DUA – Siapa dia?

1010 Words
Leo POV Aku sedang berada di kantor saat ayahku meneleponku. “Ya, pi.” Jawabku sambil terus membaca berkas di tanganku. “Datanglah melihat calon istrimu.” “Pi…….” Kataku lelah. “Cepat!” desis ayahku dan kemudian mematikan hubungan telepon. Begitulah ayahku. Tetapi aku menyayanginya. Aku melirik jam tanganku yang menunjukkan pukul setengah 3. Segera kubereskan fileku dan kuraih handphone serta kacamataku. “Tuan…” salah satu pengawalku menghampiriku setelah melihatku keluar kantor utamaku. “Ke rumah.” Jawabku pendek. Pegawalku segera berbicara melalui earphone untuk mengkonfirmasi keberangkatanku kepada supirku di lantai dasar. “Tuan…” sapa sekretarisku, Jeny manja. “Aku akan kembali jam 4.” Jawabku tegas dan melirik dadanya yang kini berusaha ditonjolkannya. Okeh. Aku akui aku pernah menidurinya sekali saat wawancara tetapi Jeny juga memiliki kemampuan, dia sekretaris yang bagus. Aku melangkah masuk lift dan menuju rumahku. Sesampainya di mansion kami, ayahku berada di ruang kerja. Dan segera kuhampiri cepat. “Pi… kenapa papi masih berkeras.” Kataku kemudian. Freddy Vinc, ayahku adalah orang yang sangat aku segani. Dia menikahi ibuku keturunan Jerman Indonesia, Clara Vinc 34 tahun yang lalu. Butuh perjuangan untuk mendapatkan keturunan. Setelah 2 tahun berjuang program kehamilan akhirnya ayah ibuku mendapatkanku. Ibuku memiliki kandungan yang lemah, dan setelah melahirkanku dia memutuskan mengangkat kandungannya. Ayahku pun memiliki komitmen yang sama dan menjalani vasektomi. “Kamu tahu, wanita yang kamu inginkan itu tidak baik?!” desis ayahku. Aku menghela napas. “Nak, papi sangat menyayangimu. Dia cerdas dan cantik. Kamu pasti akan menyukainya. Riwayatnya bersih dan dia juga masih muda. Dia banyak mengikuti kegiatan sosial terutama yang berhubungan dengan dunia anak-anak. Dia akan menjadi ibu yang baik jika kalian memiliki keturunan nanti.” Terang ayahku. Aku tersenyum kecut. Terdengar sangat hebat. Tetapi bukan dia yang aku inginkan. Melihat ekspresi kecutku, Freddy kembali menghela napas, “Suka tidak suka. Akan tetap sama. Dia calon yang papi inginkan. Kamu tidak bisa menolak.” Ayahku menutup diskusi. Aku bangkit berdiri untuk keluar. “Amanda Lily Wijaya. Nama yang indah bukan?” ayahku kembali menyakinkanku. Aku berbalik menatap ayahku, wajahnya berseri. Dia pasti sangat menyukai calon istriku. Aku menghela napas panjang dan mengangguk. Aku tidak ingin mengecewakan ayahku. Aku melangkah menuju kamarnya dan menyuruh pegawal yang berjaga di pintu membukanya. Begitu terbuka aku melangkah masuk, aku melihat sekeliling. Dimana dia? Lalu kedua mataku melihatnya terduduk di pojokan begitu ringkih. Wajahnya menatapku sedih. Aku melihat troli makanan yang masih penuh. Dia masih memeluk lututnya erat dan ketakutan. “Amanda….” Panggilku pada akhirnya. Aku memberi kode untuk menghabiskan makanannya. Namun dia memilih mengabaikanku. “Aku tidak lapar.” Jawabnya tegas. Kemarahanku tiba-tiba membuncah. Baru kali ini ada yang membantahku. Aku menghampirinya di tengah gelapnya ruangan dan hanya di terangi cahaya matahari dari sela-sela tirai. Kutarik lengannya untuk berdiri sejajar denganku. Hey… tubuhnya tinggi. 175 sampai 178 cm mungkin. Kupeluk tubuh hangatnya dan menempelkan ketubuhku. Barulah aku melihat wajahnya dengan jelas. Alis tebal dengan bulu mata lentik natural. Matanya tajam dengan bola mata cokelat muda. Sangat indah. Hidungnya yang mancung dan bibir pink nya yang penuh. Pipinya kemerahan dan dagunya sedikit terbelah. Rambutnya cokelat muda bergelombang. Dia cantik, seperti kata ayahku. “Listen….” Kataku kemudian. Aku tidak boleh lengah dan terpesona begitu saja. “Aku tidak suka dibantah. Paham?” desisku. Aku tahu dia bergetar. Tubuhnya yang padat dan berisi di bagian tertentu membuat juniorku seakan bereaksi. Wow…. Ini pertama kalinya ada wanita yang membuatku seketika menginginkannya. Dia mengangguk takut. “Good.” Aku melepaskan tubuhnya segera. Aku takut jika aku memeluknya lebih lama, aku akan kehilangan control akan diriku. Aku mengawasinya makan. Dia memang cantik. Ayahku tahu benar mencari yang terbaik. Seketika kepalaku masih menghayal tentangnya, handphoneku berdering. Aku melihat nama Sarah disana. Seketika imajinasiku tentang Amanda musnah dan di gantikan oleh bayangan sosok Sarah. Perlu diketahui, Sarah adalah cinta pertamaku. Dia berumur 3 tahun di bawahku. Kami sudah berpacaran 2 tahun lamanya dan memilih berencana menikah tetapi ayahku tidak menyukainya. Sudah dua tahun ini kami berusaha mendapat kepercayaan ayahku tetapi selalu gagal dan ayahku masih bersih kukuh tidak menyukai Sarah. Ayahku mengatakan Sarah adalah tipe wanita ular yang tidak bisa apa-apa. Sarah tidak bisa memasak, tidak bisa mengurus suami dan hanya mendekatiku karena harta keluarga kami. Lalu apa masalahnya? Toh aku bisa menyewa chef, aku bisa membayar pelayan dan aku akan bekerja menyediakan apa yang Sarah butuhkan. Ayahku mengatakan aku sudah dibutakan cinta. Memang benar. Tidak apa menurutku selama aku memiliki Sarah dan dia sudah berjanji akan selalu di sampingku. Terlebih ibuku juga menyukai Sarah. Hanya butuh waktu untuk meyakinkan ayahku. Namun aku tetap akan menikahi wanita pilihan ayahku meski dia tidak akan pernah mendapatkan hatiku dan hanya menjadi pelampiasan napsuku sebagai layaknya istri. Aku tidak peduli dengan wanita itu. Selama dia tidak mengangguku dengan Sarah dan berpura-pura menjadi istri yang baik, itu cukup. Toh dia juga menikahiku karena uang. Dia membutuhkannya untuk keluarganya. Aku membutuhkan Sarah seutuhnya dan status Amanda hanya sebagai b***k napsuku. Emosiku masih naik turun jika mengingat keputusan sepihak yang diambil oleh ayahku. “F*ck!” desisku tak bisa menahan lagi. Aku menatap wanita dihadapanku ini dengan rasa jengkel, ingin rasanya aku melampiaskan semua kekecewaanku. Aku tak peduli jika dia membenciku, bukannya dia setuju menjadi istriku karena ayahku memberikan penawaran menggiurkan kepada keluarganya? Aku tak ingin pura-pura. Semuanya terasa sia-sia. Aku mengikuti mau ayahku agar dia menyerahkan semua wewenang dipundakku dan tidak harus terlalu ikut campur dalam kehidupanku. Aku membutuhkan kekuatan untuk mendominasi dan kebebasan yang absolut. Aku paham kenapa ayahku sampai bertindak sejauh ini, dia tak ingin aku terjerumus pada pilihan yang salah. Tetapi, jika ayahku terus menerus melindungiku seperti ini, kapan aku bisa mandiri dan bertanggung jawab dengan hidupku? “Ehm…” Wanita itu bersuara dengan kikuk. Aku menatapnya jengkel. Rambutku yang terurai menutupi keningku membuat perasaanku semakin tak karuan. Tangan kananku menyisir dengan frustasi. “F*ck” makiku lagi. “Aku…” dengan suaranya yang kecil, dia memberanikan diri berbicara. Aku tidak menghiraukannya dan berbalik meninggalkan ruangan dengan langkah besar dan cepat. Jika aku berada satu ruangan, aku tidak yakin bisa menahan amarahku lebih dari ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD