SEMBILAN - Perang Dingin

1020 Words
Leo POV Amanda memandangku sedih, aku bisa merasakan kecewa di matanya. Amanda menutup matanya sejenak dan kembali menatapku lama. Kemudian dia pergi tanpa mengatakan apapun. Malam itu terakhir kali Amanda tidur dan menginjakkan kakinya di kamar utama. Perang dingin kulalui bersama Amanda, dia tetap menghidangkan waffle untukku tetapi tidak pernah kusentuh sejak itu. Aku tidak ingin terbiasa dengan makanan buatannya yang lezat. Kami tidak pernah berpapasan selama 2 bulan. Dia memilih tidur di kamar tamu dan sejak itu Sarah tinggal di mansion kami. Ibuku secara berkala menjengukku dan Sarah. Ibuku sangat senang akhirnya aku bisa membawa Sarah semakin dekat dalam keluarga kami. Keadaan ayahku membuat aku dan ibuku berani melakukan ini. Undangan sebuah acara pelelangan datang di rumah kami hari itu. Penyelenggaranya merupakan salah satu sahabat ayahku. Namun di undangan itu tercetak namaku dan Amanda, aku tidak ingin melihat wajahnya sehingga aku mengajak Sarah. Aku menyuruh pelayan memberitahukan Amanda mengenai undangan itu. Sarah sangat cantik dengan gaun putihnya, sementara aku memakai tuxedo hitam. “Bagaimana Amanda?” tanyaku kepada salah satu pelayan saat menunggu Sarah bersiap-siap. “Nyonya masih dikamar tuan.” “Apa dia sedang bersiap-siap?” Pelayanku menggeleng, “Tidak. Nyonya tertidur.” Aku tertawa sinis, begitulah seharusnya wanita yang tidak bisa mengikuti gaya hidup keluarga kami. Hanya bisa melarikan diri. Sarah menuruni tangga dengan cantik dan kusambut untuk menuju pelelangan tersebut. Herold, penyelenggara itu menyambut kami di pintu depan. “Oh… Leo… tampan seperti biasanya.” Sapa Herold ceria, “Dan… wanita tercantik malam ini, Sarah.” Herold mengecup tangannya. “Acaranya yang mewah.” Kata Sarah dengan manja. Aku melangkah kaki masuk, semua mata tertuju pada kami. Herold memberiku spot tak jauh dari panggung nanti. 1 jam kami menikmati champagne dengan Sarah bergelayut manja di lenganku sambil kekecup lembut kepalanya. Mendadak ruangan hening dan semua orang berbisik-bisik. Sarah dan aku saling berpandangan namun segera aku abaikan. “Ah… dia anak tunggal dari Keluarga Luidge itu bukan?” kata segerombol wanita penggosip yang berdiri tak jauh dari kami. Sarah mulai melirik dengan gelisah. “Iya. Katanya dia saat ini merupakan hakim sukses di pengadilan dunia.” Kata salah satu wanita dari gerombolan penggosip itu lagi. “Apa? Usianya masih muda bukan? Sayang sekali dia tidak melanjutkan bisnis keluarga.” “Aku dengar dia akan mengambil alih bisnis keluarga sambil menjalani profesinya sebagai hakim.” “Apa bisa?” “Tentu saja, dia lulusan Harvard dan sangat pandai.” “Ah… tidak ada yang sesempurna dia…” “Tentu saja putera dari keluarga Vinc yang hanya mampu menyaingi.” “Tapi aku pikir Kim jauh lebih baik dari putera keluarga Vinc itu.” “Ya… ya… ya… Kim Javier Luidge jauh lebih baik dari Leo Sebastian Vinc.” “EHEM!” Sarah akhirnya berdehem menghentikan gossip mereka. 5 orang wanita itu melihat kearahku dan Sarah kikuk. Mereka memilih berpindah tempat. “Lancang sekali mereka.” Kata Sarah cemberut. “Tentu saja kamu yang terbaik.” Aku tersenyum kecil, aku tidak peduli dengan tanggapan orang-orang. Keluarga Luidge memang salah satu keluarga konglomerat di negeri ini selain keluargaku. Mereka bergerak di bidang properti, import export mobil mewah dan beberapa perusahaan logam dan gas. Kuraih wajah Sarah dan mengecup bibirnya lembut. Sarah dengan senang hati memelukku erat. “Waaaaaaa… siapa wanita itu? Dia sangat cantik. Itukah calon dari Kim?” kembali suara bisik-bisik memenuhi ruangan. Aku masih melumat bibir Sarah dan memilih mengabaikannya. “Ahh… bukannya itu Amanda Lily Wijaya? Dia dulu adik kelasku!” kata seseorang lagi. Aku terkejut mendengar nama Amanda dan melerai ciumanku dengan Sarah. Mataku menatap lekat gerbang masuk. Seluruh orang di ruangan menatap gerbang dengan penuh-penuh harap. “Kenapa babe?” tanya Sarah manja, dia masih mengelus-elus lenganku. Akhirnya sosok yang kutunggu muncul dari balik gerbang. Amanda sangat cantik menggunakan gaun merah yang memperlihatkan seluruh punggungnya. Rambutnya yang berwarna cokelat terurai sangat indah, dia bagaikan boneka Barbie. Aku terpana melihatnya, ini kedua kalinya aku melihat Amanda menggunakan gaun setelah hari pernikahan kami. Tanganku terkepal dengan marah saat aku melihat Kim berada disebelahnya, memeluk pinggang kecil Amanda dengan posesif. Wajah mereka terlihat sangat bahagia dan tersenyum kepada seluruh orang yang mereka lewati. “Hah? Wanita jalang itu berusaha terlihat mahal!” sinis Sarah. Aku masih menatap lekat Amanda yang tersenyum sangat cantik sambil menyalami orang-orang yang di perkenalkan Kim. Herold bahkan menghampiri mereka dengan senyum lebar dan mengecup tangan Amanda. Kemarahanku memuncak, aku sudah nyaris menghampirinya saat Sarah menghentikanku. “Jangan mempermalukanku disini.” Rajuk Sarah. Kutatap wajahnya dengan jengkel dan kembali menatap pasangan Kim dan Amanda. Mereka semakin mendekat. Mata Amanda masih tidak memandangku. Herold membawa kami saling berhadapan. Akhirnya mata Amanda memandangku tetapi pandangannya dingin. Kim semakin mengetatkan tangannya di pinggang kecil Amanda. Tinggi badanku dan Kim sama sedangkan Amanda lebih tinggi di banding Sarah. Aku menatap Amanda marah. “Ah… sungguh terhormat memiliki dua pasangan tersohor malam ini.” Tawa Herold. “Heh.” Ejek Sarah menatap Amanda. “Wanita murahan.” Wajah Kim mengeras, “Nona Sarah, saya pikir perkataan itu lebih tepat di sematkan di wajah anda. Karena anda tahu betul di mana kebenaran.” Balas Kim dan mengecup tangan Amanda lembut. Amanda menatap berterima kasih kepada Kim. “Sarah benar… mengapa kamu membawa wanita yang tidak berkelas ini? Apa kamu sadar dia bisa dibeli?” kataku terpancing emosi. Amanda menatapku sedih, aku tahu dia terluka akan perkataanku. Kim maju di hadapanku marah, tubuhnya melindungi Amanda, “Jika aku bisa membelinya, maka aku rela memberikan seluruh hartaku hanya untuk mendapatkan hatinya. Sayang sekali kamu sudah membuang berlian hanya untuk sebongkah batu kerikil.” Kim berbisik di telingaku dan menatap singkat ke Sarah. Mereka berlalu meninggalkanku dengan tatapan benci dariku. Sarah serta Herold masih menatapku bingung. Aku menatap tajam kearah punggung Amanda yang perlahan menjauh. Tangan Kim yang terus merengkuhnya erat semakin memancing emosiku. Sarah menyadarkanku saat menggenggam tanganku erat. “Kenapa kamu emosi?” sengitnya pelan. Aku menatapnya tak percaya. “Kamu memandangnya lekat padahal aku disini, disampingmu. Apa kamu tahu hal ini memalukan bagiku?” tambahnya berdesis. Aku tak bisa menjawab, lidahku keluh. “Wanita itu hanya pelampiasanmu, tidak seharusnya kamu bersikap seperti ini. Aku yang setia bersamamu selama ini!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD