BAB 16 – Di sukai

1763 Words
Andhini sibuk dengan pekerjaan barunya. Wanita itu tampak menikmati peran barunya sebagai wanita pekerja. Ia berusaha untuk menjadi atasan yang baik dan ramah. Semua karyawan Reinald sangat menyukai sosok Andhini. Jam isitrahat siang berlalu. Semakin sore Butik milik Reinald semakin ramai pengunjung. Vivi—Admin bagian onlineshop—juga melaporkan penjualan online hari ini lumayan bagus. Mereka bersiap akan membungkus  21 paket pesanan pelànggan. Andhini sebagai bos, tidak hanya memerintah bawahannya begitu saja. Ia juga turut serta dalam melayani pelànggan offline. Kehadiran Andhini di butik itu membawa aura positif. Banyak pelanggàn yang tadinya hanya berniat cuci mata, akhirnya membeli barang di sana. Mona, Sisil dan Yesi—pamuniaga butik tersebut—cukup tertegun melihat cara Andhini menggaet pelanggannya. Andhini memang memiliki jiwa dagang. Menjelang maghrib, butik itu mulai sepi lagi. Para karyawan mulai beristirahat sejenak. Tiba-tiba Sisil—salah seorang pramuniaga—menghampiri Andhini yang tengah asyik menata kembali beberapa pakaian dan tas yang sudah tidak pada tempatnya. “Bu Andhini, maaf ... biar kami saja yang merapikan semua ini. Bu Andhini istirahat saja, sedari tadi ikut melayani pelànggan, pasti ibu cukup lelah.” Sisil tersenyum ramah. “Nggak apa-apa, aku justru senang melakukannya. Oiya, bisa nggak panggil aku ‘kakak’ saja. Aku ingin kita semua di sini seperti keluarga. Panggilan Ibu itu terkesan sangat formal.” Andhini menatap Sisil dengan lembut. Hati gadis itu terenyuh di perlakukan demikian oleh bosnya. Sungguh berbeda dengan pengelola butik sebelumnya. “Apa nanti kami tidak terlalu lancang?” Sisil menunduk sopan. “Ini adalah perintah, jadi jangan di bantah ya.” Andhini kembali membalas dengan senyuman yang lebih hangat. “Kalian berdua juga ya.” “Siap kak ...,” jawab Mona dan Yesi hampir bersamaan. “Maaf kak, ajarin kami dong cara menjual seperti tadi. Kakak sangat hebat menggaet pelànggan, penjualan kita hari ini cukup banyak. Pak Rei pasti sangat senang mendengarnya.” Jantung Andhini seketika berdebar mendengar mona menyebut nama Rei. Semenjak Reinald meninggalkannya di butik pagi tadi, belum sekalipun pria itu menghubunginya lagi. Tiba-tiba perasaannya merindu. “Maaf, ada apa kak? Kenapa kakak melamun?” Sisil menyentak lamunan Andhini. “Hhmm ... nggak ada, aku mau ke atas dulu, keruanganku. Kalian bertiga gantian jaga di sini ya. Yang mau shalat atau makan malam silahkan, tapi mohon bergantian.” “Siap kak.” Andhinipun berlalu ke lantai dua. Ia melihat satu orang pegawai sibuk membungkus pesanan yang akan dikirimkan malam ini, sementara yang satunya sibuk membereskan dan menyusun kembali barang-barang di gudang. “semuanya aman?” Sapa Andhini ramah kepada para pegawainya. “Aman bu,” jawab mereka hampir bersamaan. “Mulai sekarang, aku tidak mau lagi di panggil Ibu. Cukup panggil kakak saja, agar suasana lebih mencair dan akrab,” perintah Andhini, semua mengangguk. Andhini segera masuk ke ruangannya yang juga merupakan ruangan pribadi Reinald. Reinald sudah menyiapkan dua meja di sana, salah satunya adalah meja Andhini. Wanita itu cukup lelah sehari ini karena juga turut serta melayani pelànggan. Walau itu bukanlah tugas Andhini, tapi wanita itu senang melakukannya. Andhini terduduk dan menyandarkan diri di kursinya. Mulai mengambil ponsel dan mencari nama seseorang di sana. Bu Naldi—nama samaran untuk Reinald—akhirnya terpampang di layar ponsel Andhini. Andhini langsung menghubungi nomor tersebut. Satu kali panggilan tidak menjawab. Dua kali masih tidak menjawab. Yang ke tiga kalinya hanya terdengar suara operator seluler. Andhini mulai gelisah. Mungkin mas Rei masih sibuk dengan urusan kantornya, Andhini membatin. Wanita itu kemudian memejamkan mata dan terlelap di atas kursi kerjanya. - - - Flash back satu setengah jam sebelum Andhini menghubungi Reinald. Suasana di ruang rapat Instansi tempat Reinald bekerja cukup riuh. Hal itu karena hasil rapat mereka hari ini sangat memuaskan. Kinerja Reinald sebagai Pimpinan Proyek yang mewakili pemerintah serta pihak kontraktor sebagai pelaksana pekerjaan, sanga baik. Kesenjangan keuangan serta anggaran yang di curigai oleh pihak ke tiga ternyata tidak terbukti sama sekali. “Selamat pak Rei, jika proyek anda bisa selesai tepat pada waktunya tanpa adanya penambahan waktu dan biaya, anda bisa saja di rekomendasikan untuk memegang proyek yang lebih besar lagi tahun depan.” Ketua PPK menyalami Reinald seusai rapat. “Terimakasih pak.” Reinald membalas dengan ramah. Setelah semua selesai, mereka pun membubarkan diri dari ruangan tersebut. Reinald dan Natasha kembali ke ruangan mereka. Ruangan itu mulai sepi, sebab pegawai yang lain sudah pulang lebih dulu. Hanya tinggal Reinald dan Natasha yang berada di sana. “Sha, kamu mau langsung pulang?” tanya Reinald ramah. “Iya pak,” jawab Natasha sembari mengemas barang-barang pribadi miliknya. “Mau saya antar?” Natasha terkejut, hingga ia menjatuhkan tasnya ke lantai, “Mmm ... nggak usah pak, Tasha bisa naik angkutan umum saja.” “Kalau itu perintah, bagaimana?” Reinald mulai menggoda Natasha. “Kalau bapak memaksa, baiklah.” Wanita itu merona. Reinald pun berlalu meninggalkan ruangannya bersama Natasha. Sesampai di parkiran, Reinald membukakan pintu untuk Natasha. Wanita itu cukup tersanjung di perlakukan demikian. Namun, tanpa di sadari oleh Reinald, seseorang memperhatikan mereka dari kejauhan. “Maaf pak, seharusnya bapak tidak perlu melakukan hal seperti tadi. Tasha kan bisa membuka pintu sendiri.” Natasha menatap Reinald seraya memamerkan senyum manis miliknya. “Nggak apa-apa, itu artinya tanda penghormatan untuk wanita cantik sepertimu. Hubungan bos dan pegawai hanya terjadi di kantor, di luar kantor kita adalah teman. Kamu tidak keberatan bukan?” Reinald berbicara dengan sesekali menatap Natasha. “Keberatan? Tentu saja tidak.” Natasha tampak mulai mencair. Wanita itu tidak lagi sekaku tadi. “Baguslah ... Oiya, ngomong-ngomong, apa kamu tidak berniat mau menikah lagi?” Natasha seketika berdebar mendengarkan pertanyaan Reinald. “Niat sih ada pak, tapi belum ada yang mau, hehehe,” seloroh Natasha. “Belum ada yang mau atau kamu yang terlalu pemilih?” “Hhmm ... Tasha ... Tasha sedang menunggu.” Natasha berpaling melihat pemandangan diluar kaca mobil. Wanita itu tidak ingin Reinald melihat rona di wajahnya. “Menunggu? Menunggu siapa?” “Ah, sudahlah pak, tidak perlu kita bahas. Oiya, Tasha mau tanya sesuatu. Apakah menjadi istri ke dua itu harus dapat izin dulu ya dari istri pertama?” tiba-tiba Natasha melontarkan pertanyaan aneh. Kening Reinald seketika mengernyit mendengarkan pertanyaan tersebut. “Memangnya kamu mau jadi istri kedua?” balas Reinald. “Ya kan kita nggak tau pak. Masa depan di tangan Tuhan. Kalau tuhan menakdirkan harus jadi istri kedua, apa salahnya?” Natasha kembali memalingkan wajah ke jendela mobil. Reinald, pria tiga puluh sembilan tahun itu paham betul kemana arah pembicaraan Natasha. Tiga puluh sembilan tahun bukanlah usia yang muda, walau paras Reinald sendiri masih sangat muda dan tampan. Sayangnya, pria selembut dan setampan Reinald harus memiliki istri yang pongah dan kasar seperti Mira. “Jika ingin menikah secara resmi, memang harus dapat izin dari istri pertama. Kecuali jika kamu ingin di nikahi siri alias jadi istri simpanan, maka tidak perlu izin dari istri pertama,” jelas Reinald. “Hhmmm ...,” gumam Natasha. “Memangnya kamu mau jadi istri simpanan?” “Nggak lah, apaan jadi istri simpanan,” seloroh Natasha. “Atau kamu mau jadi pelakor?” “Pak Rei apaan sich, hehehe.” Natasha memukul lembut bahu bosnya itu. Pada pukulan ke dua, Reinald menyambar telapak tangan Natasha dan menggenggamnya. Natasha bergidik dan segera melepaskan tangannya dari genggaman Reinald. “Kenapa Sha?” Natasha menggeleng. Laju mobil Reinald melambat, dan akhirnya berhenti di depan sebuah rumah berlantai satu bergaya minimalis. “Makasih pak, sudah mau repot nganterin Tasha. Bapak mau mampir dulu?” tawar Natasha. “Boleh, jika kamu tidak kebetaran.” Reinald langsung memutar mobilnya masuk ke pekarangan rumah Natasha yang memang belum di beri pagar. “Eehh ....” Natasha kembali gugup. Wanita tersebut hanya basa basi, namun ternyata Reinald menanggapi serius. “Ada apa Sha? Kamu keberatan jika saya mampir?” “Ng–nggak kok pak. Justru aku senang bapak mau mampir. Ayo silahkan.” Natasha turun dari mobil dan membuka pintu rumahnya. Wanita itu tampak sangat gugup. Ini untuk pertama kalinya ia menerima tamu laki-laki masuk ke rumah semenjak kepergian suaminya, dua tahun yang lalu. Dirumah berlantai satu itu, ia tinggal seorang diri. Rumah itu adalah pemberian dari mendiang suaminya. Natasha menawarkan Reinald duduk di kursi tamu berbahan kayu jati. Rumah itu cukup bersih dan rapi. Reinald duduk di kursi tamu seraya memperhatikan sekeliling. Beberapa foto berukuran besar terpajang di dinding ruang tamu Natasha. Foto-foto tersebut di dominàsi oleh foto pernikahan Natasha bersama mendiang suaminya. “Bapak tunggu sebentar ya, aku buatin minum.” Reinald mengangguk. Natasha meninggalkan Reinald menuju dapur, membuatkan minum untuk tamunya itu. Ketika ia hendak berbalik, Natasha malah menabrak tubuh seseorang. Teh yang di buatnya sedikit tumpah. “Ba—bapak ngapain ada di sini?” Natasha gugup, ia meletakkan kembali cangkir berisi teh ke atas meja. “Kenapa Sha? Kamu keberatan?” Reinald terus maju sementara wanita itu terus mundur hingga tubuhnya membentur kulkas dan tak mampu mundur lagi. “Mmm ... bu—bukan begitu pak, tapi—.” “Tapi apa Sha ....??” Reinald sudah mengurung tubuh Natasha. Kedua lengannya mengapit di sisi kanan dan kiri wanita itu. Napasnya yang hangat ia tiupkan dengan pelan ke telinga Natasha yang masih berbalut kerudung yang hanya menutupi kepalanya. Kerudung modis, yang sama sekali tidak menutup aurat Natasha dengan sempurna. “Pa—pak ....” “Kenapa kamu nggak marah Sha? Kenapa kamu tidak memukulku?” Reinald mengatakannya sangat lembut hingga aroma napasnya tercium jelas di pipi dan hidung Natasha. “A–aku ....” “Itu karena kau menyukaiku, bukan?” Reinald melingkarkan satu lengannya di pinggang ramping Natasha. Membuat perut wanita itu menyentuh perutnya. Dalam hitungan detik, Reinald mendaratkan bibirnya di atas bibir indah pegawainya. Hanya beberapa detik, kemudian Reinald melepaskannya. “Maafkan aku Sha.” Reinald berpura-pura melepaskan pelukannya. Ia hanya ingin melihat reaksi Natasha. Diluar dugaan, Natasha malah menarik Reinald ke dalam pelukannya. Menyambar bibir Reinald dan melumatnya dengan rakus. Reinald cukup terbelalak dengan perlakuan Natasha. Andhini—kekasihnya—tidak pernah seagresif ini. Andhini memang panas dan mampu memuaskan Reinald, tapi Andhini tidak pernah menyerangnya lebih dulu. Seketika pikiran tentang Andhini lenyap. Reinald mulai menikmati pergumulannya dengan Natasha. Wanita muda itu juga tak kalah nikmatnya. Gigitan-gigitan Natasha memiliki sensàsi berbeda. Reinald meremang. Beberapa menit berlalu, akhirnya wanita itu melepaskan ciumannya. “Maafkan Tasha pak, Tasha merindukannya,” bisik Natasha pelan ke telinga Reinald. “Ya, aku mengerti,” balas Reinald. Tak butuh waktu lama bagi pria itu membuat tubuh indah Natasha menjadi pólos tanpa sehelai benàng pun. Reinald cukup terbelalak dengan kemolekan tubuh yang ada di depannya. Ia mulai berselancar, melumat dan memberikan sensàsi di area milik Natasha. Seketika wanita itu mengerang, tegang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD