part 2

1111 Words
       "Huuu----" Entah sudah berapa kali Dira menghembuskan napasnya, jantungnya bertedak kencang. Dia menarik ulurkan tanganya, entah dia sangat ragu untuk mengetuk pintu dihadapanya, ini bukanlah tempat seharusnya dia datangi tapi karena kecerobohanya dia harus datang ke tempat si senior gila.        Dengan dalih sedang sakit, Dira meninggalkan pesta api unggun, hanya demi menyela-matkan beasiswanya. "Tok... tok... tok... tok.. tok." Dira terus mengetuk pintu coklat itu, tapi arah pandangan matanya menatap sebuah lukisan anjing. Tanpa menyadari, yang menjadu objek ketukannya berubah.      "Heii berhenti, berhenti!" Teriakan itu membuat Dira memanadang ke arah depannya, dia menelan saliva-nya susah payah, Dira menatap ragu senior di depannya. "Dasar bodoh." Dira bisa mendengar u*****n itu.      "Masuk," kata pria itu, Dira hanya diam. Dia masih ragu, tanpa mengucapkan apa-apa. Pria itu, menarik lengan Dira dengan paksa. Dira terjerembab kedepan, tubuhnya menabrak meja.  Pinggangnya terasa nyeri, "Akkkhhh!" Teriak Dira, rambutnya di tarik paksa. "Tolong lepaskan," pinta Dira, pria itu tersenyum mengejek.     "Apa kau bilang, Lepaskan? Tidak, ini salahmu. Kau datang terlambat, aku sudah bosan menunggu orang bodoh sepertimu," ucap pria itu. Dira terisak, air matanya mulai membasahi pipinya. Rasa perih di pinggangnya belum hilang tapi sekarang rasa sakit fisiknya bertambah, rambutnya tercabut paksa. kepalanya terasa berat, tiba-tiba pria itu mendorongnya kearah ranjang yang ada di kamar itu. "Brakk---" tubuhnya terbentur dengan ranjang empuk itu, rasa perih di akibat rambutnya ditarik mulai reda.      Belum sempat Dira menghi-rup oksigen, Senior itu menin-dihnya, tubuhnya yang mungil, terkurung tubuh besar pria yang menindihnya. Buliran-buliran keringat dingin mulai keluar dari pori-pori kulitnya, membasahi kulit putihnya.     "Jangan takut, Honey. Aku akan melakukannya dengan pelan dan membawamu ke dalam kenikmatan dunia, yang belum pernah kau rasakan," bisik pria itu di telinga Dira, napas pria itu yang menerpa lehernya membuat Dira merinding.       Dengan kekuatan yang tersisa, Dira meronta dalam kungkungan pria itu, "Lepaskan! Dasar b******n, aku tidak sudi menjadi ladang napsumu itu!!! Aku tidak peduli dengan beasiswa itu, lepaskan!" Rahang pria itu mengeras ia, menampar pipi Dira. "lepaskan? Mudah saja, tapi itu tadi sebelum kau masuk kedalam kamar ini, tapi sekarang tidak! Kau harus menerima hukumannya. Manis," ucapnya pelan tapi membuat nyali Dira ciut. "Dasar pria gila, kau itu harusnya masuk rumah sakit jiwa, Badebah!" Teriak Dira, Pria itu menatap Dira. "Kau tidak akan bisa keluar dari sini, kau tau aku-kan?. Aku, Gibran Alexander. Pewaris kerajan bisnis Axelander." Pria itu mengumbar nama keluarganya. "Kau itu hanya berutung tuan Alexander, kau lahir di keluarga berada, jika kau lahir di keluarga miskin, mungkin kau akan jadi ge-la-da-ngan," kata Dira santai, tapi perkatan Dira membuat Gibran naik darah, "Dasar Baji---" sebelum Dira menyelesaikan kata-kata, dengan cepat Gibran membungkam bibir Dira dengan bibirnya.       Dira yang mendapat 'serangan' mendadak membuatnya meronta lebih hebat, Tangannya memukul tubuh Gibran membabi buta, tapi itu tidak lama, karena Gibran membawa kedua tanganya keatas kepalanya dengan di tahan tangan Gibran.     Gibran terus mencium Dira, dia hanya ingin membuat  gadis di depannya diam, dan cara ini sangat efektiv. Dira menangis, dengan bodohnya, dia terlena dengan ciuman ini.        "Krek---" bunyi baju robek, Dira menangis semakin keras, tapi suaranya tertahan karena ciumannya pria ini, Gibran menghentikan ciumnya dia menghirup oksigen sebanyak-banyak, Dira tidak berbeda dengan Gibran, dia juga menghirup udara seolah tidak ada hari esok.       Gibran memandang tubuh Dira, dengan kilatan gairah dimatanya, dengan cepat dia menyatukan tubuhnya dengan tubuh Dira. Sakit, itulah yang dirasakan Dira, tubuhnya yang sangat sensitif ditembus paksa dengan benda tumpul.      Tanpa aba-aba Gibran melakukan hubungan itu, yang akan membuat dunia Dira berubah. Pria itu akan menda-patkan apa yang ia inginkan, tunggu tidak sampai satu bulan, wanita di bawahnya akan membawakan dia berita bahagia, dengan seringai tercetak dibibirnya, Gibran terus meraih kenikmatan dunia. Hingga akhirnya dia mendaki puncak, dan menyemburkan benih-benihnya di rahim Dira tanpa henti, ia mengusap perut Dira dan menciumnya sebelum melanjutkan aktivitasnya lagi, dia belum puas sama sekali. Tanpa peduli Dira yang terus menangis, suara menjijikan keluar dari bibir Dira yang tidak dia kehendaki.       "Tidurlah, kau pasti lelah." Gibran mengambil selimut dan menyelimuti tubuhnya dan tubuh wanita di sampingnya. Dia tidur memunggungi Dira.       Air matanya terus turun membasahi pipinya, rasa sakit yang di rasakan tubuhnya tidak sebanding dengan rasa sakit hatinya, mengapa dia begitu mudah masuk kedalam perangkap seniornya dan mahkota yang dia jaga direbut secara paksa. Dira terus meruntuki kelemahananya, dulu saat dia hampir di perkosa oleh kakak iparnya, Dira bisa melawan hingga, membuat kakak iparnya itu masuk rumah sakit,  karena ulah Dira yang dengan sengaja, menendang organ vital kakak iparnya.      "Kau bisa diam? ini sudah malam, berhenti mengeluarkan air mata buaya itu, Dasar. Kau harusnya berterima kasih dengan karena mengijinkan mu  tidur disini. Biasanya p*****r yang habis melayaniku langsung ku tinggalkan atau ku suruh pergi," ucapnya dengan santai, Dira menahan sesak di dadanya dan dengan cepat dia bangun dari ranjang itu.          Tanpa memperdulikan rasa sakit di sekujur tubuhnya, Dira mengambil pakaian Gibran, dia terpaksa mengambil pakaian pria itu gila itu, pakaiannya sendiri sudah tidak berbentuk lagi. "Kau b******n, pria berengsek. Aku tidak sudi tidur satu ranjang dengan pria seperti, dan terima kasih atas mimpi buruk ini," Teriak Dira, dengan cepat Dira pergi dari kamar terkutuk itu.     "Blam!!!" Suara pintu tertutup dengan keras, Gibran mengepalkan tanganya, rahangnya mengeras. "Gila, ini gila. Dengan seenaknya dia meninggalkanku, seharusnya aku mengusirnya tadi!" Geramnya. "Tapi tunggu nanti Dira, kau akan menerima balasannya." Gibran tersenyum diakhir kalimatnya, dengan senyum setan terukir di bibirnya, Gibran mulai terbuai dengan mimpinya. Dira, wanita itu tidak pernah keluar dari kamar asramanya selain pergi ke kampusnya, dia juga menutup diri dengan dunia luar. Hari-harinya mulai berubah, di kampusnya jika dia berpapasan dengan Gibran atau gerombolan senior gila itu Dira akan menghindar.       Dira bukannya takut tapi dia hanya cari aman saja, dia tidak mempunyai teman satupun, teman satu kamarnya memilih pindah, dan Dira tidak memperdulikannya, dia disini hanya ingin belajar kalau tidak ada yang mau bertemannya ia tidak ambil pusing.        hampir empat bulan berlalu, rasa mualnya tidak kunjung hilang, padahal kandungannya sudah menginjak  minggu ke 14. Ya Dira hamil, dia hamil karena ulah senior gila itu yang meninggalkan benihnya sembarangan, sore ini Dira berencana menemui pria itu, awalnya Dira tak akan memberitahu kabar kehamilannya, tapi tadi pagi salah satu teman pria itu menemuinya dan memberikannya sebuah surat.       Surat yang berisikan ancaman, akhirnya Dira tahu kenapa pihak kampusnya seolah menutup mata tentang kehamilannya, ya karena pria itu juga, yang membuat pihak kampusnya tidak bertindak lebih lanjut.        Dira mengusap perutnya yang mulai membuncit. Dengan hembusan napas panjang Dira berjalan memasuki kafe yang menjadi tempat dia bertemu dengan pria yang menebar benihnya dan sekarang benih itu yang sedang dia kandung. Matanya menangkap sosok itu, pria itu duduk memunggunginya. Flasback off
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD