03. Andika

1771 Words
{Note : Jadi, kontrak cerita ini belum siap, itu kenapa aku belum lanjut update bab nya, jadi sabar sabar aja ya. Aku juga pengen update secepatnya, tapi kontraknya agak lambat.} ~^~^~^~^~^~^~^~^~^~^~ "Ayo buruan, malu ih nanti kalau telat." sejak tadi mama sudah mengomel padaku sambil memakaikan pakaian untuk Arez. Aku sendiri sudah sibuk memasangkan baju di tubuhku ditambah suara mama sebagai backsound yang membuat pusing. "Udah Mama ingetin kan kalau hari ini ada acara pertunangan Rocky, tapi masih aja kalian ini santai." Aku menyelesaikan kegiatanku diakhiri dengan memakai sepatu pantopel berwarna hitam. Sedikit jengah dengan kerewelan Mama yang dimulai sejak datang setengah jam yang lalu. Aku lupa kalau hari ini ada acara pertunangan salah satu sepupuku, jadi aku sama sekali tidak menyiapkan apa-apa dan malah tidur siang bersama putraku. Akhirnya datanglah Mama dan memberikan kami petuah-petuah. "Kamu nih udah Mama bilangin, cari istri lah. Kalau kamu mau amburadul dan nggak ngurus diri sendiri, itu terserah kamu. Mama juga nggak malu kok kalau kamu nggak terurus, tapi paling enggak anak kamu ada yang ngurusin lah." Aku memasukkan dompet dan ponsel ke dalam saku celanaku. Setelah itu, aku mengambil jam tangan dan memasangkan di pergelangan tangan kiri ku. "Andika, kamu dengerin Mama nggak sih?" protes Mama. Aku menatap Mama dan menghela nafas kasar, "Denger Ma, aku denger. Masalahnya aku nggak bisa cuma nyari ibu buat Arez. Memangnya siapa yang mau aku tawarin buat jadi ibunya Arez?" "Ya makanya sekalian kamu cari istri." "Ma, ini pernikahan bukan pacaran. Aku bisa putus kalau pacaran, tapi kalau nikah memangnya bisa aku cerai gitu aja? Kasian kan istri aku nanti kalau dia tau aku jadiin dia istri cuma buat jadi ibunya Arez." "Mama juga kan ngasih saran kamu cari istri bukan cuma ibu buat Arez. Kalau bukan karena kamu punya duit buat laudry ataupun pakai tenaga ART, pasti rumah ini udah berantakan dan bau di sana sini." "Udah ya Ma, kita mau berangkat ke acaranya Rocky, jadi Mama marah-marahnya lain kali aja." "Tiap dikasih nasihat, kamu tuh selalu aja begitu." "Aku juga lagi nyari calon istri Ma, tapi kan nggak bisa dapat secepat itu. Yaudahlah, sekarang kita berangkat dulu." aku mengandeng mama dan Arez keluar rumah. *** Begitu tiba di rumah calon tunangannya Rocky, kami keluar dari mobil. Sudah ada beberapa mobil keluarga yang kukenali, sehingga kami memutuskan untuk ke dalam. Awalnya pertunangan ini hendak dilakukan secara besar-besaran, tetapi tunangan Rocky menolak karena Rocky adalah seorang public figure. Ia tak ingin kalau fans Rocky melanggar privacy-nya. "Ayo Rez." aku menarik tangan putraku agar tidak kehilangan dia. Keaktifan Arez terkadang meresahkan di keramaian seperti ini. Ia yang kurang perhatian terkadang berusaha mencari perhatian di tempat yang tidak seharusnya, jadi aku harus benar-benar menjaganya dengan baik. Bisa-bisa Rocky mengamuk kalau anakku berulah dan membuat acaranya tergores sedikit saja. Mama memukul tanganku sambil menatap tajam. Aku mengernyit karena tak mengerti mengapa mama bersikap seperti itu, sampai akhirnya mama menjelaskan sendiri, "Arez biar sama Mama. Kamu fokus aja cari calon istri. Siapa tahu sepupunya Aulia ada yang bisa kamu gebet. Atau paling enggak siapa tau pembantunya mereka cantik." Aku membelalak, "Ma yang bener aja lah sampai Mama nawarin aku kegenitan di pestanya Rocky, kayak nggak ada tempat lain aja." ujarku tak terima. "Intinya jangan deket-deket sama Arez dulu, nanti cewek-cewek lari lagi." "Ma, kalau dia mau sama aku, aku pasti ngenalin Arez karena dia harus terima Arez juga." "Iya, tapi itu nanti belakangan. Pertama, kamu gebet dulu biar jadi pacar, terus lama-lama kamu kasih tahu kalau kamu ini duda karatan yang punya buntut. Mana bisa langsung dikasih tahu, nanti dia lari kayak yang udah-udah." ujar Mama memberi saran. Aku hanya menghela nafas dan membiarkan Mama menyeret Arez. Ternyata keluarga Aulia cukup banyak juga ya. Pikirku begitu sampai di dalam dan memperhatikan banyaknya orang yang datang. Aku ikut mendekati sepupuku yang lain termasuk Risma dan Eldi. "Nggak bawa anak, bang?" tanya Risma karena tak menemukan keberadaan Arez. "Sama Tante, katanya biar abang bisa fokus nyari calon istri." "Yang kemarin belum dichat, bang?" tanya Risma. Aku menggelengkan kepala sambil tersenyum malu, bahkan tanpa sadar aku menggaruk kepala, "Malu lah Ris, abang nggak kenal sama sekali." "Coba aja dulu, siapa tahu cocok. Namanya pertama kan emang nggak kenal. Aku juga udah bilang kok sama dia kalau kenalan aku bakalan chat nomor dia." "Terus tanggepan dia apa?" "Ya biasa aja." "Ya udahlah, nanti abang coba chat." Risma menepuk bahuku dengan senyum yang tak dapat kuartikan, "Bang, jodoh itu jaraknya dekat kok." ujarnya yang tak ku mengerti. Aku memilih abai dan menikmati hidangan yang disediakan. Tak jauh berbeda denganku, Arez juga terlihat sangat menikmati kue-kue di dekatnya dan Mama duduk. Di tengah berlangsungnya acara, Arez berjalan mendekatiku dengan wajah masam. Aku segera menariknya mendekat denganku, "Kenapa?" "Kebelet Pa. Aku udah nggak tahan." rengeknya dengan manja. "Yaudah ayo ke kamar mandi." Begitu kami hendak ke kamar mandi, mama menarik Arez sebentar dan memberikan minyak angin kepadanya. Aku langsung mengerti bahwa Mama memintaku menggosok minyak itu ke perut Arez. Tetapi sebelum itu, Mama ternyata membisikkan sesuatu kepada anakku dan ia menganggukinya. Aku curiga, tetapi memilih tak acuh. Entah langkahku yang terlalu panjang atau Arez yang terlalu lambat, aku akhirnya berjalan lebih dulu dan menghampiri seorang gadis yang kulihat sedang berjongkok dan merapikan roti tumpah di lantai. "Permisi, kamar mandinya di mana ya?" Ia mengangkat kepala dan menatapku setelah terdiam sesaat, "Itu, jalan ke sebelah kanan terus lurus, nanti ketemu kamar mandinya." "Makasih." ujarku sebagai bukti kesopanan. “Om, aku udah kebelet." aku segera membawa anakku ke arah yang gadis itu tunjukkan tadi dengan sedikit kebingungan karena aku merasa seperti pernah melihatnya. Sebenarnya aku sedikit heran saat mendengar Arez memanggil Om, tetapi sepertinya aku salah dengar. Aku menggaruk kepala dengan penasaran. Di mana ya pernah ngelihat dia? Setelah membiarkan Arez masuk ke kamar mandi, aku menyadarkan tubuhku di dinding luar kamar mandi sembari berpikir. Begitu teringat, aku langsung membulatkan mata, Ah, itu cewek yang waktu itu aku pijak kakinya. Astaga, untung aja orangnya nggak tahu. Sebuah suara dan wujud yang tak nyata seolah mempengaruhiku, "Itu cewek loh Andika, gebet dong. Kan tadi Mama bilang gebet aja pembantu atau sepupunya Aulia yang cantik, nah itu ada satu." Aku bergidik ngeri melihat bagaimana mama mempengaruhiku bahkan walau hanya dalam bayangan saja, tetapi itu sudah menakutkan. Aku memukul kepalaku untuk menyadarkan diri yang ternyata setuju dengan saran Mama. Hati kecilku tanpa sadar malah memuji gadis itu, "Cantik.", itu yang pertama terlintas dalam benakku. Oh maaf, aku tidak munafik bahwa aku melihat kecantikanya lebih dulu. Lagian aku juga tidak mungkin bisa melihat hal lain darinya selain kecantikan fisiknya kan? Aku belum mengenalnya sama sekali, jadi tak ada alasan untuk bisa memungkiri kecantikannya. Aku bisa saja menyukai seseorang karena baik dan sikapnya yang sudah aku kenali, tetapi itu terjadi apabila aku dan perempuan itu sudah saling kenal dan melakukan interaksi secara langsung. Sedangkan gadis tadi, aku bahkan baru melihatnya, jadi wajar kan kalau aku langsung menilai kecantikannya secara fisik. "Ayo Om, aku udah selesai." Aku melihat anakku dengan kebingungan. "Kok Om sih? Kamu abis makan apa di kamar mandi?" tanyaku memprotesnya. Arez menggerakkan tangannya agar aku mendekatkan telingaku kepadanya. Aku menurut dan mendengar bisikannya yang mencengangkan, "Kata Nenek, kalau di tempat ramai panggil Papa dengan sebutan Om aja biar cepat dapat Mama baru. Emang bener Pa?" Aku memijat pelipisku mendengar ajaran sesat Mama, "Panggil Papa aja. Kamu nggak usah dengerin Nenek ngomong yang aneh-aneh." Arez menggelengkan kepalanya, "Nggak mau. Aku mau cepat punya Mama." tolaknya lalu berlari meninggalkanku. Ketika aku kembali melewati dapur, seseorang menepuk bahuku. Aku terheran melihat gadis tadi sebagai pelakunya. "Maaf Mas, tolong angkatin galonnya ke dispenser dong." ujarnya. Aku menatap penampilanku, lalu melihat dispensernya terlebih dahulu. Itu artinya aku harus mengangkatnya ke atas dan membalikkan posisi galon untuk bisa terhubung dengan dispenser, itu artinya ada kemungkinan air galon itu akan membasahi pakaianku. Aku menatapnya lalu menggelengkan kepala, "Maaf ya, saya takut basah." tolakku dengan hati-hati. "Cuma ngangkat galon loh bang, bukan ngangkat saya lagi telanjang. Masa gitu aja bikin basah." desisnya dengan santai. Aku menatap tak percaya mendengar godaan sekampret itu. Dia pasti tahu arti basah yang kumaksud dengan yang ia katakan ini berbeda. Aku ini laki-laki loh, kenapa dia begitu santai membahas hal seperti itu dengan orang sedewasa aku? Astaga, sungguh aku tidak bisa menduga wanita zaman sekarang. Aku tak mampu berkata-kata untuk membalas ucapannya dan memilih menggulung lengan bajuku sampai siku, lalu mengangkat galon itu dengan sedikit berat hati. "Makasih." ucapnya sambil memamerkan senyum. "Rina, ini lo antar dulu ke depan ya, gue mau ke kamar mandi." Aku dan gadis itu sama-sama menoleh ketika mendengar suara yang seperti terarah kepada kami. Gadis di sampingku terdengar mendengkus kesal, "Lo bener-bener berhasil bikin gue jadi babu." Aku terkekeh mendengarnya terdengar sangat kesal seperti itu. Dengan mengembalikan lengan kemeja, aku berjalan menjauhi dapur dan berjalan kembali ke depan. Aku mendekati Mama dan Arez, lalu duduk di samping mereka yang sedang memperhatikan acara. Mama mencolekku dengan tatapan menggoda, "Lama banget di kamar mandinya, pasti tadi ngelihat cewek cantik kan?" "Enggak Ma." Bantahku. Mama mencebikkan bibirnya, "Mama udah mengamati dari tadi dan Mama punya kandidat calon istri buat kamu." Aku menghela nafas kasar, lagi-lagi Mama dengan sifat tak pentingnya itu sangat mengusik kehidupanku yang tenang. Dengan penuh semangat, Mama menunjuk semua yang masuk dalam kriterianya sebagai calon istriku, "Sepupunya Aulia ini cantik-cantik ternyata. Buat kedatangan kita ke sini nggak sia-sia Ka, mumpung ada banyak perempuan cantik." Mama memang memberiku semangat, tetapi entah kenapa bagiku itu justru menjadi sebuah tekanan. "Ma, jangan buat malu deh. Aku masih bisa nyari sendiri dan nggak harus di sini juga." "Ya kan Mama cuma mau bantuin aja, siapa tahu kamu selera sama pilihan Mama." "Aku masih sanggup nyari sendiri dengan kriteria yang aku mau, Ma. Aku juga lagi berusaha, Mama nggak perlu khawatir." "Mama takut kalau kamu ini udah nggak normal lagi." bisik Mama dan aku kembali terpukau dengan pola pikir Mama yang selalu mengejutkan. Tega-teganya mengatakan anak sendiri sudah tidak normal. Kalau bukan Mamaku, sudah ku getuk kepalanya. "Aku mau pulang sama Arez. Mama mau ikut atau tinggal?" tanyaku. Mama memukul punggungku, "Nggak punya sopan santun kamu. Ini acara Rocky loh, sepupu kamu, masa kamu karena iri jadinya nggak menghormati acara dia." Astaga, apalagi ini? Iri? Yang benar saja. Aku bahkan sama sekali tak tertarik dengan hubungan percintaan, persayangan, perjodohan dan percomlangan sepupu-sepupuku. "Aku nggak iri Ma, tapi anakku udah ngantuk." kesalku. Memang benar kalau anakku sudah mulai mengantuk sejak tadi. Siapa yang menyangka kalau saat ini sudah jam 9 malam. "Oh gitu, yaudah hati-hati. Mama nanti pulangnya sama Tante Sania aja." Akhirnya aku bisa meninggalkan Mama dengan penuh kelegaan. Aku berpamitan kepada yang lain sebagai sebuah kesopanan dan mereka memakluminya karena aku harus segera menidurkan anakku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD