3. Pergilah!

1036 Words
"Baiklah. Sampai jumpa lagi, Nona Elegi Vektor." Apa? Dia tahu namaku. Dari mana dia tahu namaku? Bukankah sebelumnya dia bertanya siapa namaku? Lalu, apa sekarang? "Tunggu!" Aku berteriak mencegahnya keluar sebelum rasa penasaranku hilang. "Bagaimana kau tahu namaku, Penguntit?" "Sudah kubilang kalau aku bukan penguntit." Aku bisa melihat kilatan amarah di manik matanya yang hitam legam itu. "Lalu, bagaimana kau tahu namaku?" Aku berjalan ke arahnya sambil melipat kedua tanganku di d**a. Ah, iya. Kalingga, Lingga namanya. "Tentu saja karena kau pemilik apartemen ini. Aku mengetahui namamu karena orang tuamu memesan jasa bersih-bersih di perusahaan kami dengan menyebutkan namamu. Apa kau puas?!" Kilatan mengejek terpancar disorot matanya dan aku sangat tidak suka itu. Hanya aku yang boleh menatap dengan tatapan seperti itu. "Pergilah!" Kalingga keluar dari kamarku dan mungkin langsung keluar dari apartemenku setelah mendengar kata terakhirku. Aku tidak peduli meski dia marah karena aku tidak suka berhubungan dengan orang sepertinya. Setelah Satu Minggu berlalu, aku masih nyaman menjadi seorang pengangguran. Aku masih belum puas menikmati udara bebas yang baru saja aku hirup ini. Ketika mobilku kehabisan bahan bakar. Aku pergi ke pom bensin tidak jauh dari apartemenku. Seperti apa kata Kalingga, bahwa dia memiliki lebih dari tiga pekerjaan paruh waktu. Aku mendapati pria itu di tempat ini. Dia menjadi petugas pom bensin yang mau tidak mau aku harus berinteraksi dengannya. Ya, meskipun hanya sekedar pembeli dan penjual. Namun anehnya, sikap pria itu seperti orang yang tidak mengenaliku. Atau mungkin karena kata-katamu sebelumnya. Aku terpaku untuk sesaat untuk memperhatikannya. Namun, aku sadar apa yang aku lakukan dan sepertinya aku gila. Aku gila karena bisa memperhatikannya meski hanya beberapa detik saja. Teringat harus membeli perlengkapan dapur, aku pergi ke supermarket. Jujur, ini pertama kalinya aku repot-repot pergi ke supermarket untuk membeli keperluan dapurku. Karena selama ini, aku tinggal di rumah kedua orang tuaku. Bahkan, aku tidak pernah menyentuh barang apapun yang berhubungan dengan dapur. Ketika sedang mencari barang apa saja yang harus aku beli. Tidak sengaja, aku bertemu dengan Shalom dan keluarga kecilnya. Aku berpikir kenapa harus bertemu dengan mereka. Meskipun dulu Kanagara begitu mengerikan ketika membalaskan dendamnya padaku. Namun tetap saja, jantungku berdetak tidak terkendali. Pesonanya membuat aku menggila. Tidak ingin mereka melihatku, aku segera bersembunyi di balik rak. Lalu, aku bergerak ke lorong lain. Tapi, Tuhan berkehendak lain dan justru mempertemukanku dengan mantan kekasih yang kuputuskan demi mengejar Kanagara kala itu. "Apa ini benar-benar kau, Egi?" tanyanya dengan raut berbinar. Terlihat sekali bahwa dia senang bertemu denganku. "Ha-hai." Aku menyapanya dengan canggung, "Iya, ini aku. Kau apa kabar?" "Kabarku tidak pernah baik setelah kau memutuskan hubungan denganku," balasnya murung. Jantungku, jantungku berdetak kencang mendengar ucapannya. Apa dia masih mencintaiku seperti dulu? "Jangan bercanda, Jeff! Kau tahu hubungan kita sudah lama berakhir? Jadi, jangan bersikap seolah baru terjadi beberapa hari yang lalu." Aku tidak percaya jika dia masih mencintaiku. Aku justru berpikir bahwa dia sedang berusaha mengelabuiku. Bagaimana tidak, dia yang notabene anak orang kaya yang tidak pernah pergi ke supermarket dan sekarang dia ada di sini. Aku berpikir mungkin dia sedang berbelanja bersama istrinya di supermarket ini. "Aku tahu, tapi aku belum bisa melupakanmu, Egi. Bahkan mungkin sampai kapanpun aku tidak akan pernah bisa melupakanmu," jelasnya menggebu. "Jangan berbicara seperti itu. Aku takut istrimu marah dan menyalahkanku." Aku berpaling dan mendorong troli menuju kasir. "Aku belum menikah dan bagaimana bisa aku memiliki istri. Aku bahkan belum bisa melupakanmu. Bagaimana bisa aku menikah dan memiliki istri," cetusnya berjalan mengikutiku. Aku melirik sejenak memeriksa bagaimana ekspresi wajahnya dan aku bisa melihat dia tidak fokus. Matanya menyapu setiap sudut supermarket ini. Tiba-tiba sebuah telapak tangan mendarat di pipi kiriku. Panas, itu yang aku rasakan saat ini. Pipiku terasa sangat panas hingga berdengung di telingaku. Setelah aku menoleh, aku melihat seorang wanita cantik dengan wajah merah padam. Bahkan bola matanya nyaris melompat keluar. "Apa yang kau lakukan?!" Aku membentaknya tidak terima. Bagaimana bisa ada orang yang berani menamparku di depan khalayak umum. "Seharusnya aku yang bertanya padamu. Apa yang kau lakukan bersama suamiku?!" Aku langsung menoleh ke arah Jeff. Pria itu hanya diam tanpa ekspresi. Aku tidak bisa menilai apa yang ada di dalam pikirannya. "Apa dia suamimu?" tanyaku pada wanita itu. "Jangan berpura-pura bodoh, Jalang!" tuduhnya padaku. Tidak hanya wanita itu saja yang berpikir bahwa aku menjadi orang ketiga bagi rumah tangganya. Namun, semua orang di sini pun sama. Mereka menatapku jijik dan seolah langsung melabeliku dengan sebutan pelakor atau wanita perebut suami orang. "Aku? Berpura-pura bodoh? Hahaha ..." Aku tidak bisa menahan tawaku lagi. Namun, melihat Kanagara muncul bersama Shalom dan kedua anaknya di antara kerumunan membuat jantungku kembali tidak bisa dikendalikan. Entah karena aku masih mencintainya atau karena takut dia akan melihat aku dalam posisi tidak baik. "Lebih baik kau tanyakan saja pada suamimu, siapa aku ini. Bila perlu, kau cek rekaman CCTV di sini agar kau tahu betapa tidak tahu malunya, suamimu itu." Aku tidak ingin Kanagara melihatku dalam keadaan terpojok seperti ini. Terlebih dengan kasus yang memalukan seperti ini. Jadi, aku memutuskan untuk mengakhirinya dan bergegas menuju antrianku. "Hei! Kau mau pergi ke mana? Enak saja kau mau kabur," teriak wanita itu membuat telingaku sakit. "Untuk apa aku kabur. Aku tidak melakukan kesalahan apapun. Sudah kukatakan padamu agar kau bertanya pada suamimu sebenarnya apa yang terjadi. Kenapa kau terus memojokkan aku?" Jika aku seekor rubah berekor sembilan. Mungkin sudah kugigit Jeff karena diam saja melihatku dipojokkan seperti ini. "Cih! Maling mana ada yang mau mengaku," ejek wanita itu membuatku naik pitam. "Apa kau bilang? Kau tahu? Jeff ini mantan kekasihku yang entah berapa tahun yang lalu aku putuskan. Aku bertemu dengannya di sini tanpa disengaja. Dan gilanya suamimu ini, dia bilang masih single dan masih mencintaiku. Dari lorong sana dia mengikutiku sampai di sini." Aku menjelaskannya panjang lebar tidak seperti sifatku yang sebelumnya selalu urakan dan bertindak sesuka hatiku. Semenjak mendekam di dalam jeruji besi. Aku bertekad untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Aku tidak ingin membuat Papa dan Mama turun tangan untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang aku buat. "Cih! Kau pikir aku akan percaya?" ujarnya tersenyum mengejek. Rasa-rasanya ingin kurobek mulutnya agar dia tidak bisa tersenyum lagi. Namun, lagi-lagi aku berusaha menahan emosiku kuat-kuat. "Ada apa ini ramai-ramai?" Terlihat seseorang berjalan membelah kerumunan dan berdiri tepat di depanku. "Apa kau sudah selesai berbelanja, Sayang?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD