoh-gopoh. Dengan tas ransel kanvasnya setia di punggunya.   Ia berlarian menuju parkiran kampus, di sana sudah banyak para mahasiswa dan mahasiswi baru.   Mereka akan melakukan perjalan menuju puncak, kegi-atan rutin kampus tersebut. Setelah masa ospek berakhir. "Braakkk" "Kreek"   Wajah Dira memucat, napasnya tercekat. Ia meruntuki sifat ini, sifat tergesa-gesanya tanpa melihat situasi sekitarnya.   "Kalau punya mata di pakai!!!! Bukannya lari tanpa arah kayak kamu!!!" Teriak lelaki di hapa-dapnya.   Dira masih menundukan kepalanya, ia lebih memilih melihat tanah yang di pijak  kakinya.   "Kalau ada orang ngomong dilihat! Bukan nunduk! Dasar bodoh!" Dira masih setia menundukan kepalanya.   "Maaf, tadi.....saya ter...bu...ru," kata Dira terbata-bata   "Apa kamu bilang? Maaf? Gampang banget bilang maaf. Lihat gara-gara kamu, kamera saya rusak dan lensanya pecah!" Teriaknya, membuat Dira ketakutan.   Pira itu, menarik rambut Dira, ia geram dengan gadis di depanya. Sungguh gadis ini membuat amarahnya memuncak.   "Sakit..." rintih Dira.   Dengan senyum mengejek pria itu melepas rambut Dira, beberapa helai rambut Dira tersisa di tanganya.   "Maaf." Hanya itu yang di ucapkan Dira.   Pria itu menghembuskan napas kesal, ia ingin sekali memukul gadis di hadapanya. Tapi ada cara yang lebih bagus untuk menghukum gadis ini.   Dira menatap pria di hadapanya, ia terpukau dengan ketampannya, alis tebal, mata biru yang menatapnya tajam, garis wajah tegas dan satu lagi rambut yang berantakan.   "Kenapa kau memandangiku, seperti itu? Terpesona?" Seru pria itu membuat Dira sadar dengan situasi saat ini.    "Maaf, maafkan saya." Pria itu memandang Dira sinis.    "Apa kau bilang maaf? Tidak ada maaf untukmu, gadis ceroboh."    "Kau merusak kameraku dan lensanya pecah! Apa kau tau harga lensa itu? Haa" teriak pria itu di wajah Dira.    "Aku sangat tau," kata batin Dira. Memang dulu Dira mempunyai kamera dan lensa  sama persis dengan kamera yang tadi ia injaknya, tapi itu dulu sebelum ia diusir.   Dira menggelengkan kepalanya, dan pria itu berdecak kesal.   "Mana mungkin gadis miskin sepertimu, mampu membeli kamera? Untuk kuliah saja kau hanya mengandalakan Beasiswa..." Dira masih diam, ia tidak ingin berurusan dengan pria ini.   "Dan aku berbaik hati dengannmu, DIRA RAHAYU. Aku tidak ingin kau mengganti rugi, tapi kau harus menemuiku besok malam, saat malam keakraban, di kamarku..." ucap si pria. napas Dira tercekat. "Jika kau menolak?? Aku pastikan lusa namamu tidak adalagi di daftar penerima beasiswa. Dan kau tau aku-kan." katanya lagi dengan penekanan. Dira hanya menganggukan kepalanya, sungguh  ia takut bukan karena pria itu, tapi ancaman pencabutan Beasiswanya.   Dira hanya ingin lulus dan bekerja, ia ingin membuktikan kepada keluarga Sumarjo, jika ia bisa berhasil tanpa embel-embel keluarga Sumarjo.   "Heii kenapa Diam?! Jawab pertanyaan ku, kau mengerti Atau tidak haa!" Teriaknya pria tampan itu. "A...aku........me....nger....ti..." ucap Dira terbata-bata. "Anak Baik," kata pria itu seraya mengacak bukan menjambak rambut Dira. Tubuh Dira masih gemetaran dalam hatinya ia berdoa semoga pria ini cepat pergi. "Sana pergi, nanti kau ketinggalan Bis, bisa-bisa kau tidak ikut dan memilih kabur,"seru pria itu lagi dan mendorong Dira kedepan. Dengan cepat Dira pergi meninggalkan Pria gila itu. Tanpa sepengetahuan Dira, pria menyeringai senang ia akan dapat kambing hitam demi impiannya. Dira menghembuskan napas lega, sumpah dia sangat tidak ingin kembali bertemu dengan pria itu, tapi ia masih ingin kuliah dan apapun yang akan terjadi lusa, Dira tidak akan bertemu dengan pria itu, yang notabennya sebagai ketua senat. Pria yang memiliki kekuasan berpengaruh di universitas ini membuat Dira harus menemuinya lusa. Mungkin karena lelah, Dira memutuskan untuk tidur, melupakan sejenak masalahnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD