02. Erina

1894 Words
Aku berlari dengan kesal begitu seseorang tanpa sengaja menginjak kakiku yang mungil. Permintaan maafnya bahkan tak mampu membuat nyeri di kakiku membaik, belum lagi menjadi tambah badmood karena kejadian itu. Baru dua jam yang lalu aku bangun, tapi rasanya seharian ini akan terasa menyebalkan. Tadi, pagi-pagi sekali mama masuk ke kamarku dan membangunkanku sambil memprotes kebiasaan bangun siang ku. Aku sama sekali tidak mempermasalahkan itu, jika bukan karena mama yang malah membahas Alka dan mengatakan bahwa pria itu memutuskan ku karena sifatku yang pemalas. Alka itu adalah mantan pacar yang baru kuputusi sekitar tiga bulan yang lalu. "Rina, bangun. Kamu ini udah sebesar ini masih aja susah bangun, gimana mau jadi seorang istri coba. Siapa coba yang mau sama cewek pemalas kayak kamu ini." ujar mamaku--Ratna Yunita--dengan judes sembari membuka penutup jendela kamar agar cahaya bisa masuk dengan mudah dan mengganggu tidurku. Aku menaikkan selimut dan menutup seluruh tubuhku sambil menggeliat kecil. Mama memukulku dan membuatku meringis merasa terganggu, "Ma, aku ngantuk." protesku. "Berubah dikitlah Rin, kamu ini udah mau kepala tiga, tapi masih pemalas kayak gini. Seharusnya kamu udah belajar jadi calon istri yang baik supaya cowok nempel sama kamu. Lihat tuh, Alka aja ninggalin kamu. Pasti ini karena kamu pemalas kan? Mana ada yang mau sama cewek pemalas kayak kamu." "Udahlah Ma, jangan bahas Alka lagi deh. Aku males dengernya." "Tuh kan, dikasih nasihat aja kamu masih ngebantah, gimana Alka bisa betah sama kamu. Dia bahkan bisa cari yang lebih baik dari kamu." Erina membuka selimutnya dan menatap Mamanya kesal, "Aku juga bisa dapetin yang lebih dari Alka. Mama kenapa sih selalu aja bahas Alka dan jatuhin aku kayak gini. Dia juga nggak begitu bagus buat dijadiin suami." desisku kesal, lalu memasuki kamar mandi setelah membawa handukku. "Kalau dia yang nggak bagus, kenapa dia yang jauhin kamu duluan? Dia nyuekin kamu dan jarang nyempetin waktu buat kamu? Ya karena ada yang salah sama kamu." Mama masih tak ingin mengalah dan membuatku semakin jengah. "Udahlah, Mama nggak tahu apa-apa. Mama sendiri juga belum bener dalam memilih suami." balasku dan kalimat itu berhasil membungkam Mama. *** "Telat mulu kamu belakangan ini Rin, nggak takut gaji kamu abis dipotong sama yayasan?" aku menoleh dan mendapati Fina yang sedang sarapan. Meja kami bersebelahan, jadi aku bisa mendengar jelas suaranya. Aku duduk dan menghela nafas dengan kasar, "Yakali terlambat tiga kali bisa bikin gaji aku abis, kak." "Terlambat tiga kali mah tiga hari belakangan ini, belakangannya lagi udah nggak terhitung." ejeknya. "Sial, nggak sebanyak itu juga, kamu nggak usah jelek-jelekin aku, malu nih didenger sama Bu Diana." balasku sambil melirik Bu Diana yang mendengarkan kami. Bu Diana tersenyum dan menggelengkan kepalanya, "Ibu juga udah kenal kali sama sifat kamu, Rin." Aku membuka tas dan mengeluarkan bungkusan nasi yang tadi kubeli. Walaupun sebentar lagi bel berbunyi dan aku harus masuk ke kelas, tetapi aku berusaha menyempatkan setidaknya beberapa suap nasi masuk ke dalam perutku. Karena bertengkar dengan Mama tadi, aku jadi tidak mau makan di rumah sekalipun Mama sudah mengajakku. "Ada gosip apa nih?" Risma tiba-tiba datang dan berdiri diantara mejaku dan meja Fina. "Ah, Bu Risma ini, nggak ada apa-apa kok." ujarku sambil memelotinya dan memberikan petunjuk bahwa ada seseorang di belakangnya. Ia mengernyit, "Kenapa tiba-tiba kamu bersifat formal, Rin?" tanyanya dan aku berdecak kesal karena ia tidak mengerti kodeku. "Ada Kepala Sekolah, Ris." ujar Fina pelan, tetapi aku yakin bahwa kepala sekolah masih mendengar suaranya. Risma memutar tubuhnya dan tersenyum canggung, lalu perlahan kembali ke mejanya dengan hati-hati. Aku yakin semua orang dalam ruangan ini sedang menahan tawa karena melihat tingkah Risma, kecuali kepala sekolah tentunya. "Siapa yang belum datang, Pak Jefri?" tanya kepala sekolah kepada guru yang tugas piket hari ini. Kepala sekolah memang selalu menyempatkan untuk bertanya mengenai keterlambatan meskipun semua guru sudah mengisi kehadiran dengan sidik jari. "Semua guru sudah hadir, Pak." Setelah itu kepala sekolah keluar dari ruang guru tanpa berkata apapun dan bertepatan bel yang berbunyi dengan sangat nyaring. Semua guru sontak bersiap untuk memasuki kelas atau kesibukan lainnya. *** Seminggu telah berlalu sejak kejadian kakiku yang terinjak itu dan aku masih merasakan kejombloan tiada akhir sambil menikmati waktu jombloku dengan mengajar. "Rina," aku menoleh untuk melihat Risma yang berusaha mengejarku dan menyamakan langkah kami. "Kenapa Ris?" tanyaku membalas panggilannya. "Kemaren kamu bilang lagi nyari calon suami kan?" ia menaik-turunkan alisnya untuk menggodaku. "Ihh apaan sih Ris." desisku mengelak. Aku terlalu malu mendengar pertanyaan itu, seolah aku sangat tak laku sampai aku yang mencari calon pria. "Ada temen aku yang mau minta nomor kamu, terus aku kasih deh. Sebenarnya udah dari minggu lalu, tapi aku lupa, terus tadi dia ngechat lagi, jadi aku kirim aja. Toh kamu juga lagi nyari calon kan." Aku mengernyit heran, "Siapa? Kamu nawarin nomor aku sama temen kamu ya?" tudingku dengan nada bercanda. "Iya, kebetulan dia juga lagi nyari calon istri. Cocoklah jomblo sama jomblo." Ejeknya dan itu membuatku kesal dan merasa sangat tersindir. "Udahlah Ris, aku mau masuk kelas dulu." ujarku mengakhiri gosip kami sebelum makin panjang dan membuat kepala sekolah menegur kami. *** "Selamat pagi" sapaku pada kelas. "Pagi Bu Guru" jawab mereka serentak. Karena sudah mengajar cukup lama di Sekolah Dasar Swasta Aruma ini, aku ditunjuk menjadi wali kelas untuk kelas III A. Dulu saat masih menjadi guru honor, aku berharap segera menjadi guru tetap dan wali kelas, tetapi pada akhirnya aku bahkan merasa sangat menyesal saat harapan itu terkabul. Bukan masalah pada posisiku menjadi guru tetap, jelas aku bersyukur akan hal itu, tetapi setelah dua bulan ini menjadi wali kelas, aku akhirnya sadar mengapa guru-guru sering mengeluh. Mengajar murid SD memang membutuhkan kesabaran ekstra karena aku masih harus terbiasa dengan sikap mereka yang sulit diatur dan mudah bertengkar satu sama lain. Belum dua bulan saja, aku sudah dua kali memanggil orang tua murid karena anaknya berulah, apalagi setahun nanti. *** Ketika hendak pulang, Risma menghampiriku sambil menggandeng bocah yang kuketahui kalau itu adalah murid kelasku. Namanya Arez dan hobinya terlambat serta menggunakan pakaian kusut. Aku sering menegurnya karena kebiasaan buruk itu dan ia terus menjawab dengan kalimat yang sudah kuingat mati, "Papa lama bangun, Bu." "Papa lama masak, Bu." "Papa lupa nyetrika baju, Bu." Aku sampai bertanya-tanya, seburuk apa Papanya sampai bocah itu terus mengatakan papanya sebagai alasan keterlambatan? Sedangkan mamanya, aku sudah tahu kalau ia tak memilikinya lagi, jadi aku tak pernah menyinggung hal itu. "Rin, aku duluan ya, soalnya nanti mau ada acara keluarga. Oh ya, jangan lupa loh balas nomor asing kalau masuk ke hp kamu, siapa tau itu calon gebetan atau kalau cocok jadi calon suami kamu." pesannya sambil mengedipkan sebelah mata untuk menggodaku. Aku mencebikkan bibir dengan tak acuh, lalu melanjutkan perjalananku menuju gerbang sekolah. Oh, andaikan aku orang kaya, pastilah aku sudah menyewa jasa supir untuk mengantar jemputku ke mana pun aku mau. Gimana mau kaya kalau gaji ku saja pas-pasan untuk memenuhi kebutuhanku. Beruntunglah aku masih tinggal bersama Mama, jadi biaya tinggal dan makan tidak terlalu berat untuk kutanggung sendiri. Setidaknya aku jadi masih bisa menabung dan membeli beberapa barang yang kuingini. Dulu aku sempat bekerja di sekolah negeri dan berharap menjadi PNS, tetapi aku sungguh tidak bisa bersabar dengan gaji yang bahkan tak mencukupi kebutuhan makan dan transportasiku. Aku menyerah setelah lima bulan bekerja dan memutuskan untuk pindah ke sekolah Swasta. Gajinya cukup berbeda dengan saat aku mengajar di sekolah sebelumnya, dan aku memilih bertahan sampai diangkat menjadi guru tetap dengan kenaikan gaji yang lumayan. Beberapa orang menyayangkan keputusanku yang tidak bersabar menunggu menjadi PNS agar bisa mendapat gaji tetap dan jaminan di masa tua, tetapi aku sama sekali tidak menyesali keputusan itu. Aku akan mencari cara untuk bertahan dengan menikah agar suamiku yang bisa menjamin masa tuaku. Aku berharap agar suamiku adalah orang yang hidupnya lumayan berkecukupan sehingga aku bisa menjaminkan diriku untuk melayaninya. Ah, andaikan saja Tuhan mengirimkan jodohku saat ini juga, aku pasti sudah menjadi istri yang menikmati waktu beristirahat di rumah. “Woi Jomblo, ayo masuk.” aku terkejut dengan seruan yang seolah ditujukan padaku dan menoleh pada seruan itu sehingga aku bisa melihat wajah menyebalkan Andin dengan senyum yang jauh lebih memuakkan. Dengan berat hati aku menaiki mobilnya dan menghela nafas kasar hingga membuatnya tertawa, “Apa yang lucu, k*****t?” “Muka lo, seolah lo berharap ada keajaiban kalau jodoh lo bakalan datang.” Ejeknya. “Diem lo, bikin badmood aja.” “Udah baik gue jemput,” desis Andin, “Oh ya, gue mau ngajak lo ke suatu tempat.” Aku mengernyit dengan kalimat ‘membawa ke suatu tempat’, entah itu baik atau buruk, tetapi setiap kali Andin berencana, itu membuatku was-was. Tiga bulan lalu, ia mengatakan membawaku ke suatu tempat dan tanpa kuduga, ia malah membawaku ke sebuah pesta dan menggandeng pacarnya untuk membalas dendam pada Alka. Ia mengatakan bahwa hal itu berguna untuk membuat Alka sadar bahwa aku tidak membutuhkan pria itu. Sekarang ini, aku tidak bisa mempercayai kalau Andin akan membawaku ke suatu tempat yang baik. Aku hanya pasrah saat ia menghentikan mobilnya di depan rumah dan segera turun dengan seenak jidat sambil menungguku turun menyusulnya. “Mau ngapain sih?” “Udah, bawa aja pakaian lo yang lumayan rapi buat jalan-jalan.” Sarannya. “Mau ke mana sih?” “Suatu tempat di mana lo bisa menemukan jodoh.” Jawabnya membuatku semakin tak yakin untuk ikut. *** Aku membulatkan mata ketika melihat rumah Andin cukup ramai. Oke, aku memang belum masuk ke dalam rumahnya, tetapi dari depan rumah yang kulihat mobil dan beberapa motor terparkir dengan rapi membuatku menyimpulkan bahwa di dalam akan ada acara atau justru sedang berlangsung acara. Aku menatap Andin, “Ini di rumah lo lagi ngapain? Lo mau ngerjain gue lagi?” tanyaku tak terima. Andin hanya meringis sambil terkekeh geli, “Aku butuh bantuan kamu buat jadi babu.” jawabnya santai dan itu membuat emosiku tiba-tiba naik. “Sialan. Gue mau pulang.” Cetusku dengan kesal. “Ayolah Rin, bantuin gue. Lo kan tahu kalau di keluarga besar Papa gue cuma ada empat anak gadis. Kakak gue bakalan ngelangsungin pertunangan, jadi otomatis tinggal tiga anak gadis, sementara kakak sepupu gue yang satu lagi nggak bisa menghadiri acara karena ada jadwal buat operasi pasien. Lo tega kalau tangan gue putus karena jadi babu segini banyak orang? Ini bahkan belum semuanya, keluarga calon suami kakak gue belum datang.” Aku menghela nafas kasar dan menatap Andin sambil mengutuknya dengan tatapanku, “Lo bener-bener temen gue yang paling sialan. Nyebelin banget sih Ndin.” desisku tak tahan lagi. “Lo temen gue yang paling berguna Rin.” Andin memelukku sebagai rasa syukurnya telah berhasil menjadikanku babu. “Bayaran gue harus mahal.” ujarku menekankan kata bayaran. Ia hanya tertawa dengan geli sebagai tanggapan yang menyebalkan. *** “Permisi, kamar mandinya di mana ya?” tanya seseorang ketika aku sedang sibuk memunguti remahan roti yang jatuh ke lantai karena ulah Andin tadi. Aku mengangkat kepala dan menatap orang yang bertanya itu untuk tiga detik sebelum menjawab pertanyaannya, “Itu, jalan ke sebelah kanan terus lurus, nanti ketemu kamar mandinya.” Jawabku singkat, lalu kembali melanjutkan kegiatanku. “Makasih.” ujarnya tapi tak kutanggapi lagi karena aku terlalu sibuk dengan kegiatanku. “Om, aku udah kebelet.” Kudengar suara anak kecil mendekati pria itu meskipun aku tidak melihatnya, tetapi aku yakin dari suaranya yang semakin dekat. “Eh iya, ayo ke kamar mandi.” ajak pria itu dengan terburu-buru. Aku hanya mengendikkan bahu tak peduli, karena yang lebih penting adalah tugasku menjadi babu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD