Okta tengah memainkan game dalam handphone nya di kamar Dhika saat Dhika masuk ke dalam kamar setelah pulang kerja.
“Lu pulang cepet?” tanya Okta.
“Iya, abis nyelametin Lita dari bahaya. Tapi dia masih nggak berterima kasih dan tetap jutek,” seru Dhika melepaskan kemeja yang ia gunakan hingga kini bertelanjang d**a.
“Wanita kan emang seperti itu,” seru Okta. “Ah sial kalah lagi.” Okta kesal karena permainannya terus saja kalah.
“Ngomong-ngomong baru pertama kali ke Ami Hospital udah buat kericuhan, eh?” sindir Dhika membuat Okta menatap ke arahnya diiringi cengiran lebarnya.
“Bukan salah gue. Si Nela yang godain gue di dalam lift,” ucap Okta dengan santai.
“Tuduhan yang nggak masuk akal. Gue tau lu biang keroknya,” seru Dhika berkacak pinggang.
“Gue hanya godain dia,” kekeh Okta.
“Tetep aja, sampai gossip langsung menyebar ke seluruh penjuru rumah sakit. Ah, semoga Nela bisa kuat mendengar gunjingan orang-orang,” seru Dhika.
“Lagian kita nggak ngapa-ngapain elah.”
“Terserah lu. Ngomong-ngomong syukuran opening nanti, anak-anak di undang?” tanya Dhika.
“Iya dong. Gue udah ngabarin mereka,” seru Okta dengan santai.
“Kalau begitu jangan dulu kasih tau mengenai Thalita,” ucap Dhika.
“Kenapa?”
“Gue nggak mau Thalita merasa terbebani atau mungkin merasa nggak nyaman. Lu tau kan si Dewi atau si Serli kalau tau Lita masih hidup, mereka akan langsung mendatangi Thalita. Belum lagi si Angga.”
“Iya sih yah.”
“Gue masih berusaha mendapatkan hati Lita. Mungkin kalau gue udah berhasil mendekatinya, gue yang akan ajak dia ketemu sama kalian semua,” seru Dhika.
“Gue ikut lu aja. Lagian gue bukan cowok yang suka gibah,” seru Okta.
“PERCAYA!”
“Elah kata percaya nya ngegas banget,” tawa Okta.
“Gue mau mandi dulu.”
“Ya sudah.”
Dhika beranjak memasuki kamar mandi. Sedangkan Okta sibuk kembali memainkan game nya.
◄►
Tok tok tok
"Pagi bu Dokter," sapa Okta menjulurkan kepalanya ke ruangan Chachaa.
"Lu?"
Chachaa mengernyitkan dahinya saat melihat kedatangan Okta. "Mau ngapain lu ke sini?" tanya Chachaa kesal melihat kehadiran Okta di sana.
Okta dengan acuh berjalan masuk ke dalam ruangan dan duduk di kursi di hadapan Chachaa.
"Dokter Nela lagi santai ya," seru Okta membuat Chachaa menatap tajam ke arahnya.
"Lu mau ngapain ke sini?" tanya Chachaa dengan jutek.
"Mau ketemu Nela lah, masa mau periksa kandungan sih," ujar Okta dengan santai duduk di kursi yang berada di seberang kursi kebesaran milik Chacha.
"Berhenti manggil gue Nela! Crocodile. Nama gue Clarisa," pekik Chachaa kesal.
"Slow dong Baby. Jangan marah begitu, nanti darah tinggi kamu kumat," goda Okta semakin membuat Chacha meradang.
"Siapa juga yang kena darah tinggi, dasar Crocodile gila." gerutu Chachaa, moodnya langsung rusak karena makhluk menyebalkan ini.
“Keluar lu dari sini, gue sibuk."
Chachaa beranjak dari duduknya, dan berjalan hendak keluar dari ruangan. Tetapi Okta begitu saja menarik tangan Chachaa hingga tubuh Chacha tertarik dan berbalik menabrak d**a bidang Okta. Kini Chacha berada dalam pelukan Okta dengan jantungnya yang berdetak sangat kencang. Chacha yang sadar segera mendorong d**a Okta tetapi kedua tangan Okta menahannya, membuat Chacha menengadahkan kepalanya dan membuat keduanya saling bertatapan satu sama lain.
"Kamu semakin cantik kalau sedang marah-marah gini." Okta tersenyum sambil mengedipkan sebelah matanya membuat Chachaa melotot sempurna dan langsung menghempaskan tangan Okta.
Chachaa langsung beranjak hendak meninggalkan Okta tetapi sekali lagi Okta dengan sigap memegang tangannya. Membuat Chachaa berhenti dan berbalik ke arah Okta.
"Lepasin....!!!"
"Tidak mau."
"Gue akan teriak sekarang juga kalau lu nggak lepasin tangan kotor lu ini!" gertak Chachaa mencoba melepaskan genggaman tangan Okta yang sangat kuat itu.
"Baiklah, aku akan pergi. Tapi sebelum itu-"
Sebelah tangannya merogoh handphone yang berada di saku jas Dokter milik Chacha.
“Hey…! Handphone gue!”
Chachaa berusaha merebut kembali handphonenya dari tangan Okta tetapi Okta mengangkatnya ke udara membuat Chachaa harus meloncat untuk menggapainya.
"Balikin handphone gue, Crocodile gila!" ujar Chachaa mencoba meraihnya tetapi tetap saja tidak bisa.
Okta beranjak menjauh dengan tetap mengangkat handphone Chacha ke udara. Karena lelah, Chachaa berhenti merebut dan memilih melipat kedua tangannya di d**a dengan kesal. Okta melihat handphone Chacha yang ternyata tidak menggunakan sandi.
“Syukurlah tidak menggunakan sandi.” Dengan santai Okta mengetik sesuatu di handphone Chacha, tak lama terdengar dering handphone lain di sana. Okta merogoh saku celananya dan mengeluarkan handphone miliknya. Setelah menekan sesuatu di handphonenya, Okta memasukkan kembali handphone nya ke dalam saku celana. Dan berjalan mendekati Chacha yang masih berdiri dengan melipat kedua tangannya di d**a.
"Ini nomor gue, di save yah. Dan kalau gue telpon di angkat yah, Nela," ujar Okta menyerahkan handphone Chachaa ke tangannya. "Terima kasih untuk waktunya di pagi yang cerah ini."
Okta berjalan keluar ruangan dengan santai dan senyuman yang terukir indah di bibirnya.
"Dasar Crocodile gila!" gerutu Chachaa kesal dan menghapus nomor di layar handphone nya. "Astaga gue mimpi apa sih? Kenapa harus ketiban sial gini ketemu lagi sama tuh Crocodile gila!"
◄►
Hari ini adalah acara opening kantor barunya Okta. Beberapa tamu datang untuk melihat langsung kegiatan opening itu.
Setelah beberapa sambutan dan kata di sampaikan oleh Okta kepada para tamu penting yang datang termasuk Brotherhood ada di sana.
Hingga sampailah pada acara pemotongan atau menggunting ikatan pita di depan pintu kantor.
Di sana juga ada Oma nya yang sudah begitu tua dan tetap hadir untuk melihat kesuksesan yang di raih oleh cucu kesayangannya.
Okta berdiri di depan pita itu dan pikirannya melalang buana ke kejadian beberapa tahun lalu.
Flashback On
“Apa yang kamu harapkan dari anak tidak berguna itu sih, Adelina?”
“Bagaimanapun dia adalah putra bungsu kita, Mas.”
“Putraku hanya Rogert tak ada yang lain. Anak itu tidak berguna dan hanya membuat onar. Aku bahkan tidak yakin dia bisa sukses di masa depannya nanti. Aku yakin dia hanya akan mendatangkan masalah dan petaka buat keluarga kita.”
“Jangan terlalu memanjakannya, Adelina.”
Flashback Off
Okta mengepal kuat kedua tangannya dengan tatapan tajam. Rahangnya mengeras dan wajahnya berubah menjadi keras mengingat kejadian menyakitkan itu.
Daniel yang merupakan pengacara pribadinya berdiri di sekitar Okta. Ia dapat melihat wajah Okta yang mengeras dan sorot matanya yang tajam penuh dendam.
“Gator,” panggil Daniel seraya menyentuh pundak sahabat sekaligus sepupunya itu.
Okta menoleh ke arah Daniel.
“Sudah waktunya memotong pita,” ucap Daniel menyadarkan Okta dengan kondisi saat ini.
Okta hanya mengangguk sedikit, kemudian ia menoleh ke arah wanita yang berdiri di dekatnya dengan memegang nampan berisi gunting. Okta mengambi gunting itu dan mulai memotong pita. Terdengar suara tepuk tangan di belakangnya.
Para tamu di giring menuju aula kantor di lantai dua. Mereka di jamu dengan berbagai menu makanan mewah dan minuman yang juga tak kalah mewahnya.
Para tamu datang memberi selamat pada Oktavio dan mereka berbincang sedikit mengenai pekerjaan dan kontrak kerja yang akan mereka bangun dan perluas dengan perusahaan Oktavio yang bergerak di bidang perhotelan.
“Gator selamat yah. Akhirnya cita-cita lu tercapai,” seru Elza memeluk tubuh Okta.
“Makasih Mamake. Ini semua berkat kalian,” seru Okta melepas pelukannya.
“Wih nggak nyangka ponakan gue yang dulu cengeng dan selalu buat onar bisa sukses begini,” kekeh Daniel menepuk pundak Okta.
“Pujian apa hinaan sih itu,” desisnya.
“Ah Gator sumpah yah lu keren,” puji Serli.
“Lu muji gue pasti ada maunya,” seru Okta.
“Ah elah curigaan mulu sama Kakak ipar lu sendiri juga,” seru Serli.
“Gator selamat yah. Gue salut sama lu. Lu bisa sampai ke titik ini,” seru Dhika memeluk sahabatnya yang di balas oleh Okta.
“Ngomong-ngomong si putri bulan kagak lu ajak,” bisik Okta.
“Ck, jangan bahas dia di sini. Gue nggak mau yang lain denger dan heboh. Gue takut Lita belum siap ketemu sama mereka,” seru Dhika.
“Iya iya.”
“Lu berdua bisik-bisik apaan sih. Sok misterius banget,” seru Dewi.
“Ck kepo,” seru Dhika melepaskan pelukannya.
“Dokter Dhika ini mau jadi client pertama gue di sini. Buat buka restaurant di salah satu hotel gue dan dia juga akan memberikan dana cukup besar untuk bantu pembangunan hotel pertama gue di sini,” seru Okta dengan menyebalkannya membuat Dhika melotot kaget.
“Sialan!”
Okta hanya bisa tertawa. “Ah elah jangan pelit-pelit dong pak Dokter. Lagian bukan lu saja yang bakal gue todong. Nih dua cecunguk ini juga mau gue todong,”kekehnya merujuk kepada Angga dan Arseno.
“Muka nyebelin itu bikin gue sebal,” seru Arseno membuat Okta terkekeh.
“Belum apa-apa juga udah malakin aja,” seru Angga menepuk jidatnya. “Lagian apa yang mau lu palakin coba dari seorang Dokter umum kayak gue.”
“Jangan merendah ah,” seru Okta meninju pelan pundak Angga.
“Fakta itu Fakta.”
“Selamat yah kekasih kecil Oma.” Oma datang di Antara mereka dengan susternya. Oma memeluk Okta dan mencium kening Okta.
“Oma sangat bangga padamu, Okta.”
“Terima kasih Oma. Ini semua karena dukungan dan doa dari Oma.” Okta mencium kedua tangan Oma nya.
“Wah, akhirnya kamu bisa mencapai semua ini,” seruan itu membuat mereka semua menoleh ke sumber suara.
Deg
“Rogert,” gumam Okta.
Wajah Okta menjadi mengeras kembali dan sorot matanya begitu tajam menyiratkan kebencian. Sosok predator yang tersembunyi dari dalam dirinya keluar. Bagaikan seekor buaya yang baru melihat mangsanya.
Kedua tangan Okta mengepal kuat. Ia hendak beranjak mendekati Rogert tetapi lengannya di tahan oleh Oma.
“Jangan merusak acaramu sendiri,” seru Oma membuat Okta menghembuskan nafasnya dan berusaha menekan emosinya.
“Apa yang kau lakukan di sini, Roger? Aku rasa kamu tidak masuk ke dalam daftar undangan,” ucap Daniel yang maju mewakilkan Okta.
“Apa kabar Kakak sepupu,” seru Roger tersenyum menyebalkan dan begitu sombong.
“Aku datang untuk memberi selamat kepada Adikku yang sudah membuka cabang barunya di sini. Tetapi tetap saja, perusahaannya ini tidak sampai seperempatnya dari perusahaanku,” seru Rogert.
“Kau begitu bangga dengan perusahaan milik orangtua mu sendiri,” seru Okta.
“Tidak ada yang lebih menyenangkan dari itu, Adikku sayang. Aku memang menjadi anak kebanggan keluarga Mahya. Makanya hanya aku yang menjadi pewaris tunggal dan menikmati semua ini,” serunya dengan begitu sombong.
“Pergilah kamu Roger. Di sini pun kamu hanya membuat masalah,” seru Oma.
“Oma, kamu sungguh pilih kasih. Padahal aku juga cucu mu, tetapi kenapa hanya anak pembuat onar itu yang kamu sayangi. Ah kamu sungguh pilih kasih,” seru Roger.
“Pergilah Roger, jangan sampai gue sendiri yang menyeret lu keluar dari sini!” seru Okta penuh penekanan.
“Ck, masih saja arrogant. Aku beritahu kepadamu, Okta. Jangan bermimpi untuk mengalahkan perusahaan Mahya. Kamu tidak pantas dan tidak akan bisa mengalahkan perusahaan milik Daddy. Jadi jangan bermimpi lagi,” seru Rogert yang kemudian beranjak pergi dengan merapikan jas yang ia gunakan.
“Aishhh sialan banget sih tuh orang,” seru Seno kesal.
“Orang seperti dia kalau di lawan dengan emosi dan kekerasan tidak akan berefek apapun. Lebih bagus kalahkan perusahaannya dan buat dia kehilangan seluruh investornya. Maka itu adalah pelajaran yang telak buatnya,” seru Dhika.
“Hah benar-benar pria sombong yang sangat menyebalkan. Jiwa emak emak gue memberontak ingin mencakar dan menjambaknya,” seru Serli.
“Sama gue juga Ser. Sok kecakepan banget,” seru Irene.
“Lu nggak apa-apa kan, Gator?” tanya Elza.
“Ah elah gue ini seorang Aligator yang sangat unyu dan juga tampan. Kejadian seperti ini sih nggak berpengaruh apapun sama gue,” seru Okta dengan nada santai.
“Inilah Gator kita,” kekeh Dewi.
“Sebaiknya kita makan, ayo,” seru Okta yang merangkul Oma nya dan membawanya ke meja VIP yang telah di siapkan.
“Kau lihat saja Roger. Aku akan mengalahkanmu dan pria itu. Aku akan menjatuhkan perusahaan kalian hingga telak. Jangan panggil gue Aligator, kalau hal itu nggak bisa gue lakuin. Gue bukan orang baik yang hanya bisa diam saat di injak-injak. Gue hanya menunggu, menunggu saat yang tepat untuk memangsa.’ Batin Okta.
◄►