part 3

1225 Words
Langkah kaki terdengar di telinganya, membuat pria yang sedang membaca korannya terhenti sejenak. Sedikit memperbaiki kaca matanya, dia menatap anak bungsunya. "Sudah berani pulang? Apa kau sudah menyerah?" cercar pria itu. Lelaki muda yang ada di hadapannya tersenyum miring. "Dasar pak tua, aku sudah mempunyai penerus untukmu, tunggu saja 7 bulan kedepan, dia sudah berada dalam gendongan tangan rentamu itu," katanya tanpa sopan santun. "Beraninya kau mengataiku dengan sebutan pak tua, kau anak tak tau diri." Aura permusuhan semakin menyeruak.  "Hahahah dasar pak tua, kau yang membuatku seperti ini. Jadi jangan harap aku bisa berbicara baik-baik denganmu." Joni menggeram marah, dia tidak habis pikir bagaimana anaknya yang di didiknya baik bisa berubah menjadi lelaki berengsek di masa mudanya. "Aku datang kesini hanya ingin memberikanmu informasi, lusa aku akan menikah dan kau boleh datang atau pun tidak, itu tidak masalah bagiku," kata Gibran dengan santainya. "Jalang mana yang kau buat mengandung penerus Alexander?" Tanya Joni blak-blakan, rahang Gibran mengeras, dia sudah ingin pergi tapi urusannya belum selesai juga. "Jaga omonganmu itu, dia wanita baik-baik dan satu lagi dia masih perawan saat aku masuki," ucapnya santai. Yang mampu membuat napas Joni tercekat. "Jadi kau menghancurkan masa depan gadis itu?" Gibran menganggukan kepalanya. "Bukan gadis pak tua, wanita itu. Memang aku menghancurkan masa depannya tapi masa depanku ada di depan mataku sekarang. Dan kau tidak bisa apa-apa lagi," kata Gibran lalu pergi, lelaki itu pergi meninggalkan Joni yang kemarahannya sudah mau meledak. Suara mobil menjauh, membuat Joni melempar koran yang ada di hadapannya. Pria paruh baya itu memijat pelipisnya, kepalanya pusing, bagaimana tidak pusing. Anak yang ia persiapkan untuk menuruskan perusahannya, memilih menjadi model dan penyanyi, awalnya ia menentang, tapi pemberontakan anaknya membuatnya membuat syarat yang baginya yang tidak masuk akal. Joni memberikan Gibran sebuah syarat, syarat yang harus membuat Gibran terjebak dalam sebuah ikatan yang di namakan pernikah. Awalnya Joni optimis dengan syarat yang ia ajukan, tapi tadi anaknya datang dengan sebuah berita yang mencena-ngkan. Gibrannya menghamili gadis muda, yang tidak tahu menahu dengan masalah mereka berdua. Tapi nasi sudah menjadi bubur, sekarang Joni harus merelakan anaknya memilih masa depan-nya, hanya satu yang di harap-kannya ia ingin cucunya tidak memiliki sifat ayahnya yang mampu membuatnya masuk rumah sakit setiap bulannya. Dira menitikan air mata, dia masih tidak menyangka nasib hidupnya seperti ini. Hamil dan pernikahan yang tidak pernah ia mimpikan. Tapi apa daya jika ia menolak juga tidak mampu, ia terlanjur jatuh cinta dengan janin yang sedang bergelung hangat di dalan rahimnya. "Sudah sampai. Cepat turun!" Dengan cepat-cepat Dira menyeka air matanya, wanita itu tidak ingin pria yang berada di balik kemudi itu mengetahuinya menangis. Baru saja Dira keluar dari mobil, pria itu sudah memasuki rumah yang ada di hadapannya. Saat tangannya hendak mengambil tasnya di bagasi mobil terhenti karena teriakan dari dalam rumah. "Biarkan saja tas mu itu, nanti akan ada pembantu yang mengambilnya. Cepat masuk!" Teriaknya, Dira menghembuskan napas panjang. Ia berpikir apa pita suara pria itu tidak putus? Dira melihat Gibra duduk di sofa ruang tamunya, pria itu menatapnya tajam. Dira hanya menundukan kepalanya. "Cepat kemari!" Dira berjalan pelan, "Cepat!" Geram Gibran. Dengan tidak sabaran Gibran menarik lengan Dira, wanita itu hanya bisa menahan sakit.  "Duduk!" Gibran menyuruh Dira duduk, tanpa melihatnya. "Ini tanda tanganni, setelah itu baru saya jelaskan apa yang boleh kamu lakukan dan yang tidak." Tanpa membaca isi dari kertas itu Dira membubuhkan tanda tangannya. Tanpa di sadari Dira, pria itu menyeringai. "Sudah." Gibran mengambil kertas itu, pria itu hanya menatap istrinya sekilas. "Dengarkan baik-baik! 1. Jangan mencampuri semua urusanku, termasuk apapun itu!" Dira hanya menundukan kepalanya. "2 kamu akan tinggal di sini, sampai melahirkan, setelah kamu melahirkan kita akan bercerai dan satu lagi hak asuh anak itu akan jadi milikku." Kalimat terakhir Gibran membuat Dira mendongakan kepalanya.        Ia menatap Gibran, bibirnya terasa di lem, ia ingin menolak. "Kenapa kamu menatapku sepe-rti itu istriku?  kamu ingin menolak? Hahaha tidak akan bisa. Kamu sudah mentanda tangani surat ini, kecuali---" "Keculia apa?" Tanya Dira tidak sabaran. Gibran tersenyum. "Kecuali kamu membayar denda 7 milyar," Dira menutup mulutnya, ia tidak menyangka sama sekali.  "Kamu bercanda?" Gibran mengluarkan smiriknya, ia mengusap rambut Dira, lalu tertawa.  "Hahaha sayangnya tidak istriku," ucap Gibran, yang mampu membuat Dira menunduk. "Jadilah istri yang baik. Jangan suka membantahku, atau kamu akan kehilangan dia sebelum kamu lahirkan, mengerti?" bisik Gibran, yang mampu membuat Dira ketakutan, ia tidak mungkin kehilangan janinnya, walau saat bayi-nya lahir ia akan berpisah. "Saya mengerti, Kak." Gibran tersenyum. "Kakak? Lumayan untuk permulan, istriku. Saya lebih tua dari kamu." Lagi Gibran mengacak rambut Dira, pria itu pergi meninggalkannya sendiri, saat itulah Dira mendongakan wajahnya, ia melihat sekelilingnya.        Rumah bergaya minimalis, dua lantai. Pintu kaca berada di samping kiri Dira, wanita itu dapat melihat banyak tanaman yang ada di luar rumah, puncak adalah tempat yang sejuk, jauh dari hirup pikuk dunia jakarta yang gelamor, 'Mungkin kita akan betah di sini,' gumam Dira seraya mengelus perutnya yang sudah membuncit. "Bik, Bik nis!" Teriak itu membuat Dira terjolak kaget, ia mengelus dadanya, ia terkejut luar biasa, pria itu kembali menjadi pria memarah. Seorang wanita berusia kepala empat berjalan tergopoh-gopoh dari pintu kaca itu. "Iya Tuan." Gibran yang datang dari arah dapur, menatap tajam asisten rumahnya, membuat Bik Nis menundukan kepala. "Kenalkan, dia istriku. Jaga dia baik-baik. Jangan buat di kelelahan, aku tidak mau anak ku kenapa-napa. Mengerti?" Wanita mengangguk-anggukan kepalanya. "Baiklah bawa di ke kamarnya, apa kau sudah membersihkannya?" "Sudah tuan." Gibran tersenyum, lalu mengalihkan pandangannya ke arah sang istrinya. "Dan kamu istirahat lah, ini Bik Nis, dia akan mengurus semua keperluan kamu dan juga 'itu' " Dira terdiam. Lalu ia membulatkan kedua matanya, "Ini anak kita Kak. Bukan itu!" Suara Dira yang naik beberapa oktaf, membuat Gibran menghampirinya, pria itu mengcengkaram lengannya. "Terserah saya mau menyebutnya apa, itu suka-suka saya. Jangan berteriak di hadapan saya atau kamu tidak akan bisa hidup tenang, camkan itu!" Dira menahan sakit di lengannya, ayah dari bayi yang ia kandung sangatlah kejam. Bik Nis hanya bisa menatap nyonya kasihan, wanita itu tahu bagaimana sifat tuannya, ia lah yang merawat dan menjaga Gibran sedari masih balita, ia tidak pernah mengajarkan pria itu yang buruk-buruk, tapi menginjak bangku kuliah, tuannya mulai berubah seratus delapan puluh. Bunyi langkah kaki terdengar, Gibran menuruni tangga dengan tergesa-gesa, ia berhenti sejenak. "Bik Nis, nanti Gibran tidak pulang. Mungkin sampai minggu depan, jaga dia baik-baik," ujarnya seraya menunjuk Dira. "Ba-ik tuan." Gibran pergi tanpa mengucapkan apapun kepada Dira. Suara mobil terdengar menjauh, saat itulah Dira berani menatap ke arah Bik Nis. Ia mendapati wanita itu tersenyum, sebuah senyuman yang mampu membuat Dira tenang. "Ayo nyonya, anda harus istirahat," ucap Bik Nis,  Dira menganggukan kepalanya. "Jangan, nyonya. Biarkan Bibik saja yang bawa tasnya, nyonya tidak boleh kelelahan." Dira menggelengkan kepalanya. "Tak apa Bik, Dira bisa kok, tasnya ringan." Tolaknya seraya mengulas sebuah senyum. "Tapi nyonya, nanti tuan Gibran marah." Mendengar nama suaminya membuat Dira melepas pegangan tasnya. Ia menghela napas panjang. "Terserah Bik Nis saja, tapi jangan panggil Dira nyonya, itu tidak pantas bagi Dira." Mendengar ucapan istri tuannya membuat Bik Nis tahu, wanita yang ada di hadapannya adalah wanita baik-baik. "Tapi nanti tuan tahu, bibik tidak mau mendengar omelannya." Dira menatap Bik Nis, ia tersenyum. "Panggil nyonya saat ada Kak Gibran saja, kalau tidak ada panggil Dira saja." Sebuah usul Dira berikan, kepada asisten rumahnya. "Baiklah Nyo--- nak Dira." Dira tersenyum, lalu tangannya merangkul lengan Bik Nis. "Bik di mana kamar Dira? Di atas?" Tanya Dira, Bik Nis menunjukan sebuah kamar yang ada di bawah tangga. "Itu kamar nak Dira, kata tuan Gibran biar kamu tidak kelelahan." Dira hanya ber-oh. "Apa Kak Gibran tidur di sana juga?" Tanya Dira hati-hati, ia masih belum terbiasa dengan suaminya itu. TBC......
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD