"Maaf, Nona. Aku bukan penguntit dan aku sudah lama bekerja di sini. Jadi, jangan sembarangan menuduh saya," elak pria yang kutemui di club tadi malam.
"Benarkah?" Aku tidak akan mempercayainya begitu saja setelah mengetahui bagaimana cara dia menatapku tadi malam. "Coba tunjukkan tanda pengenalmu." Setidaknya aku harus lebih waspada terhadap p****************g sepertinya sebelum hal buruk menimpaku.
"Maaf, tapi untuk apa? Aku sedang bekerja dan tanda pengenalku ada di dalam tas. Dan kau bisa lihat sekarang, kalau aku tidak membawa tasku," balasnya sambil mengedikkan bahunya.
"Aku tidak mau tahu. Pokoknya aku ingin melihat tanda pengenalmu. Kalau tidak, aku akan membuatmu dipecat." Aku kekeh dengan memgancam dan tidak peduli dengan alasannya. Aku tetap pada pendirianku untuk melihat kartu identitas pria itu.
"Baiklah. Kau bisa menunggu tiga puluh menit lagi sampai waktu istirahat tiba," balasnya sambil lalu kembali pada pekerjaannya.
Sambil menunggu, aku menikmati makanan yang telah aku pesan .Tidak lama kemudian, dia datang dan menyerahkan kartu identitasnya. Aku memeriksa nama, tempat tanggal lahir, dan tempat tinggalnya.
"Siapa namamu?" tanyaku fokus menatap foto di tanda pengenal itu.
"Kalingga, kau bisa memanggilku Lingga," jawabnya menyebutkan nama panggilannya.
"Aku tidak memintamu untuk menyebutkan nama panggilanmu." Aku bisa mendengar helaan nafasnya yang panjang.
Tidak ingin terlalu lama berinteraksi dengan pria itu. Aku lekas mengeluarkan ponselku dari dalam tas dan memotretnya.
"Aku memotret tanda pengenalmu karena aku takut kau benar-benar membuntutiku," kataku sebelum akhirnya aku angkat kaki dan pergi.
Aku berpikir, ke mana aku harus pergi dan apa saja yang harus aku lakukan. Akhirnya, aku memutuskan untuk pergi berjalan kaki di sepanjang trotoar. Aku sengaja meninggalkan mobilku di parkiran restoran karena tidak berencana untuk berlama-lama berjalan kaki. Namun tanpa aku sadari, aku tidak bisa berhenti dan berbalik. Aku terus berjalan mengikuti arah langkah kakiku melangkah.
Setelah beberapa jam kakiku tidak berhenti melangkah. Aku kembali ke cafe menggunakan taksi. Rasa-rasanya aku tidak akan sanggup lagi untuk berjalan.
Ketika sampai di parkiran restoran. Aku langsung pergi ke apartemen untuk sekedar bersih-bersih sebelum benar-benar pindah ke sana. Namun setelah sampai di sana, aku mendapati apartemenku sudah dalam keadaan bersih dan rapi. Aku yakin Papa dan Mama sudah menyuruh orang untuk membersihkannya.
Aku menghempaskan tubuhku di sofa sambil memejamkan mata. Namun, aku mendengar sesuatu dari arah kamarku. Aku mengendap-endap masuk ke dalam dan mendapati seseorang berada di sana. Aku mencari sesuatu yang bisa kugunakan untuk berjaga-jaga. Yah, aku memegang sapu dan mendekat.
"Yaaaaaa ..." Aku berteriak sambil mengayunkan sapu ke punggung seseorang itu. Aku tidak berani membuka mataku sama sekali. Alih-alih memukul punggung seseorang itu. Aku justru tertarik dan terjatuh ke atas tempat tidur. Perlahan, aku membuka mata dan mendapati wajah pria itu tepat beberapa senti di depan mataku.
"Ka-kau lagi?"
"Iya, ini aku," jawabnya sambil menjauhkan tubuhnya dari tubuhku karena posisi canggungnya yang mengungkung tubuhku dengan intim.
"Bukankah kau bilang kau sedang bekerja di restoran? Bukankah kau bilang kalau kau ini bukan penguntit? Lalu, bagaimana bisa kau ada di apartemenku?" tanyaku dengan nada curiga.
"Aku memang bukan penguntit dan aku bekerja di restoran itu hanya sebatas lima jam per hari. Dan sekarang, aku sedang bekerja membersihkan rumah ini," jelasnya tanpa menatapku dan justru sibuk mengerjakan hal lain.
"Kau pikir aku percaya? Tidak mungkin! Tidak ada kebetulan yang terjadi sampai tiga kali seperti ini. Terlebih, dalam waktu yang kurang dari dua puluh empat jam. Aku yakin, kau sudah mengaturnya lebih dulu."
"Yah, memang kejadian ini terasa sangat tidak masuk akal dan aku tidak berharap kau bisa mempercayainya. Tapi, apa kau tahu? Jika seseorang bertemu tiga kali berturut-turut tanpa disengaja. Itu disebut sebagai takdir. Takdir yang mempertemukan kita sampai tiga kali dalam satu hari ini," balasnya membual.
Siapa yang akan percaya dengan bualan konyol seperti itu? Dan aku merupakan salah satu orang yang tidak bisa percaya dengan bualannya.
"Takdir kau bilang? Cih! Kau pikir aku anak kecil yang dengan mudahnya bisa kau bodohi. Lebih baik kau selesaikan pekerjaanmu dan pergi dari sini."
"Baiklah. Tapi, tidak bisakah kau memberiku sedikit air? Aku haus sekali karena sejak tadi belum menelan satu tetes air pun," pintanya padaku sambil menyentuh lehernya.
"Kau bisa membelinya nanti setelah keluar dari sini," jawabku malas.
"Kenapa kau pelit sekali?" Pria itu mendesah mendengar penolakanku.
"Kau tidak lihat di apartemenku kosong dan tidak ada apa-apanya?" Aku melirik ke arahnya yang sedang merapikan alat bersih-bersih.
"Aku tahu dan aku sudah selesai," balasnya dingin.
Ada apa dengan pria itu? Kenapa suaranya terdengar seperti orang yang sedang marah dengan kekasihnya?
"Tunggu!" Aku mencegah langkahnya yang hendak keluar.
"Ada apa?" tanya pria itu dengan dahi yang berkerut dalam.
"Jangan pernah muncul lagi di depanku." Aku bisa melihat perubahan ekspresi wajahnya.
"Maaf, karena aku tidak bisa menjaminnya. Bisa saja aku menuruti keinginanmu untuk tidak muncul lagi di depanmu. Tapi, aku tidak bisa menolak takdir jika terus dipertemukan denganmu. Satu hal yang harus kau tahu. Kalau aku, senang bisa bertemu denganmu."
Aku benar-benar tercengang mendengar jawabannya. Pria macam apa yang pandai berkata-kata seperti itu. Apalagi melihat senyumnya yang begitu menyebalkan. Aku berharap, untuk selanjutnya tidak akan pernah bertemu lagi dengannya.
"Tapi aku tidak senang bertemu denganmu. Jadi, lebih baik kau pergi sekarang jika kau sudah selesai."
Cih! Siapa yang senang bertemu dengan pria miskin berwajah pas-pasan seperti dia. Lihat saja tinggi badannya yang hanya berbeda beberapa sentimeter denganku. Jauh sekali dari kriteria pria idamanku. Karena pria idamanku harus pria tampan, kaya, dan terhormat. Contohnya seperti Kanagara Candramawa pemilik PT Candramawa Tbk. yang sekaligus Kakak Ipar tiriku, suami Shalom.
"Baiklah, Nona. Tapi, bolehkah aku tahu siapa namamu?" tanyanya yang membuat darahku naik sampai ke ubun-ubun.
"Aku bilang keluar!" Aku berteriak sampai urat-urat di leherku hampir putus.
"Tidak perlu kau usir pun aku akan segera keluar. Tapi sebelum aku keluar, ada yang ingin kukatakan padamu," cetus pria itu malas.
"Apa?! Cepat katakan padaku dan pergilah." Aku tidak ingin terus-menerus berada di ruangan yang sama dengan pria menyebalkan seperti dia.
"Aku memiliki pekerjaan paruh waktu lebih dari tiga dalam satu hari. Jadi, Jika suatu saat nanti kita bertemu di tempat kerjaku yang lain. Maka, jangan salahkan aku dan ikuti saja alur yang telah Tuhan gariskan untuk kita."
"Apa kau bilang?! Keluar dari sini sekarang juga! Keluar!"