BAB 14 – Butik Panas

1658 Words
Panas ... Panas ... Panas ... hahaha, siapin kipas ya sebelum buka episode ini, KISS ... === === === “I—ini tadi leher Dhini gatal ma, karena di gigit nyamuk, terus Dhini garuk jadinya memerah. Auch ....” Andhini pura-pura mengerang ketika ia menyentuh sendiri bekas kepemilikan yang ada di lehernya. “Ya sudah, kamu istirahat dulu. Bukankah besok kamu harus pergi bekerja.” Wanita paruh baya itu tidak menaruh curiga pada putrinya. Andhini bergegas menuju kamarnya, menutup pintu dan segera mengunci pintu itu. Andhini merebahkan badan ke atas ranjang. Sesekali ia tersenyum membayangkan perlakuan Reinald terhadapnya. Perasaan Andhini melayang, seperti kembali ke masa lima belas tahun silam. Kembali ke masa-masa baru mengenal cinta. Merasa terbuai dengan getaran-getaran kehangatan yang di berikan oleh kekasihnya. Andhini kemudian bangkit dan berjalan menuju meja rias dengan sebuah cermin besar yang terdapat di kamarnya. Ia mulai melepas pakaiannya. Membiarkan tubuh polosnya menganga di hadapannya sendiri. Andhini memperhatikan setiap lekukan tubuhnya, banyak sekali tanda. Tanda kepemilikan yang telah di buat oleh Reinald. Andhini menyentuh satu per satu tanda itu. Ada perasaan bersalah di hatinya. Bersalah karena telah menghianati Soni, menghianati Mira dan menghianati ke dua orang tua. Ia terus memperhatikan semua itu, hingga ia tidak mampu menahan butiran bening yang akhirnya keluar dari ke dua netra cantik miliknya.    “Apa yang sudah aku lakukan?” gumam Andhini sendirian di dalam kamarnya. Kemudian Andhini terduduk lagi di atas ranjang, masih menghadap ke cermin. Ia masih belum puas mengutuk dirinya sendiri. “Tapi apa aku salah mencintai mas Rei? Mungkin apa yang di katakan mas Rei memang benar, aku tidak perlu memikirikan apapun. Bukankah kami sama-sama saling mencintai? Aku tinggal menikmati semua, apa salahnya?” gumam Andhini kembali. Wanita itu menyeka air mata yang sudah membasahi kedua pipinya. Ia berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa apa yang ia lakukan bukanlah sebuah kesalahan. Ia berusaha untuk menepis pikiran-pikiran buruk yang terus menghantuinya. Andhini memutuskan untuk mengganti pakaian dan akhirnya terlelap. - - - Pagi ini Andhini terbangun dengan perasaan bersemangat. Hari ini adalah hari pertama ia bekerja. Ia akan mengelola sebuah butik milik Reinald. Andhini sudah berpakaian rapi, tak lupa ia mengenakan sebuah baju dalaman ber kerah tinggi untuk menutupi lehernya yang penuh tanda merah. Andhini tidak ingin orang lain melihat tanda itu dan bertanya macam-macam. Apalagi Mira, pasti kakaknya tersebut akan memojokkannya terus jika melihat tanda seperti itu di lehernya di saat suami Andhini tidak berada di rumah. Dengan cekatan, Andhini mulai menghidangkan sarapan di atas meja makan. Orang tua Andhini yang sudah duduk di kursi makan begitu bangga melihat putri bungsu mereka. Walau harus bekerja di luar rumah, namun Andhini masih menyempatkan diri menyiapkan sarapan dan melayani anggota keluarga ini. Tak lama Reinald dan Mira keluar dari kamar. Reinald begitu tertegun melihat Andhini yang tampak sangat cantik dengan blazer yang membalut tubuhnya. Rambut yang si sanggul rapi dan make up natural. Wanita itu dengan sumringah melayani semua orang yang sudah duduk di meja makan besar kediaman orang tua Andhini. “Ada apa mas? Apa yang kamu perhatikan?” Mira menyentak lamun Reinald. Pria itu segera memalingkan wajahnya, ia tidak ingin Mira curiga. “Aku hanya melihat jam, ternyata sudah jam tujuh pagi. Pantas saja anak-anak sudah tidak lagi di meja makan.” Reinald tersenyum manis memandang Mira, Mira merona. “Ayo kita sarapan dulu.” Mira berjalan lebih dauhulu menuju meja makan. Andhini berdebar  ketika melihat Reinald berjalan mendekat ke arahnya. Namun ia segera memalingkan wajah dan berusaha bersikap seperti biasa. Mira tampak cuek, wanita itu bahkan tidak menyapa Andhini yang mulai menghidangkan sarapan untuknya. Andhini dilema. Di lain sisi ia begitu senang dengan kehadiran Reinald di meja makan karena ia bisa melayani sarapan untuk kekasihnya. Tapi di sisi lain, ia masih mendongkol dengan sikap pongah Mira terhadapnya. Sejenak Andhini termenung. Ia merindukan sosok kakaknya dua puluh lima tahun yang lalu. Ketika mereka masih anak-anak, Mira dan Resti adalah kakak yang baik. Kakak yang begitu mencintainya dan melindunginya. Kakak yang bangga memiliki adik yang cantik seperti dirinya. Namun semua sikap itu berubah tatkala mereka semua mulai beranjak remaja mendekati dewasa. Ketika Mira dan Resti mulai merasa tersaingi oleh Andhini. Resti dan Mira merasa orang tua mereka lebih menyayangi Andhini dan selalu memujinya. Sebaliknya Resti dan Mira juga sering terpojokkan. Setiap Resti dan Mira memiliki teman dekat, mereka semua pasti akan berpaling dan balik memuji adik mereka ketimbang diri mereka sendiri. Hal tersebut membuat Resti dan Mira berang. Mereka berdua menjadi benci terhadap Andhini “Dhini, ada apa? Mengapa kamu melamun?” Neti menyentak lamunan Andhini. “Ng—nggak ada ma. Dhini hanya gugup karena inikan hari pertama Dhini kerja. Apalagi Dhini harus mengelola butik, bukan sebagai pelayan, tentu tanggung jawabnya berat.” Andhini berbohong. Pandangan Andhini beradu dengan pandangan Mira. Mira menatap Andhini dengan tatapan penuh cela, namun Andhini segera berpaling dan menepis pikiran buruk yang menguasai otaknya. Bagaimanapun, Mira adalah kakak kandungnya. Andhini tidak akan mampu untuk membenci kakaknya sendiri. Jiwa dan mentalnya memang sudah terlatih untuk di terpa sedari kecil. Jadi baginya tidak masalah jika hanya di tatap dengan tatapan penuh cela seperti yang di lakukan Mira terhadapnya. Reinald begitu menikmati sarapan yang di buat Andhini. Setiap hari, perut Reinald memang selalu di manjakan oleh masakan pujaan hatinya itu. Ingin rasanya Reinald mengutarakan kalimat pujian di pagi hari untuk Andhini, namun hal itu tidak mungkin terjadi. Biarkanlah ia memuji Andhini lewat relung hati terdalamnya. “Ma, Dhini berangkat ya. Kemungkinan setiap hari dhini akan pulang malam. Sebentar lagi Inah akan datang untuk membersihkan rumah dan memasak.”  Andhini mencium punggung tangan ibunya. “Iya, hati-hati ya nak.” Neti mencium puncak kepala Andhini, begitupun dengan papa Andhini yang memberikan doa terbaik untuk putri bungsu mereka. Reinald sudah lebih dahulu meninggalkan rumah mereka. Sementara Mira tengah asyik menonton infotainment. Mira memang sangat hobi menonton gosip para selebriti. Selanjutnya gosip-gosip tersebut akan kembali di ulang-ulang ketika ia bertemu dengan teman-temannya. “Mbak, aku berangkat kerja dulu.” Andhini masih berusaha sopan dan menyapa kakaknya. “Hhmm ...,” jawab Mira ketus. Andhini menghela napas panjang, kemudian berlalu dari balik pintu. Di depan sudah menunggu sebuah taksi online yang sudah di pesankan oleh Reinald. Dua puluh menit berlalu, akhirnya Andhini sampai di tempat yang ia tuju. Sebuah butik berlantai dua sudah menunggu pengurus barunya. Di depan pintu kaca kembar dua, masih terpampang tulisan “closed”, itu artinya butik masih tutup. Andhini kemudian mengambil kunci yang sudah diberikan Reinald kepadanya. Namun, belum jadi Andhini mengambil kunci, ponselnya berdering. “Halo mas.” “Hai sayang, kamu sudah di depan butik?” “Ya.” “Langsung masuk saja, aku sudah berada di dalam.” “Lho, kamu nggak ke kantor mas?” “Aku sudah mengisi absen. Aku izin keluar sebentar, itu tidak akan jadi masalah. Aku sudah terbiasa melakukan itu.” “Pantas saja pintu besinya sudah terbuka.” “Iya, langsung saja ke lantai dua. Jangan lupa mengunci pintu kembali.” Reinald kemudian mematikan ponselnya. Andhini bergegas masuk ke dalam butik. Ini adalah pertama kalinya ia masuk ke dalam butik tempat ia akan bekerja. Hari ini, Andhini sengaja datang lebih awal karena Reinald harus menjelaskan apa-apa saja tugasnya selama bekerja. Setelah mengunci kembali pintu, Andhini langsung menuju lantai dua. Andhini cukup tertegun melihat suasana butik milik Reinald. Butik yang sangat bersih dan rapi. Reinald memang sangat pandai mengelola bisnisnya dan juga begitu piawai merahasiakannya dari Mira. Masuk ke lantai dua, Andhini melihat sebuah ruangan besar tempat Reinald menyimpan stok barang-barangnya. Gudang penyimpanan barang tersebut benar-benar sangat rapi. Di masing-masing rak sudah di beri kode jenis barang. Andhini semakin kagum dengan sosok pria yang bernama Reinald itu. “Dhini, kenapa malah bengong di sini? Ayo masuk!” Reinald tiba-tiba keluar dari sebuah ruangan berukuran 4x4 meter. “Mas ... Aku begitu mengagumi hasil kerja kerasmu. Kau sangat teliti dan rapi.” Senyum tipis terukir dari bibir indah Andhini. Senyum yang membuat Reinald seketika meremang. “Ayo masuk ke dalam,” perintah Reinald seraya masuk ke ruangan pribadi miliknya, Andhini mengikuti. Di ruangan itu terdapat dua buah meja kerja, satu buah televisi besar yang menempel ke dinding dan sebuah sofa panjang untuk bersantai. Reinald segera menutup pintu dan langsung mendekap tubuh Andhini dari belakang. Seketika wanita itu tersentak. “Ma—mas ....” “Dhini, kau tau, semua ruangan di sini sudah di lengkapi dengan CCTV kecuali ruangan ini. Aku sudah lama menunggumu di sini, tapi kamu malah bengong di luar.” Reinald membalik tubuh Andhini dan menatap lembut netra waita itu. “Ta-tapi mas—.” Belum selesai Andhini berucap, Reinald langsung melahap rakus bibir indah berbalut lipstik berwarna peach lembut. Andhini menjatuhkan tasnya ke lantai dan membalas pelukan dan ciuman panas Reinald. Ruangan itu seakan membawa aura berbeda untuk mereka berdua. Andhini yang biasanya malu-malu dan menolak terlebih dahulu, saat ini malah menginginkannya. Setelah beberapa menit menikmati kehangatan dalam area mulut masing-masing, Andhini tiba-tiba tersentak. “Mas, bagaimana nanti jika ada yang datang?” Andhini melepaskan pelukan Reinald. Ia mulai merapikan rambutnya yang berantakan. “Tidak akan ada yang datang, ini masih terlalu pagi Dhini. Karyawan butik biasanya mulai datang jam 9.30 pagi. Ini masih jam 8.30, masih ada waktu untuk kita menikmatinya,” ucap Reinald yang kembali meraih tubuh Andhini masuk ke dalam pelukannya. “Ta—tapi .... Aahh ....” Reinald tidak peduli dengan keluhan andhini. Pria itu sudah si puncak biràhi. Ruangan yang dingin oleh AC berubah menjad panas. Tubuh yang rapi berbalut pakaian formal khas pekerja kantoran, berubah menjadi pólos dan sangat berantakan. Reinald dan Andhini benar-benar menikmati peran mereka. Merasakan surga berbalut dosa. “Keraskan suaramu Dhini, tidak ada siapa pun yang akan mendengarnya. Bahkan jika kau berteriak sekali pun. Aku menyukai desàhan dan erangànmu yang keras.” Perintah Reinald dengan napas terengàh-engàh.  Andhini semakin menggilà. Suara erangan dan desàhan yang lebih keras dari biasanya mendominasi ruangan itu. Andhini berkali-kali menggigit bibir bawahnya, meremas rambut dan dadanya sendiri karena hari ini, Reinald benar-benar berbeda. Suasana ruangan ini seperti mendukung aktifitas mereka berdua.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD